01. HARUS DILALUI

1145 Words
"Terasa sesak. Jika, terus saja merahasiakan luka dan dosa." Secangkir kopi hitam tersaji di depan meja bundar, sebuah cafe shop yang menjadi ruang tentram, pelampiasan dan mencoba melupa penyesalan. Seorang gadis dengan rambut terikat ke belakang, warnanya kecokelatan pirang-kedua mata bulat menatap kosong ke depan. Setiap sore, bangku pojok sudah menjadi tempat khusus baginya. Begitu pula secangkir kopi hitam, dua tahun lalu sebagai pelengkap pahitnya hidup tanpa seseorang. Bagaimana tidak? Semasa hidup penuh tawa, walupun sekilas teriakan kedua orangtua sempat terngiang pula. Gaya pakaiannya masih sama. Simple. Tak mencolok mata kaum adam melirik spontan. Kedua tangan mendekap d**a merasakan dingin udara, di luar percikan air dari langit belum juga berhenti-semakin mengingat saja luka lalu yang belum penuh melupa. Acha menyesap kopi hitamnya perlahan. Pahit. Tentu saja, seolah mewakili perasaan dan tubuh batu itu. Ponsel di atas meja tak menandakan notifikasi datang, dan mungkin tak pernah lagi. Semenjak Sinta resmi menikah dengan Mahendra membuat komunikasi di antara mereka terputus. Tak lama, Reina pula melepas, meskipun tak ada niat memusuhi. Sangat lengkaplah kehidupan Acha. Sendiri. Sepi. Tanpa orang menyemangati. Baju rajutan berwarna hitam membungkus tubuh mungilnya, merapatkan kecemasan esok hari, di mana langkahnya takkan berhenti di Kota Bandung. Namun, melaju cepat ke sana, Ibukota Jakarta. Banyak teka-teki harus dipecahkan, bagaimana keadaan seseorang? Yang teramat dirindukan. "He, Cha!" Seruan manusia yang tak bisa Acha lupa nada suaranya. Termasuk paling sering didengar saat di dalam kelas, ataupun memaksa naik motornya pulang sekolah. Acha melirik ke asal suara. Lelaki itu lagi. Jaket hitamnya sedikit basah di arah bahu, rambut gondrong hitamnya pula sangat berantakan, terakhir senyuman dimaniskan-sampai bokongnya duduk di hadapan Acha yang tak mempersilakan. "Mau pulang bareng? Barusan dari toko buku, ehh ... liat kamu," jelas lelaki itu, wajahnya sumringah seolah mendapat hadiah. Acha menatapnya datar lalu kembali menatap jalanan yang masih saja ramai. Walaupun air langit mengguyur deras. "Cha?" "Gua nggak butuh tawaran lo," jawab Acha. Lelaki bernama Firman itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Meskipun cafe terlihat sepi, sudah dipastikan ajakannya selalu ditolak. "Serius? Hujannya makin ge-" "Lo denger gak, sih!" Tatapan Acha menajam, bayangan terluka dengan d**a turun naik, sesak. Firman mendorong kursi ke belakang, siap lari dari hadapan Acha. "Ok, maaf ganggu," putusnya seraya melangkah menjauh. Selain Firman, di SMA Acha memang terkenal pendiam setelah kabar kematian Devid beredar. Sayangnya lagi, semua orang tak mengetahui mati suri lelaki humoris itu, permintaan Dinda sudah terkabulkan agar merahasiakan anaknya. Bukan takut kehilangan, ia menjaga saja karena hidupnya akan berubah total saat kepindahan. Malam itu. Di mana Acha menangis tersedu-sedu mengharap pelukan hangat Devid. Semua penghuni rumah yang masih berduka keluar dengan cepat. Seorang tukang jaga di makam umum, tepatnya jasa pembersih yang ditugaskan oleh ketua RT mengabarkan hal yang di luar nalar. Membuat Dinda menjerit, tetapi kakinya berlari, pergi ke pemakaman anaknya yang tadi pagi dikuburkan. Malam ini. Dingin menggigil. Sekitar lima orang pemuda mengelilingi tanah basah yang baru digali pagi tadi. Kini, sudah membukakan lubang besar. Sebuah kain kafan menjadi pertanda, Devid bangkit ke dunia fana. Dinda, seketika pingsan melihatnya. Segeralah diamankan oleh beberapa orang, sedangkan Devid yang dikabarkan mati suri dipapah oleh seorang Ustaz. Sampai di rumah. Semua orang masih berkumpul, di sana Acha membatu ada rasa takut menyelimutinya, matanya benar-benar menangkap sosok Devid yang mati suri. Tak ada perbedaan di wajahnya sedikit pun, hanya saja selalu diam, dengan tatapan kosong, tak berbicara sedikit pun. Seorang Ustaz menjelaskan, setelah Salat Isya ia pergi sendirian ke makam. Untuk menyiram air ke makam Almarhum ibunya setelah diberikan doa dan bacaan ayat suci alquran. Tepat, di sampingnya adalah makam baru, yaitu Almarhum Devid. Orang yang dikenalnya humoris. Tiba-tiba, terdengar suara papan yang dipaksakan mendobrak tanah. Ustadz itu yang memiliki indra keenam, sangat aneh mendengarnya. Ia berpikir, mungkinkah malaikat Allah sedang bertugas? Tetapi semua terjawab, setelah celah kecil dari dalam kuburan itu sedikit demi sedikit terbuka. Menyembulkan tangan yang begitu putih, kedinginan. Ustaz Ahmad mematung, semua doa ia lafalkan. Namun, tangan yang menyembul seolah melambai minta tolong. Perlahan, Ustaz Ahmad mendekat, digenggamnya tangan itu, lalu terbalaskan. Secepat mungkin, ia menariknya bukan takut, tetapi siap memberi tahu ketua RT apa yang barusan terjadi. Sampai pembongkaran makam dilakukan. Keterdiaman Devid yang mengalami mati suri membuat semua orang sedikit ketakutan dan jaga jarak. Namun, tidak dengan Dinda, perhatiannya hanya kepada anaknya. Aryo yang berada di sana langsung mengecek keadaan Devid, suhu tubuhnya normal. Dinda sudah memutuskan, akan merawat Devid di Jakarta. Bukan di tempat semua masa lalu menyakitkan tercipta. Hari itu pula, ia berkemas siap berangkat, Acha memeluknya erat. Namun, tatapannya terhenti ketika Devid menatapnya kosong seolah tak mengenalinya. Dinda hanya bicara, ia butuh waktu saja. Dinda pamit kepada Acha untuk pergi ke daerah asalnya, Jakarta. Ia siap menggugat cerai Prabu Handrono. Setelah ingatannya tertuju kepada nasehat Devid, Acha hanya bisa menangis di pelukannya, enggan melepaskan. Tersampaikanlah, bahwa Devid tak harus diingat lagi dan paling menegangkan, rahasiakan bangkitnya Devid. Jangan sampai beredar dan sampai sekarang semua masih tejaga aman. Bodohnya lagi, para penggemar selalu mengunjungi makam yang isinya kosong. Jemari Acha gemetar menghapus tetesan air mata. "Gua bakal cari lo di sana, Dev, gua minta maaf," lirih Acha sambil menunduk. Suara hujan bergetar, menampar kenangan lama harus teringat lagi. Semua akan dimulai, pencarian harus menghasilkan. Acha bangkit dari duduknya. Selesai membayar tagihan kopi hitam, ia keluar dari cafe menuju halte dan menunggu bus datang untuk mengangkutnya pulang ke rumah sepi. Tak ada kehidupan, selain suara napasnya saja. "Acha, ya?" Pertanyaan seorang lelaki memakai kemeja putih dan di tangan tersampir jas hitam. Sontak Acha mendongak menatap langsung orang itu, senyum kasmaran waktu lalu tak lagi tersungging di bibir yang sudah mati. Sebatas anggukan menjadi jawaban. "Kamu ingat saya, 'kan?" Tentu saja karena namanya ada di dalam surat pemberian dari Devid. Di mana setiap bangun dan sebelum tidur membaca kembali surat sampai menangis, membuatnya menghafal segala isinya. "Alex," jawab Acha, suaranya terdengar serak, bergetar. Alex terkekeh, "Iya, kamu dari mana?" Acha mengeratkan dekapan, sambil memalingkan wajahnya. "Cafe." Ah, terlalu sepi memulai pembicaran Alex hanya mengangguk mengiyakan. Ia tahu masalah Acha setelah kepergin Devid, tentunya rasa kehilangan membuat perempuan yang tadinya sangat dekat karena suka menjadi dingin. Jawaban seadanya, bukan basa-basi agar pembicaraan semakin mengalir panjang. Bus terlihat mendekat dan Acha siap naik. Namun, langkahnya terhenti, kala pergelangan tangan tertahan oleh cengkraman. "Ikhlaskan. Kalo perlu, saya bisa jadi penggantinya." Tubuh Acha membatu. Pendengarannya tak bermasalah dan ucapan lelaki di belakang, pasti untuknya. Acha membalikkan tubuh, kedua matanya menyipit. Meskipun wajahnya masih dingin, tak ada senyuman ingatlah ada secercah harapan di hati kecilnya. Menunggu seseorang menjalin asmara. Namun, semua sirna oleh bayangan Devid yang menertawakan dirinya. "Makasih. Gua bisa hidup sendiri," balas Acha sambil menyentak tangan kirinya, terlepaslah cengkraman Alex. Alex menelan ludahnya kasar. Penyesalan akan datang di akhir kawan, jadilah pelajaran. Bahwa orang mencintai tak bisa dipaksakan. Semua melaju begitu saja, jangan kecewa karena semua berawal dari hati yang menyakiti. Gimana, kalian udah lega baca part ini? Hehe.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD