12. KENYATAAN YANG MENYAKITKAN

1144 Words
"Ada saja rintangan yang harus dilalui sendirian. Namun, bisakah ujiannya yang terasa gampang, Tuhan? Sudah dilalui likuan tadi, mengapa di depan semakin curam?" Benar apa kata Ardila, sekarang hari Acha diikuti oleh Bram. Karena mereka giat melakukan latihan fisik yang harus dilakukan selama satu minggu, tanpa ada paksaan, tetapi keinginan masing-masing. Meskipun Bram sudah terbiasa naik gunung, menemani Acha latihan fisik tidak ia tolak. Toh, siapa lagi yang akan menemani Acha selain dirinya? Setahu dia juga, teman barunya itu tidak memiliki teman dekat di kampus dan kebenaran itu terbukti, di mana setiap harinya Acha selalu ada di kosan. Mereka terbiasa melakukan setiap pulang kampus atau di sore hari. Sempat pula, Devid dan Devita latihan bersama, tetapi hanya sesekali saja. Acha pula, mulai terbiasa dengan sikap aneh Devid. Tidak ada gelagat merahasiakan sesuatu darinya atau menjauhi. Ekspresi lelaki itu memang melihat Acha adalah orang baru, sedikit canggung lalu di akhiri senyum. Tak hanya saat latihan, di saat Acha ada tugas ke beberapa tempat, selalu dipertemukan dengan Devid yang lupa akan dirinya. Hingga, Bram memberikan pertolongan akan mencari tahu masa lalu Devid. Karena memang, ia sendiri dengan Devita bisa dibilang akrab. Mengingat perempuan bermata bulat dan bulu mata lentik itu, orangnya paling cepat bersahabat. Rambut pirangnya pula sama dengan milik Acha, hanya milik Acha sebahu bukan panjang seperti Devita. Semenjak itu pula, semua seolah berubah dan terasa lelah. "Rumah mereka enggak berjauhan, Cha, bisa dibilang tanpa penghalang," jelas Bram, langkah mereka masih mengelilingi lapangan. Acha memicingkan matanya, mengingat dulu rumah ia sendiri dan Devid tanpa penghalang. "Gua juga bingung mau ngomong apa, dia beda banget," balas Acha, baju yang dipakainya sudah basah dengan keringat, ia sendiri menambah kecepatan berlari, sampai tidak sadar meninggalkan Bram di belakang. Bram pun sengaja tidak mengejar. Ia tahu pikiran Acha sekarang, sedang tertekan dan tidak percaya akan kenyataan. Apalagi mereka dekat sejak kecil. Matahari sore semakin menghilang ditelan kegelapan, tetapi Acha masih belum enggan berhenti dari latihan fisiknya. Bram berhenti tepat di samping dua botong minuman mereka, jam tangannya menunjukkan pukul lima tiga puluh. Terdengar pula, solawatan dari beberapa masjid. Tubuh ramping Acha seolah melayang-layang, keningnya berkeringat, baju lengan pendek dan celana olahraganya terasa menempel ketat. Ia pun berhenti di samping Bram, mengatur napas lalu mengambil minumannya cepat. Bram menatap keadaan Acha dari samping, beberapa helai rambut Acha yang terikat lepas, hingga menempel di kening penuh keringat. "Maksa banget latihannya," kekeh Bram, seraya menyimpan kembali air minumnya. Acha menelan airnya cepat. "Berapa hari lagi, nih?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bram menatap ke depan. "Dua hari lagi." Terasa cepat waktu berjalan, tidak terasa akan sampai ke titik di mana mereka berjalan mendaki gunung paling tinggi di Jawa Barat. Sebelum mereka berpisah, Bram memberitahu, besok ada kumpulan MAPALA lagi untuk memberikan pesan-pesan terakhir. Seperti kebutuhan dan mencatat lagi, siapa yang berani berangkat minggu nanti. Malam pun tiba, diiringi langkah kaki Acha yang malas masuk ke kamarnya. Selanjutnya, ia masuk ke dalam kamar mandi. Termenung menatap pantulan keadaannya sekarang. Wajah kusut penuh keringat, kedua matanya sayu karena lelah. Tangan Acha menjambak rambutnya, hingga karet yang mengikat di belakang terlepas. Masih membekas, kala Devid dan Devita berlarian di lapang tadi. Mereka lebih awal latihannya. Jadi, di saat Acha latihan, mereka pergi meninggalkan. Wajah ceria Devita, di mana Devid menggelitiki pinggangnya. Tubuh Acha gemetar. Sedekat itukah mereka? Sampai ingatannya kembali ke masa lalu, ia pernah berada di posisi seperti Devita. Disaksikan adik kelasnya yang iri karena mereka terlihat cekikikan, di bawah guyuran hujan yang terasa tenang, terasa bahagia dan tanpa beban lalu melupakan segala hal luka yang terasa. Kedua tangan Acha mengepal, sedetik kemudian dinding di depan ia tinju dengan cepat. Mati rasa, Acha menahan tangisnya diam-diam. Mengapa kehidupannya selalu di luar keinginan? Mengingat ayah dan ibunya bercerai, kedua sahabatnya yang hilang dan sekarang, sebuah kenyataan bahwa ia dilupakan? Kapan Tuhan memihak kepadanya? Kapan? Apakah dengan ibunya menikah dengan ayah Reina semua kebahagiaan? Tidak. Segalanya terasa pengkhianatan. Tubuh Acha gemetar ambruk ke lantai kamar mandi. Ia memeluk kedua lututnya erat, mencoba memberikan kekuatan untuk dirinya sendiri. Takkan ada panggilan telepon, dari seorang ibu atau ayah yang bertanya, apa kabar, Nak? Kentara merindukan, seperti mahasiswa lain yang jauh dari kedua orang tuanya. Takkan ada. Bulir air mata membekas di pipi. Acha bangkit, segera membersihkan badannya. Percuma menangisi nasibnya hari ini, semua takkan berubah dalam satu malam seperti putri Cinderella. Ini kehidupan nyata, bukan imajinasi dalam cerita semata. Suara guyuran air menjadi teman di keheningan, di luar pula, air langit mulai tumpah memberikan kesegaran bagi tumbuhan ataupun hewan. *** Aroma sup daging ayam kembali menyelimuti ruangan besar dipenuhi pernak-pernik mewah. Tepat di ruang makan, semua menu tersaji memancing perut yang belum diisi mendekat lalu menghabiskannya lahap. Namun, sayang, hanya dua anggota keluarga yang duduk di sana. Tidak ada seorang kepala keluarga. Hanya ibu dan anak semata wayang yang dicintai. Alunan lagu melow mengiringi malam itu, hujan di luar menambah syahdu. Kelopak mata seorang ibu yang membesarkan anaknya sendiri terlihat berkaca-kaca. Ia berhasil menjauhkan anaknya dari masa lalu dan juga, dari pertanyaan bodoh. Berkat seorang dokter yang dipercaya, bukan lagi sahabat dan diam-diam berkhianat. Semenjak menginjakkan kaki di tanah Ibu Kota, semua pula berubah total. Tadinya mereka tinggal di rumah besar, di mana seorang ibu yang tua hidup sendirian di sana. Hingga, Tuhan pun menjemput di saat anak dan cucunya berkumpul. Karena enggan mengingat lagi luka, ibu satu anak itu membawa anaknya jauh dari rumah masa kecilnya. Mereka mendiami kompleks elit dan bertemu dengan tetangga yang juga baru pindah. Untung juga, mereka memiliki anak gadis yang seumuran dengan anaknya itu. Namanya Devita Karisma Bunga dari Lolita Anggraina dan Grilna Aryana, Devita juga memiliki kakak perempuan yang umurnya beda dua tahun saja, yaitu Arinda Siliana. Mereka juga dikenal keluarga harmonis dan humoris, setiap harinya ada saja lelucon tercipta dari mereka. Hingga disempurnakan oleh tetangga sebelah yakni Dinda dan anaknya Devid Prabu Androno. Semakin ramai saja kompleks itu. Tidak hanya lelucon, Grilna yang mengajar sebagai guru seni pula, kadang membawa pelajarnya ke rumah lalu bernyanyi bersama di halaman rumah, sedangkan Devita yang memiliki suara emas selalu percaya diri bersenandung ria. Tidak lama kemudian, Devid menyukai seni juga. Dinda sangat mendukung anaknya itu, sampai keahlian Devid beralih menjadi basis dan gitaris. "Kalian bisa tampil di acara ulang tahun teman papa, Vita," ucap Grilna, waktu lalu di mana Devid juga berada di samping sang anak. "Kamu, Devid tetap menjadi teman Devita di atas panggung nanti." Segalanya berubah detik itu pula. Kedua remaja itu dikenal sebagai pasangan paling serasi. Di mana, sama-sama memiliki bakat di bidang seni, pula wajah tampan dan cantik yang sempurna. Tak jarang orang lain mendoakan mereka sampai ke pelaminan, di lain tempat pula Dinda tersenyum senang. Ia berhasil keluar dari lingkaran luka dan masa lalu. Tanpa hambatan ataupun rintangan. Pertanyaanya. Kenapa Dinda menjauhkan Devid dari masa lalunya? Padahalkan siapa pun orang, kalo lupa ingatan selalu berjuang untuk kembali mengingatkan, tapi ini kok? Menurut kalian?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD