17. MT. CIREMAI 3.078 MDPL

1438 Words
"Tanjakan curam, tetapi menjanjikan lukisan alam yang teramat mengagumkan di puncak ketinggian. Penuh rintangan, kesabaran, sampai membatin, "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman 55: Ayat 13)" Bukan lagi tanah yang akan diinjak oleh kaki, tetapi bebatuan yang menanjak di depan. Kanan kiri ditumbuhi rumput liar, lalu langsung jurang yang menakutkan. Berpegangan, menjejak batu dipenuhi kerikil kecil, takut tergelincir. Menaiki tanjakan curam, dengan cara merangkak karena begitu sulitnya untuk cepat dilalui. Acha dengan susah payah menjejaki batu menahan berat tubuhnya, sialnya lagi penerangan di sana hanya dari headlamp masing-masing pendaki. Karena, langit masih hitam legam dan jangan lupakan dinginnya udara yang menusuk—mengubur semangat bersiap teriak, angkat tangan menyerah menuju puncak. Namun, tidak segampang itu. Bram di belakang Acha dengan hati-hati berjaga. Ia sudah biasa dengan track macam itu, ada juga yang paling menantang. Kali ini, ia seolah menjaga gelas yang jangan sampai jatuh dan pecah. Apalagi Devid di depannya, menjaga Devita yang kakinya bisa dibilang belum maksimal sembuh, sedangkan dua rekan kak Bubun, masing-masing dijaga oleh anak MAPALA lain. Jadi, mereka dipastikan aman. Tidak ada tali ataupun khusus pegangan tangan, hanya meraba-raba, di mana batu paling kuat menahan tubuh saja. Kedua tangan Acha yang terbalut sarung tangan terasa kebas, ia mulai ketakutan, tetapi ingat kembali pesan Bram, jangan panik di saat pendakian. Ia mulai relaks, mengatur napas, tetapi tangannya memang terlalu dingin, apalagi batu yang ia pegang. Bram menyadari masalah Acha, digenggamnya kedua tangan yang gemetar itu. Di belakang, seseorang mempertanyakan keterdiaman mereka, lalu Bram memberitahu Acha kedinginan. Ia sendiri bingung, takut sesuatu terjadi seperti hipotermia. Namun, dari wajah Acha, ia terlihat baik-baik saja. "Masih dingin?" tanya Bram, ia masih menghangatkan kedua tangan Acha, lalu menghembuskan napasnya agar terasa hangat lagi. "Dikit, kita udah deket ama puncak, ya?" Bram menatap ke depan, rombongannya sudah jauh dari mereka. "Nanti kita istirahat dulu kok sebelum puncak, tenang aja. Gimana, bisa lanjut?" Acha melirik orang-orang di depan, sangat jauh, hanya pantulan headlamp saja yang terlihat. "Lanjut, bismillah," ucapnya, seraya merangkak lagi karena jalanan berbatu masih menanjak. Track menanjak dan berbatu sudah dilalui, di depan sebuah persimpangan membuat Acha menghentikan langkahnya. Karena di sana juga ada beberapa pendaki yang mengabadikan momennya, lewat potretan foto. Bram pun segera mengaktifkan kamera miliknya, lalu memerintah Acha untuk berpose. Namun, Acha menolak, wajahnya pasti terlihat sangat lelah dan jelek. "Cepetan, mau gak?" tanya Bram. "Enggak, ih, lanjut aja!" tolak Acha, pandangannya menyapu para pendaki, tidak mendapati Devid di antaranya. Setelah Bram mengambil foto beberapa pendaki lain tepat di persimpangan Apuy-Palutungan, tidak lupa ia pun membidik kamera menuju Acha yang menahan dingin, dengan gigi bergemeretak. Acha terbelalak. "Gak izin lagi, dasar kang nyuri!" oceh Acha, kedua tangannya mendekap dadanya. Bram terkikik. "Udah, yuk, lanjut," ajaknya. Perjalanan kembali dilanjut, masih bebatuan dengan jalan memanjang, tetapi tidak menanjak. Hingga mendapati sebuah Goa Wallet, banyak pendaki yang berdiam diri menghangatkan tubuh mereka, membuat api unggun. Di sana pula, Acha mendapati Devid yang sedang memijit pergelangan kaki Devita. Romantisnya mereka, sedangkan kepala Devita bersandar nyaman di bahu Devid. Apa kakinya terkilir lagi? Tapi raut wajahnya tidak memperlihatkan kesakitan. Ia pun duduk di samping api unggun, mengulurkan tangannya yang dingin. Lima menit telah berlalu, mereka harus melanjutkan perjalanan. Tadi start pos 5 adalah tepat pukul 02.00 sekarang berada di Goa Walet pukul 03.00 dan langsung melanjutkan perjalanan terakhir, yaitu menaklukan puncak. Semakin jauh track-nya juga semakin menantang. Sekarang, bebatuan dan kerikil, pasir yang memenuhi pendakian. Sampai, di depan, benar-benar harus merangkak. Terbentang luas pasir dan batu, tidak ada satu pun pegangan yang bisa mengantarkan ke puncak. Mereka lagi-lagi berpegangan ke batu yang paling kuat di antara lainnya. Acha berkacak pinggang, belum melangkahkan kaki menuju rintangan menanjak di depan. Di sampingnya Bram menemami. Memberikan waktu untuknya, tidak lama Acha meyakinkan dirinya untuk naik sekarang. Satu rintangan lagi, tetapi sangat panjang, menjulang, tanpa pegangan. Hingga, dirasakannya tangan Bram meyakinkam, menggenggam jemarinya kuat. "Gua ada buat lo, jangan mikirin masalah yang lo rasa, nanti. Ingat, fokus ke depan," pesan Bram. Acha mengangguk mantap. "Gampang, 'kan?" "Banget, kalo elo sendiri benar-benar niat taklukan Ciremai." "Ok, gua siap!" seru Acha. Mereka pun mulai dengan pelan tapi pasti. Langit hitam juga belum menunjukkan akan terang, mengingat waktu masih begitu pagi. Mereka bersyukur cuaca sangat bersahabat, tidak hujan hanya dingin saja yang menusuk tulang. Kekuatan kaki yang menahan tubuh menjadi pegangan, sekali saja lalai dipastikan tergelincir ke bawah. Acha semakin menguatkan niatnya, ia bisa menaklukan Ciremai dengan gampang. Di bawahnya Bram berjaga, terasa keringat dingin bercucuran dan mengatur napas. Track merangkak sudah dilalui, sekarang semua pendaki harus berjalan satu per satu menuju puncak tertinggi. Di mana, sebuah kawah ada di tengah lingkaran itu. Karena langit masih gelap, mereka tidak bisa melihat jelas air kawahnya yang sangat dalam. Rasa dingin semakin menggila. Acha menahan napasnya, mendapati bayangan pendaki yang berjalan melingkari kawah itu, demi menuju puncak paling tertinggi di seberangnya. Ia melangkah hati-hati, warna jingga mulai terlihat di ufuk Timur dipastikan fajar akan tiba. Jadi, mereka tepat waktu sampai di puncak. Bisa merasakan sunrise begitu juga Bram. Untuk kedua kalinya, ia menaklukan Ciremai, yang berbeda sekarang ia menjaga orang baru di kehidupannya. Paling mencekam itu sekarang. Hanya satu jalur untuk satu pendaki, di kanan adalah bebatuan landai, ditumbuhi bunga edelweis yang dilarang dipetik para pendaki, sedangkan di kiri sebuah kawah yang sangat di bawah. Warna airnya terlihat biru toska. Jika, matahari sudah bersinar terang, akan terlihat jelas pemandangan kawah itu. Pelan, sang fajar datang menciptakan warna keemasan. Di sana pula, sebuah lukisan alam terpampang, negeri di atas awan. Bergelung, memenuhi pinggiran puncak Ciremai. Tanpa hambatan, rombongan MAPALA sampai di puncak Ciremai. Beberapa pendaki mulai mengabadikan momennya. Begitu pula Devita, ia sangat bersyukur dan tidak pernah disangka berada di puncak atap Jawa Barat. Acha melihat jelas, Devita memeluk erat tubuh Devid, seseorang yang membantunya sampai puncak. Dari arah lain, dua gadis rekan kak Bubun sampai berceloteh hilir mudik menggunakan bahasa Sunda yang sehari-hari dipakainya. Sebelum Acha beranjak pergi menemui, Bram mencekal tangannya meminta berpose dengan cantiknya. "Cepet, sebelum jasa gua ditarik sama pendaki lain, nih!" Acha terkikik menahan tawa, lalu ia pun berpose sambil memegang papan bertuliskan MT. CIREMAI 3078 MDPL dengan latar fajar jingga dan lautan awan di belakangnya. Setelah beberapa kali potretan Acha sendiri, Bram pun meminta temannya untuk mengabadikan momennya berdua bersama Acha. Tanpa canggung, ia melingkarkan tangannya di bahu Acha, lalu pose berikutnya mereka berteriak merasakan kebahagiaan yang tidak terduga. Detik berikutnya, Bram dipanggil untuk menjadi pembantu pendaki lain, sebagai tukang kamera. Acha terkikik melihatnya, lalu menghampiri dua gadis yang tidak percaya berada di puncak. "Bayangkeun atuh, Dol, mimitina cuma hayalan ...." (Bayangkan dong, Dol, awalnya cuma hayalan) "Kapan heeuh urang ge teu nyangka, pisan!" balas Adol sama-sama tidak percaya (Kan, iya, aku juga gak nyangka, banget!) Acha mendekati mereka, memberikan senyuman kecil. "Gak nyangka kunaon, sih?" tanyanya di akhiri bahasa Sunda yang ia hafal. (Gak nyangka kenapa, sih?) Adol dan Atul saling berpandangan, tidak menyangka Acha bisa bahasa Sunda juga. "Lah, kakak bisa bahasa Sunda?" tanya Atul. "Iya, aku asal Bandung." "Hahaha pantesan!" balas Atul, sambil menyenggol bahu Adol. "Eh, kakak, kan, anak MAPALA, kalo kuliahnya masuk fakultas apa?" "Aku Sastra," jawab Acha. "Kalian masih SMK, ya?" "Iya, Kak, eh, Sastra? Tul, elo kan suka n****+, tanya gih!" "Oh, iya, ya," balas Atul, merasa se-frekuensi dengan Acha. Karena ia memiliki keinginan menjadi seorang novelis, tanpa harus berkuliah. "Aku suka n****+, kak, terus pengen mendalami ilmu kepenulisannya, bisa sharring, gak?" "Bisa, dong! Mau tanya apa?" Atul menggigit bibir bawahnya. "Minta kontak WA aja, gimana? Biar gampang," sarannya. "Mana, sini, biar aku yang ketik aja." Setelah memberikan kontak w******p-nya Acha pun memberikan tawaran untuk mengabadikan foto mereka berdua, dengan senang Atul segera memberikan ponselnya. Permintaan aneh pun datang dari Adol, ia meminta iphone milik Acha yang mengabadikan lagi momen mereka. "Kameranya bagus, Kak, boleh, 'kan?" pinta Adol di akhiri tawa. "Ih, teu boga ka era si Adol, mah!" gerutu Atul. (Ih, gak punya malu si Adol) "Baewe, bari soranganna teh hayang," balas Adol cepat (Biarin, sendirinya juga mau) Tanpa menunggu percekcokan kelar, Acha pun mengeluarkan ponselnya yang katanya bagus, iya bagus, enggak perlu diedit lagi. Tidak hanya sekali, dua manusia itu ingin Acha banyak menangkap momen mereka, tidak lupa selvie bertiga, sampai harus berakhir kala Acha mulai merasakan dinginnya udara. Walaupun fajar semakin terang, memberikan kehangatan. "Kakak ke bawah duluan, ya," pamitnya. "Iya, Kak, makasih loh, nanti kirim ke Atul, ya!" balas Adol, mengingat potretan mereka. "Siapp!" seru Acha, seraya berjalan hati-hati melewati bebatuan tajam. Dari kejauhan, ia mendapati Devid yang menatap ke depan, sendirian. Apakah ada waktu untuk berduaan? Kembali melanjutkan percakapan yang terpotong tadi malam?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD