Baru juga Andaru mulai fokus pada layar komputer ketika suara dering telepon di atas meja kerja berbunyi. Fokus Andaru kembali ambyar karena sekali lagi deringnya sangat mengganggu. Gegas Andaru mengangkatnya dan mendengar suara seseorang di seberang sana.
"Andaru Dewangga." Suara berat seorang lelaki terdengar ketika gagang telepon telah menempel di telinga.
"Iya. Ini saya. Andaru Dewangga."
"Anda diminta oleh Pak Dion untuk menghadap."
Andaru mencoba mencerna apa yang tengah ia dengar sekarang. Dion Arashi memanggilnya. Seorang CEO sekaligus owner perusahaan, untuk apa memanggil dirinya. Apakah ini ada kaitannya dengan kesalahan yang ia buat tadi pagi. Atau karena Miranti yang tadi tak sengaja dia tabrak, lalu melapor kepada papanya. Mampus kau Andaru!
Andaru mengumpati dirinya sendiri yang terlalu bodohh juga ceroboh dalam bersikap berperilaku.
"Halo, Andaru. Kamu masih di sana?"
Andaru tergagap. Bisa-bisanya ia justru melamun di saat telepon masih tersambung.
"I-iya saya masih ada di sini." Andaru dengan tergagap menjawab.
"Segera datang temui Pak Dion ke ruangannya sekarang. Karena kamu telah ditunggu."
Meski ragu juga takut, ajan tetapi Andaru tetap harus menjawab, "Baiklah. Saya akan datang sekarang."
Klik. Panggilan telepon terputus. Kegugupan Andaru rasakan dan kini keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Gegas beranjak berdiri karena tidak ingin sang atasan marah besar menunggunya terlalu lama. Andaru keluar ruang kerjanya, tentu saja diiringi dengan kata penuh tanya dari beberapa rekan kerja yang melihat kepergiannya.
Meremas kedua tangan sembari melangkah dengan kepala menunduk menuju lift. Ruangan Dion Arashi berada di lantai tertinggi gedung perkantoran ini.
"Mas Ndaru!" Panggilan seseorang menghentikan langkah pria itu. Kepalanya menoleh pada arah sumber suara mendapati seorang wanita cantik dibalut jilbab juga seragam office girl yang melekat, sedang tersenyum lebar menatap kepadanya.
"Mas Ndaru mau ke mana? Kenapa berjalan tergesa-gesa begitu?" tanya dari mulut Aisya yang penasaran akan perginya Andaru.
"Itu. Saya mau ke ruangan Pak Dion."
Kening Aisya mengernyit, heran juga penasaran untuk apa Andaru dipanggil sang bos besar.
Seorang Dion Arashi tak akan mungkin mau berurusan dengan karyawan rendahan jika tak ada suatu sebab.
Karena melihat Aisya yang justru diam masih dengan menatapnya, Andaru rasa tak lagi ada pertanyaan yang ingin gadis itu ucapkan.
"Eum ... Ais, aku tinggal dulu, ya? Takut Pak Dion menungguku terlalu lama.
Gadis bernama Aisya mengangguk membiarkan Andaru pergi meninggalkannya.
Di depan lift yang akan membawanya ke lantai teratas gedung ini, Andaru masih deg-deg an saja akan apa yang terjadi padanya ketika nanti menghadap pada Dion. Bahkan ketika pintu lift itu pun terbuka dan Andaru masuk ke dalamnya, pikirannya tak kunjung bisa tenang. Berdoa agar tidak ada hal buruk yang akan menimpanya.
Ting
Denting pintu lift terdengar membuat Andaru terlonjak karena kaget. Apalagi di dalam lift yang membawanya tadi, Andaru hanya seorang diri tanpa ada siapa oun juga.
Berjalan dengan langkah lebar-lebar hingga Andaru sampai di depan meja sekretaris Dion Arashi.
"Selamat sore, Mbak. Bisa saya bertemu dengan Pak Dion? Tadi beliau meminta pada saya untuk menghadap."
Wanita berparas ayu itu mengetahui jika seseorang yang tengah ditunggu oleh sang atasan telah datang.
"Andaru Dewangga, kan?"
Pria itu mengangguk.
"Mari saya antar masuk ke dalam. Bapak Dion telah menunggu Anda."
Andari mengekor di belakang sekretaris Dion yang sedang mengetuk pintu lalu membukanya.
"Selamat sore, Pak. Andaru datang ingin bertemu," ucap wanita itu sopan.
"Suruh dia masuk."
"Baik, Pak."
Andaru melihat jika wanita tang berdiri di depannya ini menoleh kepadanya.
"Silahkan masuk."
Andaru menurut. Maju beberapa langkah sampai di ambang pintu ruangan Dion Arashi. Sekretaris Dion keluar dan tak lupa menutup pintunya. Jangan ditanya apa yang sedang Andaru rasakan. Selama tiga tahun bekerja di kantor ini, baru satu kali ini Andaru menginjakkan kaki di ruangan sang pemilik perusahaan. Karena jika seseorang itu tidak berkepentingan, sekalipun itu adalah karyawan Arashi Building, maka tak akan bisa sembarangan bertemu dengan Dion Arashi. Orang nomor satu di perusahaan ini. Oleh sebab itulah tidak heran jika Andaru terus saja merasakan sebuah kegugupan karena berhasil berada di tempat ini sekarang.
"Selamat sore Pak Dion," sapa Andaru dengan sopan, bahkan kepalanya menunduk dalam. Takut bertatapan dengan sang atasan.
"Duduk Andaru."
Menganggukkan kepala sekali dan menuruti apa yang Dion perintahkan.
Kini Andaru dan Dion saling duduk berhadapan. Terlampau takutnya sampai-sampai Andaru tak berani mengangkat wajahnya.
"Andaru Dewangga."
"I-iya, Pak."
"Kenapa kamu hanya menunduk saja. Tidak sopan jika sedang berbicara dengan seseorang, tapi kamu justru tak mau menatap lawan bicaramu."
Deg
Andaru tergagap tak menyangka jika perkataan pembuka yang Dio bicarakan justru demikian.
"Maafkan saya, Pak," jawab Andaru lalu perlahan dia mendongak dan dapat melihat bagaimana Dion tang tengah intens menatapnya.
Andaru menelan saliva semakin gugup saja.
"Andaru. Saya dengar dari bagian IT support, jika tadi siang kamu telah berhasil membantu mereka mengembalikan data-data perusahaan yang diretas oleh orang tak bertanggung jawab."
"S-saya ... saya hanya membantu saja sesuai apa yang bisa saya lakukan, Pak."
"Apa kamu tahu Andaru ... jika semua usahamu itu sangat berjasa bagi perusahaan. Berkat kamu juga data perusahaan dapat diselamatkan. Kamu memang hebat."
"Saya tidak sehebat itu Pak Dion."
"Jangan merendah Andaru. Jujur ... aku sempat tak bisa mempercayainya jika kamulah orangnya."
Andaru hanya memberikan sebuah senyuman. Siapa sangka apa yang tadi ia lakukan untuk membantu tim IT sampai juga di telinga seorang Dion Arashi. Sampai-sampai memanggilnya ke tempat ini untuk memastikan jika benar dialah orang yang telah menyelamatkan data penting perusahaan.
"Andaru."
"Iya, Pak."
"Atas nama perusahaan, aku ucapkan terima kasih atas usaha yang telah kamu lakukan juga dengan hasil yang sangat memuaskan. Sebagai kompensasi akan apa yang telah kamu buat ... Aku sudah memikirkan sebuah tawaran padamu."
Kening Andaru mengernyit. "Tawaran? Eum ... tawaran apa itu, Pak?"
"Aku sudah melihat kinerjamu selama berada di perusahaan ini. Dan cukup baik. Meski ada beberapa hal ceroboh yang telah kamu lakukan. Seperti kejadian tadi pagi misalnya."
Deg
Lagi-lagi Andaru menelan saliva karena takut juga gugup. Seharusnya Andaru tak perlu berlebihan seperti ini. Namun, ini sudah refleks saja. Tak bisa Andaru kendalikan.
"Meskipun demikian ... aku masih bisa memakluminya. Kamu tak perlu takut juga khawatir seperti itu."
Huft, sedikit kelegaan Andaru rasa. Meski pun demikian Andaru masih juga harap-harap cemas dengan apa yang akan disampaikan selanjutnya oleh Dion Arashi.