09. MENEMUKAN JALAN TERANG

1240 Words
"Kecewa karena gagal itu normal, tapi jangan langsung diam takut gagal lagi. Bangkit, ada kemenangan di depan." Setelah saling memperkenalkan diri, Bram pun bertanya siapa yang selama ini Acha cari di antara teman-temannya. Di sanalah, Acha ragu haruskah menceritakan secara detail tentang dirinya dan Devid? Dari ungkapan cinta sampai mendorong lelaki itu hingga tabrakan maut menjadi akhir. Namun, tidak segampang itu. Acha sudah memendam rahasianya sendirian dari dulu. Ia sulit memercayai orang semenjak Devid hilang. Maka, alasan biasalah yang Acha katakan, "Dia sahabat kecil gua, tapi tiba-tiba keluarganya menjauh gitu aja." Bram mengangguk. Memang terasa aneh alasan Acha. "Namanya?" Kedua tangan Acha gemetar, ia menatap balik Bram. "Devid." Bram diam sejenak. Sejak kapan di kelasnya ada orang bernama Devid? Ia digolongkan mahasiswa baik. Karena, dalam kehidupannya tidak ada kata bolos atau absensi. Kecuali ia merasa sakit. Namun, kapan ia tidak masuk? Ia kembali mengingat setiap dosen yang mengabsen. Tidak ada nama Devid yang disebutkan di kelasnya. Bram menggeleng tegas, membuat Acha bertanya-tanya. "Di kelas gua gak ada yang namanya Devid, lo salah fakultas kali," jelas Bram, tatapannya sangat meyakinkan. Lagi, Acha merasa perjuangannya sia-sia. "Serius? Devid Prabu Androno gak ada di kelas lo?" "Gak ada, oh, ya, kita pernah foto bareng satu kelas. Mungkin, lo bisa liat hasilnya." Bram pun mencari fotonya di ponsel, sedangkan Acha mulai merasakan jantung berdebar cepat. Setelah didapati hasil pemotretan fakultas Jurnalistik, Bram menyerahkan kepada Acha. Foto di sana sangat jelas, wajah-wajah orang asing bagi Acha. Sayang, tidak ada lelaki yang ia kenal di sana. Acha menyerahkan kembali kepada Bram. Di mana Devid? Bukannya dia mau jadi reporter? Bukankah Jurnalistik fakultasnya? Lama, Acha terdiam, hingga Bram meminta foto Devid kepadanya. Mungkin dia mengenal siapa yang dicari. Tanpa menunggu lama, Acha membuka ponselnya. Baru menggeser kunci, foto dirinya dan Devid sudah terpampang. Namun, dengan gaya konyol. Jadi, Acha mencari di galeri foto jelas Devid. Ditemukan, lelaki itu bergaya sok keren, tapi masih terlihat manusia bobroknya. Acha memberikan ponselnya kepada Bram. Tidak butuh waktu lama Bram mengenali foto itu. Ia menatap tak percaya kepada Acha. Lalu menunjuk foto itu, memastikan bahwa benar-benar itu yang dicari Acha. "Iya, itu sahabat gua." Bram menepuk keningnya merasa konyol. "Lo cari orang ini? Gua pastikan, lo salah satu fans beratnya ketemu dia di kafe, 'kan?" Sekarang Acha yang tidak mengerti jalan pikir Bram. Di kafe? Ngapain Devid di kafe? Dan katanya fans? Sejak kapan itu? Bram menegaskan dengan teliti. Bahwa Devid bukan anak Jurnalistik yang Acha tebak, dia masuk fakultas Seni. Bram bisa mengenal Devid karena sama-sama anak MAPALA, kadang pula menerima jasa untuk pemotretan dokumentasi. Jika, Devid diundang menyanyikan beberapa lagu di kafe. Acha tidak memercayai segalanya yang dijelaskan Bram. Devid nyanyi? Main musik? Ah, kenyataan macam apa itu? Sejak kapan Devid memiliki keinginan masuk ke musik? Oh, ya, bukankah suara Devid dulu lumayan dan dia juga memang mahir soal gitar. Namun, lagi, Devid bukan anak seni. Dia ingin menjadi reporter, tegas Acha. Akhirnya, penantian yang tidak berujung temu mendapat jalan. Sekarang, ia tinggal membenarkan apa kata Bram. "Kalo besok gua gak bisa, masih ada pemotretan lain. Gimana kalo minggu depan? Kita liat dia biasanya manggung di kafe gak jauh dari kampusnya." "Oke, gua tunggu janji lo," putus Acha, sebelum kakinya melangkah pergi, Acha berbalik. "Makasih infonya." Bram mengangguk cepat. "Eh, lo gak ada niatan apa tukeran kontak w******p?" kekeh Bram. Acha tersenyum geli, lalu Bram pun menghampiri, memberikan ponselnya agar Acha mengetik sendiri kontaknya. Mereka saling bertukar salam. Kembali Acha menapaki jalan trotoar yang sepi. Sekarang tepat pukul lima sore. Hujan telah reda, tinggal harumnya saja yang tertinggal. Beceknya juga masih menggenal. Harus diingatkan, tadi sempat hujan. Sesampainya di depan gerbang kosan, Ardila sedang duduk santai sambil memainkan ponsel. Ia mendongak dan memberikan senyuman kepada Acha. Karena masih malas kembali sendirian di kamar, Acha pun duduk di samping temannya itu. "Wajahnya kek lemes banget, capek, ya?" Acha mengerucutkan bibir mungilnya. "Enggak, gua lagi males aja. Eh, nggak kerja?" "Apaan, gua pulang kerja jam tiga sore, Bund," balas Ardila cepat, bulu matanya sangat lentik dan tebal. Tentu saja, dia, kan, perempuan yang menjaga penampilan. "Ohh, biasanya kalo sepi atau gabut. Lo ngapain aja?" Karena Acha sedang merasakan gabut juga. Jadi, menanyakan kepada sesepuh kosan sangatlah wajar. Ardila mematikan ponselnya. "Main sama cowok, dong! Syukur-syukur dijajanin, kalo enggak suka jalan doang." "Hilih, lo manfaatin banyak cowok, ya!" "Apaan, mereka yang deketin gua, dih!" protes Ardila. Dia memang pekerja paling muda di antara pekerja lainnya. Jadi, kebanyakan lelaki yang mendekati juga yang sudah tua di atasnya. Ia tidak mempermasalahkan, asalkan semua halal dan tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Karena duduk santai bersama Ardila tidak membuat Acha lebih senang, ia pun pamit pergi ke kamarnya. Kembali lagi bersama kasur dan boneka yang harus dipeluk. Rasanya bosan menjalani hidup begitu dan begitu. Bangun tidur, kuliah, pulang, tidur lagi. Namun, teman-temanya selalu memiliki jadwal. Seperti pergi ke salon, main dengan teman terus dengan pacar. Olahraga, lau belanja. Memainkan ponsel adalah jalan ninjanya. Meskipun bingung harus memainkan apa, sampai sebuah panggilan dengan nomor tidak dikenal datang. Apakah Devid telah mendapatkan nomor ponselnya? Tapi dari mana? Gemetar Acha mengangkat telepon itu. Berakhir, suara Bram yang baru dikenal menyapa di seberang. "Gua kira siapa!" ketus Acha, padahal jantungnya sudah berpesta karena takut suara Devid yang terdengar. "Ehh, jangan marah dulu dong. Gua mau kasih tau, nih!" Di seberang sana, Bram sedang berkumpul dengan teman-teman tongkrongannya. "Apaan?" Lama Bram menjawab pertanyaan Acha. Sampai, suara gemuruh aneh menjeda. "Dev, apa kabar?" Dev? Acha terdiam, telinganya mencoba mendengar segala suara di sana. Terdengar tawa renyah, lalu jeda mungkin mereka saling bersalaman? "Baik, Bram, eh lo sendirian?" Pertanyaan lelaki itu tidak penting. Namun, suara pemilik orang yang bertanya itu membuat Acha tidak percaya. Suaranya masih sama, lelaki dengan alis tebal dan mata tidak terlau sipit. "Enggak, noh, temen gua di bangku belakang. Minggu depan kumpulan MAPALA, ya!" "Iya ... kalem gua bakal had—" "Oi! Devid, cepetan latihan," seru seseorang yang nada bicaranya dipastikan perempuan. "Eh, Devita bentar kali," protes Bram. Acha hanya mendengar percakapan mereka saja. Dia diam seribu bahasa. Sampai, dirasa Devid dan Devita menjauhi Bram. Barulah, Bram kembali ke panggilan. Ia menceritakam di mana sekarang dan apa yang terjadi barusan. Devita itu teman dan sahabat Devid, mereka dikenal orang menjalin asmara sejak duduk di bangku SMA di mana, katanya rumah mereka juga berdekatan. Bahkan tidak ada rumah menghalangi. Jadi, bisa dibayangkan saja, seperti rumah dulu Acha dan Devid. Yang membuat Acha kepikiran adalah Devita. Mereka sudah bersahabat dan dianggap berpacaran? Tentu saja, di mana Devid memainkan gitar, sedangkan Devita bernyanyi dengan asiknya. Sempat Bram memotret penampilan mereka berdua lalu dikirimkan kepada Acha. Benar, itu Devid yang dia kenal. Itu Devid yang dulu selalu ada untuknya dan itu Devid yang mati suri lalu pergi dari kehidupannya. Besok, ia ingin memaksa kepada Bram agar menemui lelaki itu. Sekarang waktunya tidur, persiapan bangun pagi. Namun, tidak lama sebuah pesan datang. Gua gak bisa kalo besok, kan, ada pemotretan, Cha :'( Kapan dong bisanya? Gua berharap secepat mungkin Minggu depan, tapi kita ada kumpulan MAPALA, lo tunggu aja Devid anak MAPALA? Iya Acha terdiam. Dia bisa juga mendaftar menjadi anggota MAPALA. Akan ada banyak kemungkinan mereka saling bertukar cerita. Apakah Devid merindukannya bahkan mencarinya? Tapi, mengapa tidak ke Bandung selama dua tahun menghilang? Sudahlah, Acha harus memutuskan, ia akan akan menjadi anggota MAPALA besok. Gua mau daftar jadi aggota MAPALA, gak papa kan? Serius? Seriuslah. Besok gua kabarin lagi, malam. Ok, malam juga :) Next, guyss
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD