Bab 3

999 Words
"Rini, aku tanya sekali lagi. Maukah kamu menjadi istriku?" ucap Reno kepadaku saat aku sedang menyiapkan masakan di dapur untuk segera disiapkan di meja makan bagi para majikanku pagi itu termasuk Reno Aku terdiam, gak tahu mau jawab apa. Sehingga aku pura-pura menyibukkan diri dengan urusan dapur yang sebenarnya sudah selesai. Reno masih saja menungguiku duduk di depan meja makan saat aku sedang membereskan perlengkapan dapur, mungkin menunggu jawabanku. "Reno, hari ini temani mama di rumah sakit, yah! Papa mau istirahat di rumah. Badan papa panas dingin, mungkin kelamaan di rumah sakit jadi terserang virus di sana," ucap Pak Pramono tiba-tiba saja muncul dari luar. "Baik, Pa," jawab Reno, sambil beranjak dari tempat duduknya di ruang makan dekat dapur. Ia melemparkan pandangannya kepadaku sekilas dengan seulas senyum. Lega, rasanya. Sebab aku saat itu masih bingung harus jawab apa. Jika aku menerima Reno. Apa kata pak Pramono? Sebab ia sudah mengetahui kelakuanku yang mau saja melayani nafsu bejatnya. Aku harus segera cari jalan keluar, harus!! Apakah aku pergi saja dari sini dan tinggal di rumah pemberian pak Pramono? Namun, kalau aku tinggal di sana tentu aku seperti wanita simpanan pak Pramono. Bingung! Ketika Reno sudah pergi menuju rumah sakit. Tiba-tiba pak Pramono sudah rapat di belakangku yang sedang menghadap kitchen set. Tangannya melingkar di pinggangku. "Aku bau bawang loh, Pak!" ucapku setengah menolak. Pak Pramono seolah tidak perduli. Ia membalikkan tubuhku agar berhadapan dengannya. Aku mulai terlena mendapatkan serangan beruntun. Tanpa memperdulikan aku mau atau tidak. Perlahan ia memapahku lalu menggendongku seperti anak kecil menuju peraduan di kamar pribadinya. Hingga ia membuaiku di peraduan menggantikan posisi Bu Rosalinda yang sedang sakit. ***** "Rini, besok pagi aku akan mengajakmu ke dokter kandungan. Kamu harus memeriksa keadaan perutmu. Aku perhatikan kamu sering muntah-muntah sekarang," ucap pak Pramono. "Iya, pak," ucapku malu-malu sambil tersenyum antara bahagia dan dilema. Ternyata pak Pramono cuma pura-pura sakit biar gantian dengan Reno menunggui istrinya di rumah sakit. Yah! Itu hanya alasan dia. *** Pagi itu, kami berangkat mencari dokter kandungan seperti yang disarankan pak Pramono. Sebelum ke dokter kandungan, kami mampir ke rumah baru yang pak Pramono berikan kepadaku. Rumahnya di pinggiran ibukota. Namun, termasuk perumahan elit dan harganya pasti di atas satu milyar. Busyet! Aku bisa juga memiliki rumah dengan harga satu milyar! Apakah ini mimpi? Kucubit tanganku, sakit! Ini nyata! "Ini simpan baik-baik sertifikatnya. Kapanpun kamu bisa tinggal di rumah ini. Bahkan jika mau, detik ini juga kamu bisa tinggal di sini. Lihat semua perabot dan perlengkapan rumah sudah lengkap, kamu tinggal menempati saja," ucap Pak Pramono sambil menunjukkan seisi rumah yang memang sudah lengkap dengan perabotan serba wah! Di garasi terlihat sudah terparkir mobil sedan city merah terang keluaran terbaru, warnanya masih kinclong, joknya masih berbalut plastik. Ketika di nyalakan suaranya masih sangat lembut. "Ini mobil buat kamu, atas nama kamu. Kapan kamu mau pakai. Pakailah. Ini kuncinya dan surat-suratnya," jelas pak Pramono sambil menyerahkan kunci dan surat-suratnya. Kemudian ia mengecup keningku dengan mesra. Oh, selain rumah mewah, akhirnya kesampaian juga punya mobil. Busyet! Serasa baru dapat undian aku waktu itu. Namun, bagaimana dengan cintaku kepada Reno? Duh! Dilema aku! "Iya pak, terima kasih banyak, Bapak begitu baik terhadapku," ucapku dengan isi hati tak karuan bahagianya. Karena aku tidak bakalan terlunta-lunta lagi di jalanan ibu kota jika aku tidak bekerja lagi karena sudah memiliki rumah dan mobil atas namaku. Uang pemberian pak Pramono selama ini juga sudah terkumpul banyak karena aku tidak mempergunakannya untuk jajan dan foya-foya. Paling buat ngirimin emak jika butuh uang. Uang tabungan itu rencananya mau buat modal usaha impianku. Yakni membuka sebuah toko sembako. Kunci rumah dan mobil, seluruhnya diberikan kepadaku, sebagai tanda bahwa aku pemilik sah rumah dan mobil saat itu, bukan pak Pramono lagi meski ia yang membelikannya. Sebab semua atas namaku dan surat-suratnya juga sudah ada padaku. "*** Pak Pramono meluncurkan mobil yang di kendarainya menuju praktek dokter kandungan di sekitar wilayah tersebut. "Selamat, istri bapak positif hamil, sudah berjalan dua bulan." ucap dokter tersebut setelah memeriksa kandunganku. Sontak pak Pramono tersenyum bahagia sambil memandang wajahku dengan wajah berbinar-binar. Istri? Kapan aku jadi istri pak Pramono? Hamil? Bagaimana aku menjelaskan kepada keluarga dan mas Reno? Pikiranku berkecamuk saat itu juga meski aku tutupi dengan senyuman untuk menghilangkan kecurigaan pak Pramono kalau aku sedang gundah gulana. Keluar dari rumah praktek dokter kandungan, dengan perasaan yang tidak karuan aku mengikuti saja ke arah mana pak Pramono mengarahkan kendaraannya. Hingga akhirnya aku tersadar dari lamunanku jika aku sudah berada di areal parkir sebuah supermall. "Ayo turun Rini! Kita belanja baju hamil dulu buatmu sekaligus baju bayi dan perlengkapannya, nanti ditaruh di rumahmu, ok," ucap pak Pramono ketika sudah sampai diparkiran mall. Ia mengajakku memborong baju hamil dan perlengkapan bayi seolah aku adalah istrinya. Ooh! Amazing. Meski aku bukan istrinya, tapi pak Pramono sungguh laki-laki yang sangat bertanggung jawab. Sungguh, suami idaman jika dia bukan suami orang! Akhirnya kami masuk ke dalam Mall menuju lantai khusus berbagai pakaian. Di saat kami sedang memilih-milih baju hamil. Tiba-tiba aku melihat seorang pemuda yang tidak asing bagiku. Siapa lagi kalau bukan Reno. Ia terlihat sedang berjalan di tengah lalu lalang orang jalan-jalan di mall. Tunggu-tunggu, bukankah ia harusnya di rumah sakit menunggui mamanya? Kenapa bisa ada di sini, ngapain dia? Ah! Gawat ini! Jika sampai ia tahu keberadaanku dengan pak Pramono, habis aku ini! Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana jika ia mengetahui aku dan pak Pramono sedang belanja baju hamil? Mataku terus jelalatan sambil berharap Reno sudah keluar dari Mall. Aku tidak konsentrasi hingga akhirnya semua model dan warna pakaian, semua atas pilihan pak Pramono. Tugasku hanya mengangguk dan bilang iya sambil mengucapkan terima kasih berhias senyuman manis yang sudah manis dari sononya. Setelah selesai berbelanja, aku akhirnya keluar toko. Lega rasanya ... tidak berpapasan dengan Reno. Bisa perang dunia jika ia tahu hubungan gelapku dengan ayahnya. Lantai demi lantai kami lalui dengan aman. Sampai di lantai bawah, kembali jantungku berdegup kencang. Sebab sosok Reno masih di mall ini! Ia sedang berbicara dengan seseorang yang tampaknya seperti seorang rekan pebisnis. Duh! Bagaimana ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD