bc

Covenant of Marriage

book_age18+
36.5K
FOLLOW
305.8K
READ
possessive
contract marriage
love after marriage
arrogant
dominant
doctor
drama
sweet
EXO
city
like
intro-logo
Blurb

Hidup Anna tak pernah menjadi miliknya sendiri. Ia ditinggalkan ayahnya dengan hutang yang begitu besar. Ia dan ibunya ditendang dari rumahnya sendiri dan merantau untuk memulai hidup yang baru. Saat semuanya sudah membaik, ia terpaksa harus drop out dari kampusnya karena ibunya berhutang karena judi online dan mengosumsi narkoba. Anna akhirnya mengambil alih peran ibunya dalam mencari uang.

Hingga akhirnya, Tuhan mempertemukannya dengan dr. Steve. Seorang dokter paruh baya yang begitu baik. Semua berjalan baik hingga tiba- tiba dr. Steve menyuruhnya untuk menjadi asisten anaknya yang baru saja menyelesaikan studi kedokterannya.

Anna membenci Jullian. Itu yang ia tahu sejak pertama mengenal pria itu. Pria tampan yang begitu angkuh dan egois, yang pada akhirnya berhasil menyeretnya masuk ke pernikahan kontrak karena Anna membutuhkan apa yang pria itu tawarkan saat itu.

Sejak itu, hidup Anna bukan lagi miliknya sendiri. Pria itu terlalu egois dan mendominasi namun perlahan menjadi manis dan begitu menggoda. Anna sadar bahwa perlahan sosok Jullian mulai mengisi hatinya, dan saat ia sadar, Jullian bukan hanya menjadi miliknya.

Anna hancur saat mengetahui bahwa ada seorang wanita yang hadir diantara mereka saat ia sadar bahwa ia mencintai Jullian.

chap-preview
Free preview
CHAPTER SATU
Udara siang itu sejuk. Suara deru mobil bersahutan bersamaan dengan beberapa mobil yang mengepulkan asap kotor. Suara klakson sempat memekik di perempatan jalan. Di pusat kota New York, berdiri kokoh sebuah rumah sakit setinggi tujuh belas lantai. Di kelilingi dinding kaca redup yang begitu mengkilat, memantulkan cahaya matahari ke segala arah. Mobil-mobil terlihat masuk dan keluar dengan frekuensi yang hampir bersamaan. Beberapa pria berseragam berkumpul di beberapa pos satpam di depan gedung itu. Anna masuk ke rumah sakit itu melalui pintu depan. Sebuah pintu kaca besar dengan sebuah sensor yang akan secara otomatis membuka ketika ia hendak masuk dan bau khas langsung menyusup ke hidungnya. Sebuah ranjang beroda dan empat orang yang mendorong di sekelilingnya mendahului. Seorang anak di atas ranjang itu terlihat memegangi dadanya karena kesulitan bernapas dan wanita tua yang Anna pikir adalah ibunya terlihat menangis dan berusaha menenangkan anaknya. Seorang resepsionis berdiri di balik sebuah meja besar berwarna cokelat dengan seragam berwarna krem. Ia tersenyum kepada Anastasia, di belakang tubuh jangkungnya yang sedang berdiri, ia bisa melihat sebuah pintu dengan kaca di tengah bertuliskan ‘staff only’. Ia bergerak ke lorong sebelah kiri. Menuju sebuah kotak berpintu besi yang akan mengantarnya ke lantai tujuan. Ia berkerumun dengan beberapa orang, mencium berbagai parfum mahal dari tubuh orang di sampingnya. Ia menunduk, memperhatikan sepatunya yang tampak kontras dengan sepatu yang lain. Sepatunya berwarna hitam yang hampir menyerupai coklat karena luntur. Sepatu bertumit rendah itu cukup nyaman dan well, memang agak memalukan tapi lebih baik dibandingkan dengan sepatunya yang lain. Anna masuk saat pintu lift itu terbuka dan sebelum memutuskan untuk berdiri di pojok, ia terlebih dulu menekan tombol dan getaran tanda pesan masuk membuatnya langsung merogoh saku rok-nya. Kau bisa sampai di sini lebih cepat? dr. Steve Ia membalas pesan itu dengan singkat dan bilang bahwa ia sudah sampai di rumah sakit. Ia turun saat sebuah layar di atas pintu lift menunjukkan lantai yang menjadi tujuannya. Setelah mengucapkan permisi, kerumunan yang masih berada di dalam lift seakan membelah memberinya jalan. Ruangan di lantai ini tidak terlalu padat, karena lantai ini adalah lantai khusus dokter spesialis. Beberapa orang terlihat duduk di depan pintu bernomor dan beberapa suster sibuk dengan map-map berwarna putih. Ia masih terus berjalan menuju ruangan paling pojok. “Selamat siang Anna. Aku pikir kau tidak masuk hari ini.” Suster Clara Bill menyapanya dari balik meja cokelat di depan sebuah pintu bernomor 505. “Aku hanya punya sedikit keperluan tadi.” katanya sambil menatap sebuah pintu bernomor 505 dan bertuliskan ‘dr. Steven Haynsworth.’ “Apakah dr. Steve sedang ada pasien?” tanyanya lagi. Wanita itu membenarkan letak kacamatanya dan menjawab. “Iya, Mrs. Butler. Keluarga pasien yang sedang ditangani dr. Steve. Sebentar lagi juga selesai.” Clara memberikan botol minuman kepada Anna. Ia mengambil dengan tatapan terima kasih. Ia dan Clara berbeda usia cukup jauh, yaahh… kurang lebih enam tahun. Tapi tubuhnya bisa dibilang beberapa senti lebih pendek dari Anna. Warna rambut mereka juga sangat kontras, rambut Clara berwarna pirang sedangkan ia coklat lebat. Yang Anna sukai dari Clara adalah hidungnya yang mancung dan lehernya yang jenjang. Wanita itu kembali sibuk dengan map-mapnya, memeriksa data-data pasien hari ini. Anna hanya memperhatikan Clara yang mulai mengetuk-ngetukan pulpennya di meja dengan pandangan menerawang. Beberapa menit kemudian pintu terbuka, dr. Steve keluar bersama Mrs. Butler. Wanita berambut keriting berwarna merah terang itu terlihat sedih. Setelah mengucapkan terima kasih dan menjabat tangan dr. Steve, ia tersenyum pada Anna dan Clara lalu mulai menjauh. “Aahh… Anna, kau sudah datang rupanya. Aku ingin memberitahukan sesuatu padamu. Mari ikut ke dalam.” Pria bersetelan putih itu kembali masuk ke dalam ruangan dan Anna mengikutinya. *** Anna duduk di sebuah kursi berwarna hitam, sangat kontras dengan warna cat dinding di ruangan yang serba putih itu. Pria paruh baya yang sudah beruban itu duduk di depannya, di sebuah kursi hitam empuk dengan sandaran tinggi. Ia meletakkan kacamatanya dan menatap Anna. “Kau tahu aku punya seorang anak laki-laki? Dia akan datang ke sini dalam waktu dekat dan akan bertugas di klinik-ku.” ujarnya lalu kembali melanjutkan. “Aku ingin kau membantunya selama di sini. Maksudku, aku pikir aku hanya di sibukkan dengan rumah sakit dan klinik itu, aku mungkin tidak butuh asisten pribadi lagi.” Wajah Anna seketika memucat. Menjadi asisten pribadi dr. Steve adalah pekerjaan terbaik yang bisa ia dapatkan. Bagaimana jadinya kalau ia diberhentikan? dr. Steve yang melihat air muka Anna berubah langsung melanjutkan. “Aku tidak akan memecatmu Anna. Aku hanya ingin kau bekerja untuk anakku. Kau gadis baik yang begitu periang dan anakku bisa dibilang mempunyai sikap dan sifat yang sangat buruk. Aku harap kau bisa tahan dengannya.” seulas senyum muncul di bibir tipis dr. Steve dan Anna hanya bisa memasang wajah sedatar mungkin. “Anakku akan sampai dalam minggu ini. Aku harap kau tidak keberatan dengan keputusanku.” Anna tersenyum lalu berdehem pelan. “Tidak apa-apa, dokter. Aku senang karena masih bisa bekerja untuk keluarga dokter.” Anna bangkit dari duduknya, menghampiri gantungan baju di belakang dan kembali dengan sebuah jas di tangannya. Ia lalu membetulkan letak buku di rak kecil di samping meja tempatnya duduk tadi dan tersenyum kepada dr. Steve. “Aku akan ke laundry dan akan kembali membawa makan siang untuk dokter.” “Terima kasih, Anna.” Anna menyunggingkan senyum lalu keluar dari ruang praktik. Setelah berpamitan dengan Clara, ia pergi menuju basement rumah sakit. Sudah hampir dua tahun ia mengabdi kepada keluarga Haynsworth. Ia bekerja sebagai asisten pribadi dr. Steve atau lebih baik dibilang pelayan. Ia mengatur semua kegiatan dr. Steve. Jadwal praktik dan beberapa seminar yang masih sering ia ikuti atau sekadar undangan-undangan pribadi. Semua janji yang berhubungan dengan dr. Steve harus melewatinya dulu sehingga tidak mengganggu jadwal yang lain. Ia keluar dari lift dan langsung disambut oleh bau pengap yang cukup menyengat. Debu dari kendaraan beroda seakan menguap di udara dan membuat hidungnya gatal. Ia menuju sebuah kotak kaca yang begitu terang di apit oleh dua buah kafeteria di kanan kirinya. Suara lonceng berbunyi saat Anna membuka pintu dan dalam hitungan detik, seorang wanita muda muncul dari balik pintu lainnya. “Selamat siang, Anna.” Wanita itu menyapa Anna dari balik meja yang membentuk setengah dari segi empat, seakan memenjarakan gerak wanita itu. “Selamat siang, Diane.” Ia menaruh jas yang ia bawa di atas meja, tepat di depan Diane Rowflane. “Terlambat satu hari dari jadwal biasa.” Diane mengambil jas itu dan menaruhnya di bawah meja, lalu ke dalam dan kembali dengan sebuah kantong kertas di tangannya dan memberikannya kepada Anna. Wangi harum langsung menyusup hidungnya saat ia melihat apa isinya. Setelan dr. Steve yang ia cuci minggu lalu. “Jangan bilang kau lupa.” Diane terkekeh sambil mengetikkan jari-jarinya pada mesin kasir. Anna mengeluarkan beberapa lembar uang dollar sesaat setelah Diane memberikan nota tagihan untuknya. Nota itu ia selipkan ke saku jaketnya. Bagaimanapun nota itu tidak boleh hilang karena akan dipertanggung jawabkan pada laporan pengeluarannya. “Kau tampak murung?” Diane menaruh kedua sikunya di atas meja dan menopang wajah dengan telapak tangan. Mengamati wajah polos di depannya. “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kurang tidur.” Anna menarik napas panjang dan mencoba tersenyum. “Apakah dr. Steve tidak memberikanmu waktu yang cukup untuk tidur?” Anna buru-buru menggeleng. Ia bisa dibilang terbiasa tidur larut malam apalagi jika dr. Steve mendapat jadwal malam dan mau tak mau Anna juga harus berada tak jauh dari dr. Steve. “Oia, kau mendapat salam dari si pria tampan itu.” Diane mengisyaratkan seseorang bernama Logan Hamilton. Seorang staff keuangan rumah sakit yang memang pernah beberapa kali mengajak Anna jalan. Hanya sekadar makan ataupun mengobrol di taman. Pria itu berperawakan tinggi dengan pakaian yang selalu rapi. Kulitnya pucat dengan tulang pipi tinggi dan rahang keras. Dia lembut dan sangat baik, setidaknya itu yang bisa disimpulkan Anna setelah beberapa kali bertemu dengannya. “Sudahlah, aku akan ke sebelah untuk membeli makan. Sampai jumpa.” Anna keluar dan kembali menimbulkan suara lonceng dan bergerak ke kafe yang letaknya tepat berada di sebelah laundry. Kafe itu sepi karena masih satu jam sebelum jam makan siang. Ia menghampiri kasir untuk memesan beberapa salad buah untuk dr. Steve dan sementara menunggu, ia mendudukkan diri di sebuah sofa berwarna krem dan memesan segelas cokelat panas. Semilir angin yang keluar dari mesin pendingin menerpa kulitnya. Ia mengeluarkan buku kecil dan sebuah pulpen dari tas-nya. Memeriksa catatannya, dan mengingat bahwa sore ini dr. Steve harus pergi ke rumah sakit di pinggir kota untuk memberikan penyuluhan. Seorang pelayan berseragam biru itu menghampiri dan memberikannya sebuah bungkusan berserta tagihannya. Ia mengeluarkan beberapa lembar dollar dari sakunya lalu kembali ke ruangan dr. Steve. “Terima kasih.” kata dr. Steve saat ia menaruh makan siang untuk pria itu. Oia, aku hanya ingin mengingatkan kalau sore ini dokter ada janji dengan kepala rumah sakit untuk memberikan penyuluhan.” katanya sambil menyebutkan nama rumah sakit yang jauh lebih kecil dari rumah sakit tempat praktik tuannya. “Kau sangat membantu, Anna.” Ia mengedipkan sebelah matanya. Membuat gadis itu tersenyum. Anna menggantung setelan yang baru saja diambilnya dari laundry dan memasukkannya ke sebuah lemari kecil yang ada di belakang ruang praktik. Mengeluarkan beberapa butir pengharum dari laci dan menaruhnya di lemari. Mengambil tisu basah dari laci yang sama dan mengelap tangannya yang berbau wangi. “Dokter, aku sudah memisahkan surat-surat minggu lalu. Aku akan membuangnya jika dokter sudah mengecek.” Anna berkata agak keras lalu membuat pesan di atas sebuah post-it berwarna kuning di atas surat-surat itu. “Tentu saja Anna. Aku tahu aku tidak perlu mengecek. Kau pasti tahu mana yang penting dan mana yang tidak.Tapi baiklah, aku akan mengeceknya besok.” Anna kembali menunjukkan batang hidungnya di depan dr. Steve tepat saat pria itu menghabiskan makan siangnya. “Bagaimana keadaan ibumu?” dr. Steve menyesap air putihnya hingga tandas. “Lebih baik. Aku hanya berharap penyakitnya tidak kambuh.” Tiba-tiba hatinya terasa nyeri kala mengingat kondisi ibunya. Lucia Carter, ibunya mempunyai kebiasaan yang sangat buruk. Semenjak suaminya Cole Carter pergi, lari dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah bagi Annabel Carter. Ibunya mulai mengenal obat-obatan terlarang dan hobi berjudi sama seperti ayahnya. Ibunya sudah dua kali masuk ke panti rehabilitasi dan seminggu yang lalu ia keluar dan satu-satunya harapan Anna adalah ibunya tidak akan pernah menyentuh barang haram itu lagi dan menghilangkan kebiasaannya berjudi. Menjelang pukul tiga, Anna sudah duduk di belakang setir. Siap mengantarkan dr. Steve ke rumah sakit lain untuk memberikan penyuluhan. Sebenarnya ini tidak termasuk dalam tugasnya. Dulu keluarga Haynsworth mempunyai supir pribadi termasuk dr. Steve. Tapi beberapa bulan lalu supir itu mengundurkan diri dan akhirnya Anna yang mengajukan diri untuk membawa mobil ke manapun dr. Steve pergi. Awalnya dr. Steve keberatan, tapi ia akhirnya menyetujui dan memberikan sedikit lebih gaji untuk Anna yang pasti akan dibutuhkan oleh gadis itu. Dengan kecepatan rendah Anna menyusuri kota New York yang tampak ramai sore ini. Jalan raya tampak teratur, kafe dan restoran yang sepertinya tidak pernah sepi pembeli. Di sebuah perempatan ia memutar setirnya ke kanan, melewati kawasan yang agak sepi dari mobilitas dan berganti dengan sejuknya pohon-pohon rindang. Mereka melewati sebuah florist dengan beraneka ragam bunga sebelum akhirnya sampai di tempat tujuan mereka. Mobil berhenti di depan pintu masuk rumah sakit itu dan membiarkan dr. Steve keluar dari mobil. “Aku akan menghubungimu kalau sudah selesai.” dr. Steve tersenyum dan Anna mengangguk cepat. Ia kembali menginjak gas menuju parkiran untuk memarkirkan mobilnya. Ia keluar dari mobil dan menghampiri satpam untuk menanyakan kafe terdekat. Pria berseragam itu menujukkan lantai tiga sebagai pusat kosumsi di rumah sakit itu. Setelah mengucapkan terima kasih Anna pergi menuju lift. Sesampainya, setelah meneliti satu per satu ia akhirnya masuk ke sebuah coffe shop dan memesan secangkir latte. Anna memperhatikan kafe itu. Kafe yang ada di sini bisa dibilang jauh lebih sederhana dibanding café di rumah sakit tempat dr. Steve praktik. Biarpun menu yang ditawarkan tidak jauh berbeda tapi harga menu di sini bisa dua kali lipat lebih murah. Ia menyesap lattenya dan merasakan tenggorokkannya menghangat. *** “Kau boleh membawa mobil kalau kau mau.” dr. Steve menawarkan mobilnya untuk dibawa Anna karena melihat hari sudah mulai gelap, tapi gadis itu menolak. “Tidak usah dokter. Aku akan naik bus saja.” Anna memberikan kunci itu ke dr. Steve lalu melambai pada Mrs. Haynsworth yang sedang berdiri di depan pintu menanti suaminya. “Apa kau tidak ingin makan malam dulu, nak?” Mrs. Haynsworth mendekat dan kini berdiri di depannya. “Aku masih punya beberapa makanan di kulkas. Aku tidak akan kelaparan.” Anna terkekeh, menampakkan deretan gigi putihnya. Mrs. Haynsworth adalah wanita paruh baya yang masih begitu menawan di usianya yang mungkin akan menginjak setengah abad. Kulitnya putih dengan beberapa bintik merah yang akan terlihat kalau ia tersipu. Setahu Anna, pasangan Haynsworth hanya memiliki dua anak laki-laki yang kini tinggal berjauhan. Itulah mengapa keluarga ini amat menyayangi Anna. Selain karena tinggal berjauhan dengan kedua anaknya yang sedang menyelesaikan sekolah, mereka juga tidak mempunyai anak perempuan. Saat mendengar kabar kalau ibunya masuk panti rehabilitasi, keluarga Haynsworth pernah mengajak Anna tinggal di rumah mereka. Tapi Anna secara halus menolak dan akhirnya keluarga itu membelikan Anna sebuah rumah sederhana yang ia tempati sampai saat ini. *** Anna menunggu bus di halte terdekat. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam, tapi kota New York tidak pernah tidur. Sejauh matanya memandang masih banyak manusia-manusia hilir mudik. Semilir angin dingin menyapu kulitnya. Lampu-lampu saling berlomba untuk memancarkan cahayanya. Ia naik bus menuju istana kecilnya. Setelah turun dari bus ia menyempatkan diri pergi ke minimarket dekat rumahnya untuk membeli beberapa gelas soda dan aspirin untuk ibunya. Ia membuka pintu dan langsung disergap oleh gelap yang pekat. Ia mencari stop kontak dan langsung membuat cahaya bertebaran. “Mom…” Ia berteriak menyusuri ruangan sambil terus menekan “on” pada stop kontak dan berakhir di kamar ibunya. “Mom.” Ia mendekat dan melihat ibunya masih bergelung di ranjang. Sekali lagi ia menyalakan lampu yang langsung diantisipasi oleh gerak ibunya. “Anna.” katanya dengan nada rendah. Memastikan bahwa yang baru saja mengganggu tidurnya adalah anak semata wayangnya. “Aku membawakanmu aspirin.” Anna tersenyum dan memberikan apa yang diminta ibunya. “Oohh… terima kasih. Aku benar-benar tidak menyangka akan sesulit ini keluar dari jerat obat-obatan itu.” Ibunya mengangkat tubuhnya sedikit dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. “Oohh, ayolah mom, kau harus benar-benar bersih. Demi aku.” Anna memberikan secangkir air kepada ibunya dan untuk kesekian kalinya meminta agar ibunya bersungguh-sungguh. Pasalnya, ini bukan kali pertama ibunya memutuskan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan itu. Sebelumnya, ibunya pernah berjanji untuk berhenti menjadi pemakai namun kembali terjerat karena merasa tidak mudah untuk berhenti. “Sayang, kau tahu aku selalu mencoba yang terbaik untukmu.” Ia menelan aspirinnya dan menenggak air putihnya hingga tersisa setengah. “Bagaimana pekerjaanmu hari ini?” Wanita itu menaruh bantal di perutnya dan menopang kedua tangannya pada bantal itu. “Baik.” Anna berdiri dan menutup tirai yang berwarna hijau tua di kamar itu. “Ada pasta di kulkas, kau bisa menghangatkannya. Aku tidak punya banyak waktu untuk memasak karena sakit kepala sialan ini.” Ia meruntuk dan sekali lagi menandaskan isi gelasnya. Setelah mengucapkan selamat malam pada ibunya, ia mematikan lampu dan menghidupkan lampu tidur lalu menutup pintu kamar ibunya. Ia melangkah menuju dapur untuk membuat teh dan mengambil makanan yang dimaksud ibunya. Setelah merasakan perutnya kenyang ia kembali kamarnya. Membasuh diri dalam kamar mandi mungil di dalam kamarnya lalu dengan sebuah gaun tidur berwarna biru muda, ia menjatuhkan diri di ranjangnya. Merasakan ranjang empuk itu seakan memijit punggungnya hingga ia terlelap. *** Pagi-pagi sekali Mrs. Carter sudah sibuk di dapur. Menyiapkan beberapa potong roti isi untuk Anna. “Kau bangun lebih cepat, mom.” Anna masuk ke dapur dengan setelan kemeja dan jaket lengkap dengan scarf dan jeans berwarna coklat tua. “Aku terlalu banyak tidur kemarin. kemarilah, aku membuatkan s**u hangat kesukaanmu.” Anna duduk dan langsung disodorkan sepiring roti isi dan s**u hangat dalam cangkir dengan orrnamen bunga-bunga yang asapnya masih mengepul. Anna meminta sendok kepada ibunya yang masih berdiri untuk mengaduk susunya dan menyesapnya pelan. “Bagaimana kabar keluarga Hayn… Hayn apa sayang?” Ibunya sudah duduk di depannya dan mulai mengunyah roti isi buatannya. “Hanysworth, mom.” “Entah aku yang terlalu bodoh atau nama keluarga itu memang susah dihapal.” Anna tersenyum. Dari dulu ibunya memang tidak pernah bisa menyebutkan nama keluarga Haynsworth dengan sempurna. “Mereka baik. Dan dr. Steve menyuruhku untuk berhenti berkerja untuknya.” Kalau Mrs. Carter sedang minum, mungkin ia sudah menyemburkannya ke arah Anna karena terkejut. “Maksudmu? mereka memecatmu?” Ia menghentikan kegiatan makannya dan kini menatap Anna baik-baik. “Tidak..tidak seperti itu. Dalam waktu dekat anaknya akan datang dan akan bertugas di klinik. dr. Steve menyuruhku untuk menjadi asisten pribadi anaknya.” “Oohh… bagus sekali kalau begitu. Aku pikir itu lebih bagus daripada harus menjadi asisten pak tua itu.” “MOM.” Anna melotot ke arah ibunya dan bilang. “Ingat apa yang sudah diperbuat keluarga Haynsworth kepada kita.” Anna mulai memeriksa tasnya, mengecek agar tidak ada yang ketinggalan. “Aahh yaa… kau mengingatkanku lagi sayang. Uang, rumah dan pekerjaan untukmu. Sampaikan ucapan terima kasihku kepada keluarga itu.” Mrs. Carter berbicara dengan nada lembut yang dibuat-buat seakan tidak benar-benar tulus. “Aku harap mommy baik-baik saja hari ini. Aku sepertinya akan pulang larut. Sampai jumpa.” Anna mencium pipi kanan ibunya dan melenggang keluar rumah. *** Anna masuk ke rumah berukuran besar itu seperti biasa. Rumah dengan tingkat kemewahan yang bahkan tidak pernah ia impikan akan menjadi miliknya. Keluarga Haynsworth bisa dibilang keluarga yang cukup terpandang. Profesi kepala keluarganya yang seorang dokter tentu saja begitu mudah mengalirkan pundi-pundi uang yang kini terlihat jelas hanya dari pagar rumah mereka. Selain menjadi dokter di beberapa rumah sakit besar, keluarga Hanynsworth juga memiliki sebuah klinik umum. Klinik itu buka selama dua puluh empat jam selama tujuh hari penuh yang dikelola bersama saudaranya, dr. Raymond. Anna memberikan salam yang langsung disambut dengan senyuman hangat oleh pasangan Haynsworth. “Selamat pagi Anna, kau terlihat cantik hari ini.” Mrs. Haynsworth langsung mengisyaratkan agar Anna mendekat. “Apa kau sudah sarapan? aku membuat puding coklat.” Anna duduk di depan Liana dan langsung dihadapkan oleh sepiring kecil puding dengan fla yang menggugah air liurnya. “Sepertinya enak.” “Tentu saja. Ayo coba.”Anna mulai memotong puding itu lalu mencicipinya. Dan rasanya seperti bayangannya, sangat enak dan masakan Liana memang selalu enak. Liana seperti bayangan seorang istri yang begitu sempurna dan dr. Steve pasti beruntung memilikinya. “Apakah suamiku sudah membicarakan mengenai kedatangan anakku?” Anna tiba-tiba tersentak mendengar Mrs. Haynsworth merubah topik pembicaraan dan Anna hanya bisa mengangguk karena rasa puding masih mendominasi mulutnya. “Kau pasti akan menyukainya, Anna. Dia pria yang sangat tampan.” Anna mencoba tersenyum setelah berhasil meminum air putihnya. “Aku harap kau tidak keberatan bekerja untuknya.” Wajahnya terlihat berseri-seri seakan kedatangan anaknya adalah kebahagiaan terbesarnya. “Jangan terlalu memuji Jullian. Anna akan kecewa saat bertemu kalau kau terus memujinya seperti itu.” dr. Steve melihat semburat kekecewaan dalam wajah istrinya. “Kenapa? anak kita memang tampan kan? Apa aku salah?” dr. Steve akhirnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya pelan, seakan mengalah pada istrinya. Anna mulai berfikir seperti apa kiranya anak dr. Steve. Tapi, buat apa ia memikirkan rupa laki-laki itu. Toh ia tetap harus menjadi asisten pribadinya seperti apapun wajahnya. Anna mengeluarkan agendanya dan memberitahu jadwal dr. Steve sampai nanti sore. Harus sampai rumah sakit sebelum jam sepuluh karena ada janji dengan Mr. Fanks, salah seorang kerabat pasien yang ditanganinya. “Simpan yang lainnya, Anna. Aku yakin aku akan tetap bertanya walaupun kau sudah membeberkan semua agendaku hari ini.” dr. Steve memakai jasnya dan bersiap untuk berangkat. To Be Continue LalunaKia

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Bastard My Ex Husband

read
383.1K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
220.4K
bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Hurt

read
1.1M
bc

Perfect Marriage Partner

read
810.4K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

Secret Marriage

read
943.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook