24. MENGAJAR APA NGEGOMBAL?

1312 Words
"Tujuannya, kan, mengajar mengapa berakhir gombalan? Walaupun masih dalam lingkup materi harian." Langkah Acha melewati beberapa mahasiswa yang sibuk dengan ponsel, buku catatan sampai di ujung sepasang kekasih yang berpacaran. Tinggi tubuh kisaran 158 cm terlihat mungil di antara mahasiswa lain. Mau bagaimana lagi, toh, sudah dari Tuhan diberikan seperti itu. Rambutnya biasa terurai, tentu saja masih sebahu. Karena, ia sangat terganggu untuk memanjangkan rambutnya. Rasanya terasa gerah dan akan cepat berantakan, di depan sebuah tikungan menjadi akhir perjalanan. Kelasnya masuk siang sekarang, Acha duduk di bangku paling belakang seperti biasa, seraya mengeluarkan catatan yang akan dipelajari sekarang. Tidak lama Arga datang dengan karisma yang tidak diragukan banyak wanita mengagumi, hidung mancung dan dagu yang sedikit membelah, seakan menegaskan ia memiliki rupa sempurna. Bola mata hitamnya menyapu ruangan, ada Acha di antaranya, ia pun duduk dengan tenang lalu menyalakan laptop. Satu bulan telah berlalu, dari beredarnya Acha dan Bram terkenal dekat. Mengingat, berawal dari muncak sampai harus setiap minggu datang ke Sekretariat MAPALA. Dalam diam pula, Arga tahu segalanya, lewat mata-mata yang diperintahnya. Meskipun banyak gosip demikian, entah mengapa ada banyak pertanyaan yang belum ia lontarkan kepada gadis yang sekarang sedang membaca kembali materi minggu lalu, ia itu pintar, tetapi seolah paling sulit menyerap apa yang disampaikan. "Baik, materi kemarin kalian pahami dahulu." Arga membuka lembar catatannya. "Sastra Indonesia merupakan bidang ilmu yang mempelajari puisi, prosa, cerita, n****+, naskah, dan karya sastra lainnya dalam bahasa Indonesia. Kalian akan melakukan berbagai kajian untuk mengetahui latar belakang dari ide dan karya seorang seniman langsung. Jadi, persiapkan diri untuk terbiasa dalam membaca materi ataupun sebuah novel." Langkah Arga mendekati bangku belakang, di mana Acha jelas sedang mendengar penuturannya. "Kita akan lebih fokus mempelajari unsur kebahasaan, sehingga kalian akan terbiasa belajar tentang bagaimana sebuah kata atau kalimat terbentuk, bagaimana suatu huruf atau kata dilafalkan, serta mendalami karya-karya sastra," jelasnya, lalu kedua tangannya menekan sisi bangku Acha dan temannya di samping, Gita. "Ada yang suka puisi?" tanya Arga, satu per satu mahasiswanya mengacungkan telunjuk, tetapi orang yang dia tunggu justru hanya diam. "Kamu tidak suka puisi, Acha?" Acha tersentak lalu menggeleng tegas. "Tidak, Pak." "Baik, untuk yang belum mengerti dan aturan cara membuatnya kalian pergi ke perpustakaan sekarang. Saya beri waktu, sepuluh menit," titah Arga, seraya berjalan menuju bangkunya di depan. Gita pun mengajak Acha pergi bersama, lalu ia pun beranjak dari bangku. Sudut mata Arga memerhatikan gerak-gerik Acha. Jadi, mahasiswanya tidak menyukai puisi? Padahal, ia sangat berharap. Karena jika sesama pecinta puisi disatukan, sudah pasti akan saling membalas dengan gampang setiap baitnya, tanpa harus berpikir keras mencari diksi di dalam buku. Sepuluh menit telah berlalu, masing-masing mahasiswa sudah mendapati buku panduan puisi. Hari ini, Arga akan menjelaskan unsur dan kebahasaannya. Di mana, dalam waktu pendek, tugas akan diberikan. Satu orang diwajibkan membuat empat bait puisi, hasil karya sendiri. Acha dengan serius mencerna penjelasan yang diberikan. Puisi merupakan sebuah karya sastra hasil dari ungkapan dan perasaan seseorang dengan bahasa yang terikat irama, matra, rima, penyusunan lirik, dan bait. Isi-isi dalam puisi penuh makna dengan bahasa yang dipakai cukup indah. "Perbedaan puisi dan prosa, puisi itu diucapkan dengan perasaan, sedangkan prosa diucapkan dengan pikiran." Tatapannya mendarat ke sosok Acha yang duduk tegap, seketika mahasiswa lain meliriknya. Acha mengerutkan kening bingung. Setelah itu Arga membenturkan spidolnya ke papan putih. "Puisi diciptakan penyair dalam suasana perasaan, pemikiran dan citarasa yang khas. Bahasanya juga bersifat khusus." Beberapa mahasiswa mengangguk mengerti, lalu Arga menunjuk Acha sambil berkata, "Coba sebutkan, ada berapa struktur dalam puisi!" Seketika Acha membuka lembaran buku panduan puisi, tetapi ia tidak menemukannya. Mungkin karena gugup atau pikirannya yang tidak ada di sana, dengan cepat Arga menghampirinya. "Ada?" "M—maaf, Pak, saya tidak menemukan," sahut Acha, menunduk dalam. "Baik, dalam puisi ada dua struktur yaitu fisik dan batin. Coba, tadi yang mengacungkan tangannya, jelaskan apa yang dimaksud fisik dan batin!" Seorang mahasiswa beranjak dari duduknya, ia memakai kaus oblong berwarna hitam, namanya Rian. "Dalam fisik, terbagi menjadi empat, yaitu diksi, bahasa kias, pencitraan, dan persajakan." Arga bertepuk tangan. "Lanjutkan." "Sedangkan dalam batin, terbagi menjadi lima yaitu pokok pikiran, tema, nada, suasana, terakhir amanat." Suasana kelas menjadi tenang kembali. Arga membuka lembaran catatannya. "Kita uraikan dahulu, diksi yang tadi disebutkan. Apa, sih? Diksi itu pilihan kata yang tepat dan selaras. Dalam puisi, adanya diksi seolah menyempurnakan, di mana tadinya terdengar biasa, saat ditambahkan menjadi luar biasa." Tubuh tegap Arga duduk di kursinya, lalu memanggil nama Acha untuk berdiri di depan. Acha kebingungan, baik tadi dia tidak bisa menjawab pertanyaan dosennya. Jadi, mungkin dia akan diberikan hukuman? Sampai di depan ruangan, Arga pun berhadapan langsung dengannya. "Pernah membuat puisi?" Gelengan lemah Acha menjadi jawaban. "Coba, kamu ungkapkan, di saat perhatian kamu penuh kepada lelaki yang sangat tampan." Maksudnya apa coba? Mengapa dosennya itu memberikan permintaan yang aneh? Namun, tanpa berpikir ulang Acha mengungkapkan isi otaknya saja yang sedang dalam fase malas belajar. "Wah, orangnya ganteng ya," ucap Acha, terlalu datar di saat pembelajaran sekarang menguraikan puisi. Senyuman kecil Arga menciptakan belahan di dagunya seolah menggelitik untuk dicubit. "Sangat biasa, bahkan untuk pecinta puisi, ungkapan barusan seperti sampah." "Saya, kan, bukan pecinta puisi, Pak, jadi wajar," protes Acha, memang benar bukan? "Baiklah, saya akan memberikan contoh, di mana ungkapan rasa kagum yang baik dan termasuk puisi dibalut diksi." Arga melirik Rian. "Kamu pasti bisa membedakan." "Siap, Pak!" seru Rian dengan lantang. Tidak butuh waktu lama seorang Arga merangkai kata di kepala, ia berucap tenang, ungkapan berasal dari lubuk hati paling dalam. "Sekelebat bayangan hitam membuatku terpana, siapakah gerangan yang datang tanpa diundang? Oh ... wanita anindya, mengulurkan tangan menunjukkan surat tanpa nama yang ia cari di bawah cahaya gemintang, malam rembulan saksi pertemuan." Tepuk tangan meriah seketika mengakhiri pertemuan. Arga tersenyum manis, sebuah contoh dari hati yang benar-benar berarti. Namun, sayang bagi Acha itu biasa. Karena yang luar biasa itu, di saat Devid dapat mengenalinya, kembali memanggil namanya dengan sebutan Changsuts, adu mulut karena dua-duanya keras kepala. Selesai kelas prodi sastra, Acha pun keluar mendahului Arga. Ia kesal menjadi bahan candaan temannya, katanya pak Arga menyukainya dan itu sangat tidak penting. Bingung harus pergi ke mana, Acha dengan asal menghentikan sebuah taksi dan mobil pun melaju kencang. Si sopir menanyakan akan ke mana gerangan, tanpa berpikir lama Acha menjawab ke sebuah kafe yang dekat saja. Sopir itu pun menyarankan ke kafe yang buka 24 jam, Acha langsung mengiyakan, toh di sana juga ia akan banyak diam melamunkan masalah yang datang. Devid belum menyadari dia siapa, Arga yang terang-terangan menggodanya, sampai terakhir malam Sinta menelepon, meminta pindah dari kosan dan hidup di rumah sahabat ibunya yang entah di mana letaknya. Sesampainya di tempat tujuan, Acha segera memberikan selembar uang berwarna biru. Langkahnya mendekati pintu utama, terlihat sedikit ramai, sialnya gerimis mulai datang. Jadi, Acha memang akan terkurung di kafe itu sampai malam. Diliriknya jam tangan, pukul lima sore, untungnya Acha sedang halangan, terhindar meninggalkan kewajiban. Ia memilih duduk di sebuah bangku paling pojok, lalu seorang pelayan langsung menghampiri, memberikan menu yang akan Acha pilih. Sebuah kopi hitam andalan dan nacho dipesannya dengan cepat. Suasana kafe terasa menenangkan, dekorasi ala anak milenial menghiasi ruangan tingkat dua itu. Di lantai bawah, kebanyakan menyantap pesanannya di sana, sedangkan di lantai kedua hanya sebuah dekorasi khusus bersantai. Seperti kebanyakan yang mengabadikan momennya atau membuat vlog, beberapa juga mengerjakan tugas dan meeting. Tidak lama, pesanan datang, tanpa menunggu lama, Acha segera menyesap kopi hitamnya dalam. Pintu di depan terlihat didorong sampai tidak menyisakan ruang, Acha mendongak mendapati dua orang yang dia kenal. Mereka bersalaman kepada seorang lelaki dengan setelan kemeja rapi. Tidak salah lagi, lelaki itu manajer kafe di sana dan untuk apa mereka berdua datang? Dari arah belakang, seorang lelaki berjaket hitam membawa gitar ke atas panggung yang biasa digunakan penyanyi kafe. Seketika Acha menyadari, bahwa dua orang yang dikenalnya akan tampil di kafe itu. Benar saja, Devid menaiki anak tangga lalu mengulurkan tangannya, membantu Devita. WTF Acha, kamu kuat, Nak?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD