Part 4 - Istri Kedua

1000 Words
Part 4 POV Aldo Istri Kedua Begitulah kisahku berjalan dengan sangat cepat. Karena penggerebekan di hotel aku pun menikahi mantan pacarku Widya secara bawah tangan. Selepas suaminya yang tentara itu menceraikannya dan berkas perceraian mereka akan menyusul secepatnya. Widya begitu lega mendengar dirinya akan terlepas dari jerat suaminya yang arogan dan kasar. Dia memintaku agar menemaninya ke orang tuanya dan menjelaskan situasinya pada mereka. Sebagai pria yang gentleman, aku pun menemui kedua orang tuanya yang sejak awal hubungan kami mereka seakan tidak pernah setuju anaknya menikah denganku. Meski aku menunjukkan keseriusanku padanya dulu. Setiap bulan aku rutin memberi Widya uang agar bisa menabung demi meresmikannya sebagai istriku. Ternyata jodohku saat itu bukanlah Widya, melainkan Sara—sahabatnya. “Kau … “ Kedua orang tuanya terkejut melihat kedatanganku di rumah mereka. Apalagi Widya langsung berhambur ke pelukan ibunya sambil menangis, meratapi nasibnya yang malang. “Ibu ... hiks.” Seperti anak kecil, Widya menangis dalam dekapan ibunya. Tak tahu apa yang terjadi sebenarnya, kedua orang tuanya hanya menatapku bingung melihat putrinya tiba-tiba muncul di rumah mereka bersamaku. Tatapan mereka jelas tertuju padaku. Mereka menyalahkanku atas tangisan putrinya. Aku hanya bisa merunduk, tak berani menjelaskan maksud kedatanganku untuk menikahi anak mereka sebagai rasa tanggung jawabku. Seperti yang kukatakan sebelumnya, sejak awal hubungan kami, kedua orang tua Widya memang tidak pernah merestuiku. Entah apa salahku? Sehingga mereka begitu membenci diriku. Apalagi setelah kuketahui alasan Widya meninggalkanku adalah karena pernikahan yang dipaksakan oleh kedua orang tuanya. “Kenapa Wid?” tanya ibunya heran melihat putrinya menangis tersedu-sedu. “Kau apakan putriku Widya, Al?” Bapaknya langsung menuduhku sebagai seseorang yang melakukan tindakan kasar terhadap putrinya. Tangannya berada di kedua pinggangnya. Aku tersudut, “Bu-bukan saya, Pak ... “ Segera aku membela diriku, tapi sepertinya mereka tidak mempercayainya. Aku pun bingung bagaimana harus berkata?. Untungnya Widya angkat bicara padaku, “Bu, Bapak ... bukan Aldo yang membuatku menangis.” Sejenak dia mengambil napas sebelum akhirnya ia melanjutkan, “Pras lah pelakunya. Dia yang menceraikan Widya. Widya sudah nggak tahu sama kelakuan Pras selama ini, Bu ... “ Widya menangis lagi. Kali ini tangisannya terdengar semakin keras. Kedua orang tuanya langsung terdiam. Merasa malu karena telah menuduhku tanpa bukti. “Widya mau Bapak nikahin Widya sama Aldo! ‘Kan Bapak tahu Widya mencintai Aldo sejak dulu, tapi Bapak maksa Widya menikahi Prasmono. Lihat sekarang Pak? Widya dipukuli hampir tiap hari. Widya juga diselingkuhi beberapa kali. Pernikahan Widya sama sekali nggak bahagia. Widya tersiksa, Pak.” “Wid ... “ “Emang Ibu dan Bapak tahu apa soal kehidupan Widya. Pokoknya Widya minta dinikahi sekarang sama Aldo. Widya nggak tahan lagi hidup bersama Pras. Lagipula Pras juga sudah menceraikan Widya.” ”Benarkah?” pekik keduanya seolah tak percaya mendengar kehidupan pernikahan putrinya. “Sudahlah tenangkan dirimu, Widya.” Ibunya berkata sambil mengusap lembut puncak kepala Widya. “Pak, sekarang Bapak lihat ‘kan? Anak kita Widya nggak bahagia dengan pernikahan yang Bapak paksakan. Sekarang turuti permintaan Widya, Pak.” Pak Harsono terdiam. Merenungi kesalahannya mungkin? Aku tak tahu. Satu hal yang pasti adalah pernikahan keduaku terjadi setelahnya. Akhirnya aku pun resmi menikah. Disaksikan ketua RT tempat keluarga Widya tinggal. Tak berselang, Ketua RT dan beberapa tetangga muncul di kediaman keluarga Widya. Mereka berdiskusi sebentar untuk mengutarakan maksud kedatanganku untuk menikahi Widya secara siri sebelum kami memutuskan mengadakan resepsi pernikahan kami nantinya. Segera setelah surat perceraian Widya resmi keluar. Pernikahan kami berlangsung khidmat. Kulihat betapa bahagianya Widya setelah resmi menjadi istriku. “Selamat ya Widya, akhirnya kau menikah dengan Aldo. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai anak cucu.” Ketua RT memberi kami selamat. Tak lupa Pak Harsono mengepalkan beberapa lembar uang padanya saat bersalaman. Tanda kasih yang tentu saja tak ditolak olehnya. Aku tersenyum gembira menatap wajah istri keduaku yang cantik. Betapa beruntungnya aku bisa menikahinya. Kemudian Widya mengajakku ke kamarnya. Tentu saja, kami tak menghabiskan banyak waktu untuk memadu kasih lagi. Baik aku maupun Widya, kita berdua begitu panas oleh gairah. Sehingga kami saling memuaskan satu sama lain. Selepas memadu hasrat, akhirnya kami mulai berpakaian. Widya lebih dulu bertanya, “Sara gimana Al?” “Dia sebentar lagi akan melahirkan. Jadi kurasa kita akan menceritakannya setelah dia melahirkan. Gimana? Kau nggak keberatan ‘kan dia menjadi istri pertamaku?” Widya terdiam sejenak sebelum akhirnya dia menggelengkan kepalanya. Seulas senyum lembut terbit di wajahnya. “Tenang saja, Al. Kurasa aku bisa menerima kehadirannya sebagai istri pertamamu. Toh, aku percaya cuma aku yang ada di hatimu. Iya ‘kan?” “Tentu saja, Sayang. Hanya kau yang ada di hatiku ini selamanya.” Widya mengangguk saat aku mencium puncak kepalanya. *** Begitulah hubungan pernikahanku dengan istri keduaku berjalan. Aku masih merahasiakannya dari Sara istriku, takut jika berita pernikahanku akan mengejutkannya. Widya rajin sekali mengirim pesan padaku. Menguntai kata-kata manis yang sanggup membuatku melayang menembus langit ketujuh. Betapa hidupku tak lagi membosankan semenjak kedatangannya. Dia benar-benar seperti oase segar di tengah teriknya duniaku. “Nanti mampir dulu ke rumah ‘kan?” Dia bertanya di ujung panggilan telepon. “Iya dong, Sayang. Aku ‘kan kangen,” kataku dengan nada manja. Hanya dengan Widya aku merasa nyaman. Bagiku dia seperti rumah di kampung halaman. Membuatku sangat merindukannya. Bersamanya aku seakan berada dalam kehidupan yang tenang. “Sara gimana? Apa dia tahu kita menikah?” “Aku belum memberitahunya,” kataku jujur. “Begini Al, sebenarnya aku sudah mengirimkan beberapa foto pernikahan kita ke teman sekolah kita yang dulu. Sepertinya Sara tahu hubungan kita deh,” “Apa?” Aku terperanjat kaget. Meskipun aku tidak mencintai istriku, tapi aku masih belum siap kehilangan dirinya. Apalagi dia sedang mengandung anakku. Takut jika terjadi sesuatu yang buruk padanya. Aku pun segera mengatakan pada Widya, “Wid, sepertinya malam ini aku nggak bisa datang ke rumah deh. Mendadak ada kerjaan.” “Oh begitu,” ada nada kecewa tersirat dari suaranya yang sendu. Tak apalah. Pikirku begitu. Karena entah mengapa aku merasa bersalah pada Sara setelah diam-diam menikahi mantan kekasihku yang juga sahabatnya itu. Kuputuskan agar aku bisa pulang ke rumah menemuinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD