Trauma Itu Masih Ada

1021 Words
Jika kamu pikir happy ending adalah akhir sesungguhnya dari sebuah kebahagiaan, kamu akan kecewa. Karena dalam hidup berumah tangga, masalah tidak akan berakhir menguji hingga keduanya sadar bahwa yang terpenting dalam mempertahankan hubungan adalah sebuah KOMITMEN. _ Catatan kecil Vania_ *** Suasana di ruang tamu masih belum membaik, atmosfernya bahkan membuat orang-orang yang berada di dalamnya terasa kekurangan oksigen, begitu menyesakkan. Amita masih berderai airmata, sekalipun Daniel tetap menunggu penjelasannya. Entah alasan apa lagi yang hendak dilontarkannya. Tak ada yang berniat memonopoli pembicaraan, masih membiarkan wanita tua itu meredakan isak tangisnya kemudian menjawab semua pertanyaan Daniel. “Ibu ditolong oleh seseorang, dirawat dengan baik oleh dia selama ini. Tetapi dia sudah meninggal beberapa bulan lalu, ibu bahkan tidak tahu siapa dia sampai dirinya meninggal. Ibu sendirian setelah kematiannya, dalam kesendirian serta rasa sepi itulah, ibu mendapatkan ingatan masa lalu kembali.” Amita masih mengandalkan isakannya sehingga apa yang dilontarkannya susah untuk didengar. Vania mengerutkan dahi, berupaya keras menajamkan pendengarannya agar bisa menangkap suara bercampur tangisan itu. ‘Dia ngomong apa sih?’ gerutu Vania dalam hatinya, sungguh terasa mengganjal dalam benak lantaran wanita tua itu memelankan suaranya dan hanya isakan yang terdengar jelas. Tetapi Daniel tampaknya mendengar semua itu dengan jelas, bagaimanapun Daniel lebih menang jarak ketimbang Vania. Sepanjang yang diceritakan oleh Amita sama sekali tidak menyentuh hati Daniel. Terlalu sulit untuk mempercayainya, terlebih rasanya tak masuk akal saja bila ada orang yang sebaik itu merawat ibunya tanpa diketahui identitasnya. Rancu, semua terdengar hanya karangan indah saja. “Apa masih ada orang sebaik itu di dunia ini? Yang mau menampung seseorang yang tidak lagi muda, merawatnya dengan baik tanpa meminta imbalan? Aku sama sekali tidak bisa percaya semua yang anda katakan, terlalu fiktif! Lalu sekarang, jika anda benar ibuku, lalu siapa ... Siapa jenasah yang turut dikebumikan bersama ayahku? Anda mau mengarang indah lagi bukan? Huh!? Jelaskan bagaimana logikanya jenasah yang sudah dikubur bisa hidup lagi?” Vania melihat kemarahan dari raut wajah suaminya, ia hapal betul bagaimana mimik pria itu ketika marah. Hidup bersamanya selama bertahun-tahun, mengalami cekcok hebat dengannya berkali-kali, dan kini melihat amarah pria itu lagi, semua nostalgia masa lalunya yang buruk ikut mengusik benaknya. Meskipun bukan ia sasaran amukan Daniel, tetapi melihat ekspresi marah dia, mendengar suara kerasnya, semua itu berperan nyata membangkitkan kenangan buruk yang hendak dikubur Vania. Trauma itu masih ada, ya ... masih tersisa di hati Vania. Amita merasa di skakmat oleh pertanyaan rumit Daniel, tak menyangka kalau air mata saja tidak cukup untuk meluluhkan hati yang terlanjur tidak percaya kepadanya. Putrnya sudah berubah menjadi pria dewasa yang penuh curiga, tak lagi bisa ia gapai dengan rayuan serta tangisan. Dalam keheningan yang ada, Amita memutar otaknya, berpikir keras apa yang harus ia lakukan untuk mendapatkan kepercayaan putranya lagi. Jika penjelasan tak lagi mempan, Amita tak berpikir panjang lagi, ia melemaskan sepasang kakinya, nekat bersimpuh di hadapan Daniel. Daniel tercengang, spontan mundur beberapa langkah ketika melihat wanita tua yang mengaku sebagai ibunya itu berlutut di hadapannya. Sama halnya dengan Vania yang terkejut hingga menutupi mulutnya agar tidak spontak berteriak. Sepasang suami itu saling menatap, bingung menghadapi situasi yang sulit dijelaskan itu. Daniel masih belum tergugah untuk melakukan apapun, hanya mematung diam melihat wanita tua itu berlutut. “Ibu tidak tahu harus bagaimana lagi agar kamu percaya. Andai bisa memilih, ibu juga tidak mau seperti ini! Kenapa tidak mati saja bersama ayahmu saat itu? Hidup juga tidak ada gunanya kalau putraku satu-satunya tidak bersedia mengakuiku. Aku mencintaimu, putraku ... ibu senang kamu sudah hidup bahagia. Ibu akan pergi selamanya dari kehidupanmu.” Isakan tangis serta pengakuan yang sarat akan kepasrahan itu mengusik hati kecil Daniel. Pertahanan hatinya yang berupaya menolak kenyataan pun mulai mengendor, nuraninya terketuk untuk mengakui bahwa wanita yang masih saja berlutut itu adalah ibunya. Ya, ibu yang melahirkannya! Daniel tak berpikir panjang lagi, ia ikut merendahkan tubuhnya hingga sejajar dengan Amita, kemudian menarik wanita tua itu ke dalam pelukan. Sikap dadakannya itu berhasil membuat tangisan Amita pecah. Ibu dan anak itu berpelukan erat dan meluapkan segala perasaannya. “Maafkan aku ibu, aku terlalu shock. Ibu tidak perlu pergi, ini rumahmu juga.” Vania nyaris ambruk di tempatnya berdiri sekarang, pemandangan itu terlalu mencolok mata. Setelah melihat sikap Daniel yang luluh, Vania baru menyadari bahwa ia terlalu menaruh harapan kepada suaminya. Ternyata pria itu belum sepenuhnya berubah, masih rentan tergugah pada sesuatu yang belum jelas kebenarannya. Hatinya bahkan jauh lebih lemah daripada Vania. Tetapi apa yang bisa Vania lakukan sekarang? Memisahkan mereka yang tengah berpelukan erat? Apapun yang ia lakukan, akan membuatnya terlihat konyol. Daniel menuntun Amita berdiri setelah merasa puas dengan pelukan. Sepasang kaki wanita tua itu belum sanggup menopang berat tubuhnya setelah bersimpuh cukup lama. Ia nyaris roboh kembali namun berhasil ditopang oleh tangan Daniel. “Hati-hati ibu, pelan-pelan saja. Maaf sudah membuat ibu berlutut di hadapanku.” Amita tersenyum sembari menggeleng, sepasang tangannya menyentuh wajah Daniel. Kini pria itu tidak lagi menepis sentuhannya, ia berhasil menangkupkan kedua tangannya di wajah tampan putranya. “Tidak perlu minta maaf, ibu sangat menyayangimu nak.” Awalnya Daniel hanya mencurahkan perhatiannya kepada Amita, namun ia menyadari ada Vania yang masih bertahan di sana, menonton apa yang dilakukan olehnya sedari tadi. Daniel bisa melihat ekspresi wajah Vania yang menyedihkan, refleks Daniel menyingkirkan tangan Amita dari wajahnya namun tidak dengan kasar seperti sebelumnya. “Ibu, aku harus memperkenalkan seseorang padamu.” Jelas Daniel, sebelum Amita bertanya mengapa ia menyingkirkan tangannya. “Vania ... kemarilah.” Pinta Daniel dengan suara yang lembut, ia bahkan berjalan menyambut Vania agar berkumpul di tengah bersama mereka. Vania meragu seketika, wajahnya mengerut, ia menatap Daniel dengan keraguan. Bagaimana ia bisa mendekati wanita berwajah murka yang sudah memberikan kesan buruk pada perkenalan mereka. Bekas tamparannya saja masih terasa hangat di area pipi Vania, meskipun hanya perasaannya saja, tetapi cukup membekas di hati Vania yang rentan akan rasa trauma. “Va, kemarilah ....” Daniel kembali meyakinkan Vania, bahkan disertai anggukan agar wanita itu tidak meragu lagi. Vania malah semakin tidak yakin untuk melangkahkan kaki menuju tempat Daniel. Bingung. Terlebih melihat senyum seringai Amita yang bermuka dua, menunjukkan kemunafikan di belakang Daniel. ‘Wanita itu tersenyum? Dia ... sedang bersandiwara!’ Batin Vania semakin terguncang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD