Sang Pewaris-11

2018 Words
Andaru duduk saling berhadapan dengan Dion Arashi. Sang atasan yang tengah mendelik tajam seharusnya membuat Andaru ketakutan. Namun, yang ada pria itu justru bersikap biasa saja. Mungkin karena Andaru telah hilang rasa akan semua sikap orang-orang di sekitarnya. Andaru yang biasanya hanya mampu menundukkan kepala ketika berhadapan dengan orang besar semacam Dion Arashi, kini pria itu dengan santai duduk dengan punggung tegak menatap lurus ke depan pada sang atasan. "Katakan padaku, Andaru. Apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa sampai bisa kita kecolongan lagi. Apa sebenarnya yang telah kamu kerjakan selama ini. Bukankah aku telah memerintahkanmu untuk membuat sistem keamanan yang secanggih mungkin." Andaru menghela napas. "Namanya sistem ada saja kelemahannya, Pak Dion." Dengan enteng Andaru menjawab dan apa yang dikatakan oleh Andaru sangat tidak bisa diterima oleh Dion. Bagaimana mungkin Andaru yang jelas-jelas bertanggung jawab akan apa yang sudah menjadi tugas pria itu, malah justru bisa sesantai dan setenang ini. Ini bukan hal kecil, tapi menyangkut hidup mati perusahaan sebesar Arashi. "Apa? Mudah sekali kamu mengatakannya, hah? Mana tanggung jawabmu?" pinta Dion dengan suara lantang dan tegas. Andaru menelan ludah, berusaha setenang mungkin untuk kembali memberikan jawaban. "Maaf karena saya tidak bisa lagi memfotsir pikiran juga tenaga saya untuk perusahaan. Karena hal itu sangat merugikan saya." Dion tak percaya dengan apa yang Andaru katakan barusan. Bagaimana mungkin sekarang Andaru berani sekali menjawab apa yang dia katakan. Kurang ajar! Maki Dion dalam hati. Pria itu masih berusaha tenang menghadapi Andaru. Meski perusahaannya tengah di ujung tanduk. Bagaimana Dion tidak panik dan juga resah. Website perusahaan kacau, sistem jaringan penjualan tidak berfungsi dan juga yang paling parah adalah sistem keuangan. Sampai ada orang yang membobol data penting perusahaan, maka tamatlah riwayat Arashi. Perusahaan sebesar Arashi seharusnya tidak main-main dalam hal pengendalian sistem jaringan. Karena semua serba canggih maka resikonya pun tidak main-main. "Katakan sekali lagi padaku apa yang baru saja kau ucapkan?" Dion ingin memastikan sekali lagi jika pendengarannya tidaklah salah. "Maaf karena saya tak lagi mau mengerjakan apa yang Anda perintahkan Pak Dion, kecuali ...." Andaru menjeda ucapannya. "Kecuali apa?" Dion yang penasaran tak sabar ingin mendengar. "Anda mau memberikan saya imbalan yang setimpal dengan apa yang telah saya kerjakan. Jika saya pikir-pikir lagi, apa yang saya kerjakan selama ini tidak sebanding dengan gaji yang Anda berikan pada saya." "Hei, Kamu! Bukankah gajimu sudah kuberikan dua kali lipat dari gaji lamamu yang dulu." "Ya, tapi tetap saja semua tidak sebanding dengan kerja keras saya memeras otak demi kemajuan perusahan Anda." "Kemajuan perusahaan ini juga keuntungan bagi karyawan sepertimu. Dan mengerjakan apa yang aku perintahkan, itu sudah menjadi tugasmu sebagai seorang karyawan." "Anda benar, Pak Dion. Tapi ... tetap saja apa yang saya dedikasikan untuk perusahaan tak sebanding dengan timbal balik apa yang Anda berikan untuk menghargai kerja keras saya." "Ngelunjak kamu!" tuding Dion dengan wajah mengeras menahan amarah juga emosi yang meletup-letup. Dalam hati sebenernya Andaru harap-harap cemas karena telah berani melawan Dion Arashi. Selama ini dia sama sekali tak pernah melawan siapa pun. Baru kali ini Andaru bersikap kurang ajar seperti ini dengan orang lain. Oh, Tuhan. Semoga tak ada hal buruk yang nantinya terjadi. Begitu Andaru berdoa dalam hati. Mencoba menenangkan diri dan menekan rasa takut agar tak kentara terlihat dimata Dion Arashi. Ini adalah salah satu cara untuknya mulai bangkit. Terbiasa mendapat hinaan dari orang-orang di sekitarnya telah menjadikan Andaru memiliki pribadi yang kuat meski kenyataannya selama ini dia selalu terlihat lemah. Kesabaran seseorang itu ada batasnya dan inilah ambang batas kesabaran seorang Andaru Dewangga. "Maaf, Pak. Tapi saya tidak bisa lagi dan tidak akan mau Anda manfaatkan. Karena kemampuan saya ini sangatlah berharga. Saya tidak ingin merasa dirugikan. Karena Anda dengan atas nama perusahaan telah memanfaatkan semua. Jika Anda masih mau menggunakan semua kemampuan saya demi kemajuan perusahaan, sudah sepatutnya Anda memberikan imbalan yang setimpal dengan semua pikiran yang telah saya kerahkan." "Jangan mimpi kamu Andaru! Sekarang, bereskan semua barang-barangmu karena mulai hari ini kamu tak lagi menjadi karyawan di perusahaanku. Kamu aku pecat!" teriak Dion Arashi dengan menggelegar terdengar jelas di indera pendengaran Andaru. Terkejut, karena doa-doa Andaru agar semua masih baik-baik saja tak terbukti. Nyatanya, Dion marah besar karena perlawanannya. Menelan ludah besar-besar, menegakkan punggungnya agar dia tetap terlihat tenang. Andaru tak menyangka jika justru Dion Arashi memecatnya. Yah, semua diluar dari prediksi Andaru. Andaru harus berani menerima konsekuensi dari keberaniannya melawan sang atasan. Namun, kata-kata pemecatan itu tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Andaru. Sudah kepalang tanggung dan Andaru tak akan mundur. Pria itu tak akan menarik kata-katanya sendiri untuk kembali merunduk di hadapan orang lain. Tak akan Andaru memohon-mohon pada Dion agar tak memecatnya. Kehilangan pekerjaan memang bukanlah yang Andaru inginkan saat ini karena ada seorang ibu yang sangat bergantung pada gaji setiap bulan yang ia terima. Namun, kembali lagi, pikiran Andaru berpusat pada satu kenyataan bahwasannya rejeki sudah ada yang mengaturnya. Meski dia telah berhenti bekerja dari perusahaan ini, bukan berarti ladang rejeki untuknya akan tertutup begitu saja. Tuhan masih akan membukakan pintu rejeki dari sembarang arah. Andaru percaya akan hal itu. Dan pemecatannya hari ini akan Andaru terima dengan lapang dadaa. Pria itu mengangkat dagu sembari menatap lurus pada Dion. "Baiklah jika itu yang Anda inginkan, Pak Dion. Saya akan keluar dari perusahaan ini. Terima kasih atas segala kesempatan yang telah Pak Dion berikan pada saya. Di perusahaan ini saya banyak belajar tentang arti kehidupan, bahwa tidak ada orang yang tulus berbuat baik pada saya, karena rupanya semua ada pamrihnya." Andaru beranjak berdiri. "Selamat siang." Keluar dengan angkuh dam langkah tegap dari ruangan Dion Arashi. Begitu pintu telah Andaru tutup, luruh sudah bahu Andaru. Bagaimana pun kehilangan pekerjaan adalah hal yang sangat menyedihkan. Dia tak lagi ada pemasukan rutin setiap bulannya. Dari divisi IT selama beberapa bulan ini, gaji Andaru sudah cukup untuk mengisi tabungannya. Mungkin untuk sementara waktu, dia masih bisa menghidupi ibunya dari sisa gaji yang ia sisihkan itu sampai nanti Andaru mendapatkan pekerjaan baru. Dengan langkah lunglai Andaru meninggalkan ruangan Dion mengabaikan senyuman dari sekretaris cantik yang duduk di depan ruangan CEO. Andaru menundukkan kepalanya menuju lift untuk kembali ke divisi IT di mana ruangannya berada. Ia akan membereskan semua barang-barang pribadinya. Tak ada yang perlu Andaru sesali karena ini sudah menjadi keputusannya. Lebih baik ia meninggalkan perusahaan yang hanya memberikan kenangan buruk selama ini. Daripada harga dirinya terus saja diinjak-injak lama-lama Andaru tak tahan juga. Biarlah. Ia akan menunjukkan pada mereka semua bahwa tanpa Arashi ia masih mampu menjadi seseorang yang sukses nanti. *** Andaru yang tengah memasukkan barang-barang ke dalam sebuah box mendapati penuh tanya dari para rekan kerjanya. Ia tak peduli dengan itu semua dan tetap menata dengan rapi barang pribadi yang akan ia bawa pulang. Sementara barang inventaris kantor, tentu saja ia tinggal. Karena rasa penasaran salah satu rekan kerja seorang perempuan beranak satu yang selama ini juga banyak Andaru repoti, menghampirinya untuk bertanya. "Andaru, kamu mau ke mana? Kenapa barang-barang ini kamu kemas?" Andaru menyunggingkan senyuman. Tak mau terlihat menyedihkan di mata siapa pun juga. Andaru harus kuat dan pria itu pun menjawab. "Mulai hari ini aku tak lagi bekerja di kantor ini." "Apa? Maksudmu?" "Hari ini adalah hari terakhirku bekerja, Mbak," jawab Andaru masih dengan senyum palsunya. "Kenapa bisa begitu?" "Ya, tentu saja bisa." "Maksudku ... kenapa mendadak sekali. Apa ada sesuatu yang terjadi?" Kepala Andaru menggeleng. "Tidak ada. Mungkin karena kesempatanku bekerja di kantor ini hanya sampai di sini saja. Terima kasih karena selama ini Mbak telah banyak membantuku." Meski masih banyak tanya yang bercokol di dalam pikiran, nyatanya rekan kerjanya itu tak lagi mau banyak bertanya. Menepuk punggung Andaru seraya memberikan satu buah senyuman penyemangat. "Andaru, semoga di luar sana kamu akan mendapatkan tempat kerja baru yang lebih baik dari sini tentunya. Terima kasih juga karena pernah menjadi bagian dari tim IT." Mereka saling melemparkan senyuman lalu setelahnya Andaru kembali melanjutkan aktifitasnya. Setelah semua selesai, tak lupa Andaru berpamitan pada satu per satu teman satu timnya. Banyak tanya yang tak bisa Andaru jawab. Tak mungkin juga Andaru memberikan alsan mengenai hal yang sesungguhnya di mana dia telah melawan Dion Arashi sampai membuatnya dipecat seperti ini. Namun, pemikiran juga tebakan mereka ada pada seputar terganggunya jaringan serta jebolnya data perusahaan sehingga bisa diakses pihak luar. Jika memang itu masalahnya, seharusnya bukan Andaru saja yang dipersalahkan tapi juga semua tim satu divisi. Sekarang pun mereka tengah berjuang dan bekerja keras menyelamatkan data perusahaan agar tak sampai tersebar luas. "Aku pergi. Kalian pasti bisa menyelesaikan semua permasalahan ini. Sampai jumpa nanti di lain kesempatan." Sangat disayangkan karena Andaru yang mereka harapkan dapat membantu karena kecanggihan otak Andaru yang di atas rata-rata. Nyatanya, Andaru justru meninggalkan mereka semua. Dengan box di tangan dan tas ransel tersampir di punggung, Andaru menyeret langkah kakinya menyusuri koridor menuju lift. Tak perlu menunggu sampai jam kerja usai, ia akan segera pergi. Helaan napas berkali-kali keluar dari sela bibirnya. Tak mempedulikan tatapan mata orang yang sedang berpapasan dengannya. Berdiri di depan lift menunggu sampai pintunya terbuka. Mengetuk-ngetukkan ujung sepatu pada lantai berharap suasana hatinya segera membaik. Sungguh, rentetan kejadian dalam satu hari ini membuatnya stres tapi berusaha ia tutupi. "Mas Ndaru!" Suara lantang seseorang membuat tubuh Andaru memutar ke belakang. Ada Aisya yang tergopoh-gopoh berlari menghampirinya. Dengan napas tersengal gadis itu berdiri saling berhadapan dengan Andaru. Menelisik pria itu dengan kening mengernyit. "Mas Ndaru mau ke mana? Kok, bawa-bawa kardus segala?" Tentu Aisya merasa kebingungan mengetahui di jam segini Andaru dengan barang bawaan. Ah, melihat Aisya yang selalu peduli padanya seperti ini tiba-tiba saja membuat Andaru bersedih hati. Selama ini hanya Aisya yang tulus padanya. Selalu baik dan tak ada kesan memanfaatkan. "Ais ... hari ini aku terkahir bekerja di Arashi dan mulai besok aku tak lagi bekerja di sini," jawab Andaru mengulas senyuman. "Apa? Mas Ndaru jangan bercanda." Ah, kenapa semua orang tak ada yang percaya ketika dia mengatakan bahwa tak lagi bekerja di perusahaan ini mulai esok hari. Andaru tak mengerti. "Tentu saja aku tidak bercanda, Ais. Aku serius." "Tapi ... kenapa mendadak sekali tiba-tiba Mas Ndaru mengatakannya." "Ya, karena semua serba mendadak." Aisya tak enak hati untuk bertanya lebih jauh lagi. Namun, dia yakin sekali jika pasti ada masalah yang tengah terjadi. Berbagai macam tanya ingin sekali Aisya lontarkan dan Andaru paham akan hal itu. "Suatu ketika nanti kamu pasti akan tahu semuanya. Aku janji akan menceritakannya padamu. Tapi tidak sekarang." "Baiklah, Mas. Aku tak akan memaksamu untuk menceritakan semuanya padaku sekarang. Aku tahu kamu pasti memerlukan banyak waktu untuk menenangkan dirimu." "Terima kasih, Ais. Kamu satu-satunya teman baikku yang selalu mengerti dan peduli padaku." Dengan manisnya Aisya tersenyum, sampai di saat pintu lift terbuka, memudarkan senyuman Aisya. Sosok wanita cantik tapi selalu bersikap sinis, keluar dari dalamnya. Hanya seorang diri, Miranti Sasha melangkahkan kaki jenjangnya mendekati Andaru. Kedua tangan bersadekap depan dadaa, wanita itu memperhatikan Andaru disertai senyum kemenangan. "Keluar juga akhirnya dari kantor ini," ucap Miranti yang tidak ditanggapi oleh Andaru. Sebencinya Andaru pada Dion juga Miranti, nyatanya Andaru tak punya nyali jika berhadapan dengan wanita ini. Entahlah kenapa hati Andaru selalu berdesir acapkali wangi parfum yang menguar dari tubuh Miranti berhasil meracuni indera penciumannya. Sial! Kenapa justru Miranti yang menjadi kelemahannya. Wanita itu semakin mendekat lalu berbisik di depan telinganya. "Selamat, ya! Akhirnya kamu lulus juga dari Arashi." Tawa menggema dari bibir Miranti sangat tidak disukai sekali oleh Aisya. Dan dengan beraninya gadis itu berucap, "Bu Miranti kenapa tega sekali berkata begitu sama Mas Andaru." Mata Miranti melotot tidak suka. Menatap tajam pada gadis office girl yang berdiri di samping pria cupu yang sangat ia benci. "Heh! Tukang sapu. Jaga bicaramu jika tidak ingin nasibmu tamat seperti dia!" Telunjuk Miranti menuding Andaru. Sementara pria itu hanya menelan ludah gugup. Merutuki kebodohan Aisya yang berani melawan Miranti. Senggolan siku Andaru pada lengan Aisya, membuat gadis itu menoleh. Melalui gerakan matanya Andaru memberi isyarat agar Aisya bungkam dan tidak melawan. "Kalian berdua ini serasi sekali. Culun dengan tukang sapu. Yah, sangat cocok sekali. Dan kamu ...." Miranti kembali mengarahkan tatapan matanya pada Aisya sebelum melanjutkan apa yang ingin ia ucapkan selanjutnya. "Jika sudah bosan bekerja di sini ... segera kirim surat pengunduran diri pada atasanmu." Setelahnya, Miranti melenggang pergi dengan menghentakkan high heel pada lantai. Membuat Andaru juga Aisya hanya saling pandang mengiringi kepergian Miranti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD