04. KAMBING CONGEK

1194 Words
"Semua akan terasa gampang. Jika, kau memulainya tak tergesa-gesa, santai dan selalu ingat kepada-Nya." Acha Jalanan panjang Kota Jakarta tak lagi macet seperti tadi, kini mobil hitam milik Mahendra mulai memasuki perumahan di mana Acha akan tinggal. Tepatnya memilih kos-kosan dibanding tawarannya membeli sebuah apartemen tak jauh dari kampus, sampai di depan rumah bertingkat gaya kosan biasa, mereka pun keluar. Menghirup udara beda jauh dengan Kota Bandung. Sedikit penuh polusi tak segar lagi. Acha pun membawa kopernya, berjalan seraya menyalakan ponsel untuk menghubungi ibu kosan. Tak lama, seorang wanita muda dengan daster menemui mereka. Mempersilakan masuk ke rumahnya yang memang berada di sana pula, beberapa anak kosan mulai hilir mudik seperti mengangkat jemuran dan membeli makanan di luar. Acha memilih di luar saja, melihat sekitar yang akan menjadi tempat berteduhnya nanti, sedangkan Sinta sudah memaparkan keluhan anaknya baru datang ke Jakarta. Kosan itu terlihat bersih dan tertata rapi, pot bunga berbaris dihiasi bunga mekar nan indah. Di sampingnya pula sebuah tangga memberikan jalan untuk kamar di atas. Cat dinding berwarna hijau muda semakin mencerahkan suasana, sangatlah beruntung keadaan di sana memang idaman karena bayarannya pula tak sebanding dengan kos-kosan lainnya. Beruntung lagi, khusus perempuan untuk laki-laki dilarang masuk kecuali anggota keluarga saja. Selesai memberikan bayaran per tahun. Mereka berjalan menuju lantai atas di mana kamar Acha berada. Sesampainya di sana, ruangan yang sudah lengkap dengan kasur kecil untuk satu orang, sebuah lemari plastik tingkat dua, tak lupa galon air, dan kamar mandi di dalam. Sinta merasa aman. Jika, memang fasilitasnya pula bagus. Setelah ibu kos bernama Siti itu keluar pamit, Acha mulai membereskan barangnya, sedangkan Sinta mengecek keadaan sekitar. Mahendra menghampiri Acha, menyodorkan sebuah amplop cokelat muda. "Ini dari ayah terima, ya?" Acha menatap sekilas amplop itu. Untuk apa? Toh, nantinya juga Sinta akan memberikan transperan kepadanya setiap bulan. "Makasih," ucap Acha menolak halus. "Ambillah. Meskipun kamu tak menganggap saya ayah, biarkan i—" "Gak usah!" Sinta membalikkan tubuhnya mendengar ucapan Acha yang ketus itu. Namun, Mahendra sigap menyembunyikan amplop dengan cepat. Jadi, Sinta tak melihat. "Ada apa, Cha?" tanyanya seraya berjalan menghampiri mereka. "I—itu, tadi aku mau bantu Acha dia udah nolak tapi aku maksa," balas Mahendra cepat. Sinta mengangguk. Walaupun jawaban suaminya itu masih meragukan. "Ya udah, Cha ... mama ada miting nanti malam. Jadi, gak bisa nginep," jelas Sinta menyayangkan jadwal yang harus dikejar. Acha menjawab, "Gak masalah." "Kamu berani, 'kan? Nanti mama kasih tahu bu Siti kamu belum tahu apa-apa, ya." "Kalian pulang aja, Acha mau istirahat." Mahendra hanya mengikuti, sedangkan Sinta terdiam lalu memilih pergi juga. Tanpa ucapan perpisahan, ataupun pesan agar baik-baik saja, jaga diri di sini. Acha tersenyum kecut, mustahil kehidupannya mendapati kasih sayang seperti itu. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan. Menggapai dunia entah ke langit mana. Ia pun merapikan baju masuk ke dalam lemari. Dari balik dinding, suara alunan lagu terdengar mengalun. Bukan lagu, tetapi selawat syahdu. Sudah dipastikan perempuan di sana seorang taat dalam beribadah. Acha termenung, di umur sembilan belas tahunnya ini, semua terasa berat kala kewajiban tak pernah selalu terlaksanakan dari dahulu. Lagi-lagi, penyesalan akan datang di akhir. Tak lama, masjid yang berada di seberang kosan memberikan pesan bahwa Azan Magrib akan tiba. Apa yang harus diperbuat? Mungkinkah tidur? Melupakan sejenak masalah yang melanda lalu melupa bahwa ada Tuhan dapat membantu semua? Kumandang Azan pun datang. Acha bangkit memutar knop pintu, mendapati bayangan dirinya di dalam cermin. Semua akan dimulai di sini, di kosan ini. Ia menyentuh bayangan wajahnya, perlahan dan setitik air mata jatuh ke pipi. Pasti, seseorang yang teramat dirindukan akan berakhir temu. Mengobati rasa yang selama dua tahun ini terpendam, tertahan karena ego. Biarkan sekarang dimulai, esok pencarian. Tangannya memutar pancuran air, membasuh wajahnya dengan diawali niat berwudu. Semua akan berubah. Jika, kita bergantung kepada-Nya, memohon, tak lupa mengerjakan kewajiban sebagai muslim. Hati ikhlas, semua akan cepat tuntas. Ruangan dengan cat berwarna putih itu terasa polos, tentu saja baru juga diisi. Namun, Acha sudah menyiapkan sebuah poster untuk di pajang di dinding. Gambar buku n****+ berserakan, di mana impian selalu tertuju ke sana. Tulisannya akan terkenal dengan menulis. Dibaca orang, bahwa namanya hidup di luar sana. Bukan hanya jadi pembaca, mengenal orang lain, tetapi si pembaca pula harus memiliki karya juga. Lahan kosong di samping jendela kamar dijadikan tempat berhias. Walaupun bukan alat rias seperti perempuan lain. Bertebaran dengan merk mahal. Acha itu biasa. Wajah natural adalah kebanggan, ia tak mau lelaki menatapnya dari fisik. Semua akan berakhir kala umur semakin menua, mengikis tak lagi cantik sempurna. Biarkan wajahnya itu sama, tetapi lelaki yang bisa membuatnya tawa dan bahagia hanya Devid saja. Selama kehilangan hidup terasa gelap gulita. Seolah tersesat tak tahu arah. Karena penerangan miliknya berada di saat Devid ada. Acha menemukan foto saat bersama, Devid tersenyum di sana dengan tangan kiri mencubit pipinya sampai memerah. Ah, di mana lelaki itu? Mudahkah ia menemukan? Ya, esok adalah jawaban. Selesai melaksanakan Salat Isya, Acha memutuskan untuk keluar dari kamar menghirup udara segar karena perutnya merasa lapar. Tak seperti orang-orang, diperingatkan makan oleh orangtua jauh di sana. Acha beda, entah ke mana dua manusia itu mungkin melupa bahwa ia hadir di dunia? Langkah Acha menuruni anak tangga, sampai berpapasan dengan perempuan sebaya. Mereka saling memperkenalkan diri, ternyata namanya Ardila dia tidak kuliah, tetapi bekerja sebagai kasir di sebuah toko. "Semoga betah, ya, ibu kos baik kok," ucap Ardila dengan senyum manis. "Iya, keliatan dari wajahnya. Oh, ya mau ke mana?" tanya Acha. Ardila menunjuk ke luar gerbang. "Beli makan." "Widih, bareng dong ...." Ardila pun mengangguk mengiyakan lalu mereka berjalan beriringan, melewati masjid yang masih ramai dipenuhi jemaah. Suasana malam minggu semakin ramai, apalagi dikhususkan untuk kaum anti jones di semua penjuru bumi. Termasuk Ardila, ternyata ia sudah janjian dengan pacarnya. Maka, Acha di sana menjadi kambing congek. Ia ingin memutuskan pulang duluan tapi takut lupa jalan, sedangkan lelaki di samping teman barunya itu sangat romantis. Lihat saja, mereka main suap-suapan. Tak memandang adanya Acha di depan, seolah dunia milik berdua. Dirasa tak ada lagi harapan untuk bertahan, Acha memilih berjalan mengelilingi lapangan penuh dagangan itu. Di sana setiap malam menjadi pasar, sedangkan pagi dan siang masih menjadi tempat olahraga. Kebersihan tetap menjadi nomor satu karena jika tidak, maka takkan diberikan izin lagi untuk berdagang di sana. Selain ketat, lahan paling banyak dikunjungi juga. Acha semakin menjauhi dua manusia saling memadu kasih itu, ia mendapati dirinya sudah berada di area bermain anak. Tak peduli dengan waktu, besok tinggal berangkat saja. Jadi, malam ini takkan ada kerjaan. Di saat Acha siap berbalik untuk kembali ke tempat semula, sialnya ia menabrak punggung seseorang. Orang yang ditabrak itu berbalik heran, sedangkan Acha masih menunduk ketakutan dilihat dari ujung alas kakinya sudah dipastikan menabrak lelaki sangar. Namun, rapi sih tapi otot betisnya itu membuat Acha enggan menatap langsung. "Cha, balik yuk!" Suara Ardila membuat Acha mendongak cepat, tetapi tak sempat menatap wajah lelaki yang ia tabrak. Ardila berada di depannya, tak jauh. Tanpa permisi atau minta maaf, Acha secepat mungkin berlari menjauhi kobaran api yang akan menjadi masalah, padahal salah sendiri. Jarak mereka sudah jauh, lelaki itu hanya mengerutkan kening lalu mengedikkan bahunya sampai seruan perempaun di samping menyadarkan. "Pulang yuk, Dev!" Dev? Siapa tuh horang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD