"Tolong kamu cari istri dan anak lelakiku. Namanya Arimbi dan Andaru Dewangga."
Kata-kata itu terngiang jelas di dalam memori ingatan Hari Prasetya. Sebuah permintaan dari almarhum sahabatnya yang bernama Satriawan Dewangga, di detik-detik sang sahabat mengembuskan napas terakhirnya.
Hari menelan ludah susah payah. Seolah dia menyadari sesuatu dan menerka-nerka apakah dua orang yang berada di hadapannya ini adalah orang-orang yang selama ini ia cari. Hari belum pernah bertemu secara langsung dengan anak dan istri Satriawan. Namun, almarhum sahabatnya itu sempat meminta padanya untuk mengambil foto yang disimpan oleh Satriawan di dalam dompet lelaki itu. Dan yah, Hari memang menemukan sebuah foto yang sengaja disimpan Satriawan. Kini foto itu sudah berpindah tempat di dalam dompet milik Hari.
"Keluargaku mengusir mereka berdua setelah mengetahui pernikahan rahasia yang aku lakukan bersama Arimbi, bahkan sampai memiliki seorang anak."
Lagi, sebuah kenyataan yang pernah diceritakan oleh Satriawan, diingat oleh Hari.
Ya, Tuhan. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulit Hari, membasahi baju lelaki itu. Hingga sentuhan lembut tangan Karlita pada bahunya, membuat Hari tersentak. Menoleh pada sang istri yang sedang menatapnya penuh tanya.
"Pa, ada apa? Wajahmu tampak pucat. Apa Papa merasa tidak enak badan lagi?" Karlita yang cemas memberikan pertanyaan beruntun pada suaminya. Sungguh, Karlita tidak ingin melihat suaminya kembali merasakan sakit. Karena sakit yang Hari rasakan juga ikut dirasakan oleh Karlita. Seolah mereka berdua telah memiliki ikatan batin yang kuat, di mana di saat suaminya sakit, maka istrinya pun akan merasakan sakit yang sama pula.
Hari mengusap wajahnya kasar. Menggelengkan kepala karena tidak ingin Karlita cemas padanya. "Aku tidak apa-apa. Hanya saja ___" Hari menjeda ucapannya. Tak sanggup meneruskan karena rasa senang juga ragu bercampur menjadi satu. Lelaki itu tentu saja merasa senang jika memang benar Ndaru dan ibunya adalah orang yang selama kurang lebih dua puluh tahun ia cari. Sejak Hari masih muda sampai sekarang rambutnya telah penuh dengan uban.
Tidak hanya Karlita, bahkan Arimbi juga Andaru pun sama cemasnya melihat perubahan yang terjadi pada Hari Prasetya. Ikut bertanya-tanya meski dalam hati saja. Pengalaman menemui Hari yang tengah terkena serangan jantung dua hari lalu, sanggup membuat Andaru merasakan sebuah trauma yang mendalam. Ia takut akan terjadi sesuatu hal lagi pada Hari Prasetya. Pria itu siaga seandainya Hari memang benar-benar sedang tidak sehat sekarang.
"Hanya saja apa, Pa? Jangan membuatku cemas. Jika sakit katakan saja. Aku akan segera menemani Papa pergi ke rumah sakit."
"Ma ... Aku tidak sedang sakit. Sungguh, aku tidak berbohong padamu." Hari berusaha memberikan pengertian pada istrinya dan mengatakan sejujurnya jika memang dia sedang baik-baik saja. Jantung Hari memang tengah berdetak kencang karena suatu hal. Pria itu harap-harap cemas untuk menguak apakah benar dugaannya tepat.
Hari Prasetya mengalihkan pandangan dari Karlita pada Arimbi, lalu ganti menatap pada Andaru. Terus saja begitu sampai beberapa saat. Sesekali pria itu menelan ludah membayangkan jika apa yang selama ini ia cari ternyata ada di hadapannya saat ini. Ya, Hari harus segera meluruskan semuanya dan harus mengetahui kebenarannya. Mungkinkah Arimbi dan Andaru yang dia cari selama ini adalah mereka berdua.
Kecemasan serta kegugupan yang tampak kentara di wajah Hari, diartikan lain oleh Andaru. Entah mendapat pemikiran dari mana ketika Andaru yang tiba-tiba mengira mungkin saja jika Hari tengah lapar sampai tubuhnya berkeringat juga gemetar. Ya, Andaru melihat gerakan spontan pada tangan Hari. Lelaki yang bertamu di rumahnya ini memang gemetaran.
"Pak Hari ... bagaimana jika kita makan malam saja dulu? Saya rasa ini sudah sedikit terlambat untuk kita menikmati makan malam."
"Hah! Apa?" Hari Prasetya seperti orang bodohh yang mendapat reaksi biasa saja dari Andaru.
Bahkan Arimbi sudah kembali beranjak berdiri seraya berkata, "Mari Pak Hari ... Bu Karlita. Kita ke ruang makan saja. Saya sudah siapkan makan malam."
Karlita merasa tidak enak hati telah merepotkan. Bahkan tujuannya ke sini karena selain untuk mengucapkan terima kasih, menurut Hari tadi mereka akan membawa Andaru pergi makan malam di luar. Namun, ternyata justru mereka berdua yang dijamu di rumah ini.
"Mbak Arimbi jangan repot-repot. Kami sebenarnya tadi ingin membawa Ndaru juga Mbak untuk makan malam di luar. Anggap saja sebagai bentuk rasa terima kasih kami atas kebaikan Ndaru."
"Tidak repot sama sekali, Bu. Tapi maaf jika menu makan malamnya hanya sederhana saja. Mari Bu Karlita ... Pak Hari."
Baiklah. Karena Arimbi memaksa, juga Andaru yang sudah berdiri dari duduknya, Karlita pun menyenggol lengan suaminya yang sejak beberapa menit lalu bersikap aneh.
Lagi-lagi Hari terkesiap menoleh ke samping mendapati sang istri yang memberikan kode padanya agar mengikuti tuan rumah untuk menuju ruang makan. Meski sungkan, pada akhirnya Karlita tetap menarik lengan suaminya agar berdiri. Mengikuti Andaru dan Arimbi menuju ruang makan. Di rumah ini semua serba minimalis. Ruang tamunya kecil, pun demikian dengan ruang makan yang ukurannya lebih kecil lagi dari ruang tamu. Hanya ada meja makan bundar yang terbuat dari marmer dengan empat buah kursi yang mengitari.
Dengan cekatan Andaru menarik dua buah kursi lalu mempersilahkan kedua tamunya untuk duduk. "Om Hari ... Tante Karlita. Maaf, menunya sederhana. Hanya menu rumahan saja," ucap Andaru sembari membuka tutup mangkok yang berisi sayur sop.
"Menu rumahan seperti ini favorit Mas Hari dan saya. Duh, jadi merepotkan." Karlita berucap dengan mata menatap pada makanan yang disajikan di atas meja tepat berada di hadapannya.
"Ayo silahkan!" Arimbi lagi-lagi mempersilahkan.
Kini pandangan mata Hari tertuju pada makanan di atas meja yang begitu menggugah selera makannya. Karlita memang tidak berbohong mengatakan jika menu rumahan adalah favoritnya. Meski sudah bertransformasi menjadi orang kaya, selera makan Hari masih tetap sama. Tidak berubah sama sekali. Melupakan sejenak akan apa yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Lebih baik Hari makan dulu saja karena perutnya juga sudah mulai merasakan lapar. Setah kenyang nanti, Hari akan bertanya dan meluruskan semuanya. Berharap semua dugaannya adalah benar jika memang mereka adalah keluarga Satriawan.
***
Makan malam yang terasa lezat di lidah. Tanpa ada rasa malu, Hari sempat menambah porsi makannya, yang justru diketawakan oleh Karlita. Bisa-bisanya suaminya ini bersikap layaknya sedang di rumah sendiri yang makan dengan lahap sekali. Mungkin karena tuan rumahnya sendiri juga kelewat ramah menjamu tamu hingga perasaan nyaman melingkupi.
Nasi di atas piring ludes sudah. Hanya ada menu penutup berupa buah yang juga tanpa segan Hari santap. Begitu kenyang lelaki paruh bayah itu mengusap mulutnya. Pun demikian dengan Karlita yang juga menyudahi acara makan malamnya.
"Mbak Arimbi ... terima kasih untuk makan malamnya," ucap Hari dengan diiringi seulas senyuman.
"Sama-sama Pak Hari."
"Sebenarnya ... ada hal yang ingin saya tanyakan pada Mbak Arimbi." Hari kembali berucap ketika melihat Arimbi dan Andaru sudah menyelesaikan acara makan malam mereka.
"Hal apa itu?" Tentu saja Arimbi penasaran mendengar apa yang Hari utarakan.
"Eum ... bagaimana kalau kita kembali ke depan. Kita bicara di ruang tamu lagi," usul Andaru yang langsung disetujui baik oleh Hari juga Arimbi. Karena Andaru rasa jika mengobrol hal yang kelihatannya penting di ruang makan kurang nyaman saja.
Mereka berempat meninggalkan ruang makan dan kembali ke ruang tamu. Duduk pada posisi semula. Sebelum memulai obrolan, Hari yang sedikit merasa resah menghirup napas dalam lalu ia embuskan perlahan.
"Sebenarnya ... ada hal yang tengah mengganggu pikiran saya ketika tadi Mbak Arimbi memperkenalkan diri. Karena ___" Lagi-lagi ucapan Hari yang terjeda membuat mereka bertiga kompak saling pandang secara bergantian.
Karlita, seolah wanita itu menyadari akan sesuatu ketika suaminya menyebut nama Arimbi. Ingatan masa silam yang pernah Hari ceritakan padanya, membuat Karlita menelan ludah sembari menatap penuh tanya pada sang suami. Ya, Karlita paham sekarang dan seolah dia memiliki pemikiran yang sama dengan sang suami.
Hari Prasetya dan Karlita saling pandang. Kemudian, Hari menunduk menyelipkan tangan di balik tubuhnya agar lelaki itu bisa meraih benda yang bernama dompet yang tersimpan di saku celana bagian belakang. Begitu mendapati dompet miliknya, buru-buru Hari membukanya. Mencari-cari sesuatu yang selama kurang lebih dua puluh tahun ini selalu ia simpan.
Sementara itu, baik Andaru juga Arimbi harap-harap cemas akan apa yang sedang dilakukan oleh Hari. Hingga kemudian, ketika Hari mendapatkan benda yang ia cari, senyumnya merekah menatap pada gambar usang seorang wanita yang menggendong seorang anak lelaki sedang bersama lelaki dewasa yang merupakan sahabat Hari.
Tidak langsung menunjukkan pada Arimbi, Hari mengamati gambar pada foto di tangan lalu menelisik wajah Arimbi. Ya, ada kesamaan. Hanya usia yang membuat wajar Arimbi di foto dengan yang berada di hadapannya sekarang ini tampak berbeda.
"Mbak Arimbi ... jujur saya terkejut ketika tadi saat kita berkenalan dan saya mendengar Mbak menyebut nama Arimbi. Nama itu mengingatkan saya pada almarhum sahabat saya yang telah tiada sejak dua puluh tiga tahun yang lalu. Namanya Satriawan Dewangga."
Deg
Mulut Arimbi terbuka. Namun, tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Dengan kedua tangan wanita itu menutup mulutnya. Kepala menggeleng ke kiri dan ke kanan. Sungguh, Arimbi sangat terkejut mendengar nama suaminya disebut oleh seseorang yang kini tengah bersamanya.
Satriawan Dewangga yang tak lain adalah ayah kandung dari putranya. Andaru Dewangga. Bagaimana mungkin bisa dia harus terlempar jauh akan masa kelamnya beberapa tahun silam.
Karlita. Perempuan itu sama terkejutnya dengan Arimbi. Rupanya dugaannya tepat sekali. Secara tidak disengaja mereka telah dipertemukan dengan Arimbi. Wanita yang selama beberapa tahun ini sedang dicari oleh suaminya. Jika Karlita lihat dari ekspresi terkejut yang Arimbi berikan, Karlita yakin sekali jika Arimbi yang merupakan istri sahabat Hari adalah wanita yang berada di hadapannya ini. Sebuah keajaiban yang luar biasa setelah pencariannya selama ini membuahkan hasil juga dengan tanpa disengaja dan diluar dari yang mereka duga.
Andaru. Pemuda itu tak tahu apa-apa. Namun, ketika mulut Hari Prasetya menyebut nama Satriawan Dewangga, Andaru langsung menebak jika nama itu adalah ayahnya yang ia pernah dengar dari cerita sang ibu. Marga Dewangga yang ia dapat dari sang ayah. Satriawan Dewangga. Ayah yang belum pernah ia tahu juga lihat sebelumnya. Lantas, Om Hari ini benarkah sahabat ayahnya? Pikiran Andaru berkecamuk tak karuan. Terlebih menatap pada ibunya yang masih terlihat sangat terkejut dengan semua ini.
Hari Prasetya merasa bersalah sekali karena membuat keadaan menjadi seperti ini. Lalu pria itu menyodorkan foto di tangan pada Arimbi.
"Mbak ... benarkah wanita yang di dalam foto ini adalah Mbak Arimbi? Dan anak lelaki ini adalah Ndaru?" Kenapa Hari tidak langsung mengetahui sejak awal ketika bertemu dengan Andaru? Karena pemuda itu hanya mengenalkan dirinya dengan nama Ndaru. Siapa sangka jika nama lengkap pemuda itu adalah Andaru Dewangga.
Arimbi dengan tangan gemetar meraih uluran foto dari tangan Hari Prasetya. Menatap foto usang yang Arimbi ingat diambil ketika mereka merayakan ulang tahun pertama Andaru. Tangis Arimbi pecah seketika. Dan hal itu menimbulkan banyak tanya dalam diri seorang Andaru.
Pemuda itu meraih foto di tangan ibunya. Menatap dalam foto keluarga di mana tampak oleh matanya sang ibu yang masih sangat muda terlihat begitu cantik dengan senyuman mengembang. Sedang menggendongnya yang masih bayi. Di belakang ibunya ada seorang lelaki yang tak kalah tampan wajahnya berdiri dengan memeluk bahu ibunya. Keluarga yang sangat bahahia. Begitu pikir Andaru. Tanpa sadar, Andaru menyunggingkan senyuman. Selama dua puluh enam tahun hidupnya sama sekali ia belum pernah mengetahui bagaimana rupa sang Ayah. Karena ibunya tak pernah menunjukkan padanya meski hanya sebuah foto saja. Dulu mungkin ketika masih kecil Andaru kerap bertanya dan merengek pada ibunya karena ia ingin memiliki ayah. Namun, begitu ia beranjak besar dan mengetahui kesedihan ibunya acapkali dia bertanya soalan ayah, maka Andaru tak lagi mau bertanya dan menganggap jika ayahnya memang telah tiada. Terbukti dari foto yang ibunya sama sekali tak punya.
Ya, Arimbi memang tidak memiliki foto suaminya karena pada saat itu ia pergi tanpa membawa barang apapun juga. Jangankan foto. Bisa membawa baju ganti untuk Andaru kecil saja Arimbi sudah sangat bersyukur sekali.
Wanita itu kini mengusap air mata yang terus mengalir di pipi. Menatap Andaru yang sedang memperhatikan foto itu. Sungguh, Arimbi merasa sangat bersalah sekali pada Andaru karena selama ini Andaru tak pernah mengetahui akan sosok ayahnya seperti apa. Membiarkan putranya memuaskan diri menatap gambar lama ketika dia masih muda dulu.
"Mbak Arimbi!" Panggilan Hari membuat Arimbi terhenyak dan teringat jika masih ada Hari juga Karlita yang sedang bersamanya.
"Jadi benar, kan, itu adalah foto Mbak Arimbi bersama Satriawan juga Andaru kecil?" Hari kembali memastikan.
Dengan mantap Arimbi menganggukkan kepala. "Iya. Itu memang foto saya bersama Mas Satria dan juga Andaru. Foto itu diambil ketika Andaru berulang tahun yang ke satu. Pak Hari ... di mana sekarang Mas Satria berada? Apakah dia baik-baik saja?"
Untuk kali sekian Hari harus menelan ludahnya. Merasa tidak enak hati karena Arimbi tidak tahu apa-apa mengenai Satriawan Dewangga.