Bab 1

2027 Words
"Aku lihat perutmu besar, kamu hamil?" tanya pemuda rupawan itu sambil dengan seksama memandangi perutku. Ia bernama Reno Adian, saat memergoki aku di toko perlengkapan bayi. Reno Adian adalah anak Pak Pramono Adi _majikanku_, ia bekerja sebagai Senior Manager di perusahaan sepatu dan sandal milik ayahnya yang pabriknya berada di tengerang. Pak Pramono seorang pria beranak dua _laki-laki semua_ umurnya sekitar 50 tahun, Reno adalah anak pertamanya berumur sekitar 25 tahun, adiknya bernama Ryan Anton masih kuliah jurusan perbankan di jogjakarta berumur sekitar 22 tahun. Istri pak Pramono bernama ibu Rosalinda sedang menderita sakit dan sedang di rawat di rumah sakit, makanya mereka membutuhkan pembantu rumah tangga. Biasanya sih, mereka tidak memiliki pembantu karena yang mengurus rumah dan masalah dapur langsung istri pak Pramono. Karena istrinya di rumah sakit, Pak Pramono kemudian mencari pembantu dengan memasang iklan di sebuah surat kabar dan sosmed. Kebetulan saat itu aku memang sangat membutuhkan pekerjaan untuk kelangsungan kehidupanku yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah sekian lama menumpang di rumah bibiku yang berjualan gorengan di depan pertokoan daerah Glodok, Jakarta. Padahal, sebenarnya aku lulusan D3 perhotelan. Melihat iklan di surat kabar yang dipasang pak Pramono akhirnya aku nekad mendatangi rumahnya untuk mencoba mengadu nasib melamar pekerjaan yang ditawarkannya. Bersaing dengan sepuluh orang pelamar, akhirnya aku yang diterima dan pak Pramono yang langsung mewawancarai setiap pelamar. Pak Pramono sebenarnya terkejut mendengar aku seorang lulusan D3. Namun, setelah aku jelaskan akhirnya ia percaya bahwa aku bersungguh-sungguh ingin bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sudah tiga bulan lebih aku bekerja di rumah mereka. Ada empat kepala yang tinggal di rumah pak Pramon, Ibu Rosalinda --istri Pramono-- yang berobat jalan dan terbaring saja di ranjang, kemudian kedua putranya --Reno Adian-- dan Ryan Anton-- termasuk pak Pranoto sendiri. Pekerjaanku tak jauh-jauh dari urusan memasak, mencuci dan menjaga kebersihan rumah. Rumahnya tidak begitu besar. Meski berlantai dua masih bisa dikerjakan seorang diri untuk mengurusnya. Aku juga sekalian mengurus Bu Rosalinda untuk menjaga jadwal meminum obat-obatan yang harus ia konsumsi selama masa pemulihan. Kurang paham juga sakit apa, dengar-dengar sakit kanker. Memang sudah tiga bulan semenjak pulang dari rumah sakit tetap masih terbaring di ranjang. Ia turun dari ranjang hanya ketika ke kamar mandi atau ingin duduk di beranda agar memperoleh sinar UV, selebihnya waktunya lebih banyak dihabiskan di tempat tidur. Lelah? Sudah pasti, namanya juga bekerja. Tidak ada pekerjaan yang tidak lelah meski bekerja di kantor sekalipun. Seorang pengusaha saja lelah. Namun, kelelahan mereka adalah otak sedangkan aku lelah tenaga. Pak Pramono termasuk cukup santai dalam bekerja mungkin karena sudah ada Reno yang membantunya. Ia berangkat jam sepuluh pagi dan pulang jam lima sore kadang jam empat sore. Kadang juga kerap gak pergi ke kantor dan memilih menemani istrinya _Bu Rosalinda_. Berbeda dengan Reno yang berangkat jam tujuh pagi kadang pulang larut malam. Kalau adiknya lebih sering keluyuran bersama teman-temannya. Atau kadang pergi ke gunung berhari-hari baru pulang. Sehingga aku lebih banyak berinteraksi dengan Bu Rosalinda dan Pak Pramono. Bu Rosalinda sebenarnya cantik, tapi karena sakit ia kelihatan kurus dan tampak tua meski guratan kecantikannya masih tampak jelas di usianya yang menginjak usia empat puluh delapan tahunan. Pak Pramono meski berumur 50 tahun masih tampak gagah dan muda, seandainya cari istri berumur belia mungkin masih bisa. Wajahnya tidak kelihatan orang berumur 50 tahun orang mengira masih umur 38 tahunan. Orangnya baik dan ramah. Aku sering di belikan makanan jika ia habis dari luar. padahal pekerjaanku adalah memasak. Tapi makanannya tentu berbeda karena ia beli di resto ternama di Jakarta. Begitu juga dengan Reno, ia seorang anak majikan yang baik dan sopan juga tidak sombong. kadang sikapnya berlebihan dan lama kelamaan aneh. Awal aku masuk sih! Dia kelihatan jutek dan sering menyuruh-nyuruh, juga bawel. Tapi tidak berlangsung lama, mungkin sedang menge-test mentalku. Ia kulihat sering memperhatikanku jika sedang beraktivitas apapun. Kadang ia menghabiskan waktu liburnya hari Sabtu dan minggu dengan menemaniku di dapur. Bahkan ikut meracik makanan sendiri bersamaku. Aku sendiri kadang kikuk dan gak enak sendiri. Namun, ia memaksa untuk ikut berjibaku di dapur bersamaku. Seperti hari minggu itu. Ia membawa bahan makanan yang entah beli di mana langsung disorongkan di hadapanku. "Masak bareng yuk! Ini aku beli bahan kue. Aku mau masak kue bolu berlumur coklat lumer," ucapnya. "Duh, maaf Mas Reno, Rini gak ahli bikin kue loh. Bisanya cuma bikin gorengan," ucapku. "Enggak! Kamu harus bisa! Mari kita kerjakan bersama. Nanti aku ajarin." "Jangan! Mas Reno jangan ikut, sini coba Rini bikin, tapi mas Reno jangan ikut ntar kotor!" "Eiit! Kamu gak berhak memerintah aku. Kalau aku mau ikut, ya ikut. Lagian kamu katanya belum bisa bikin kue jadi kamu jadi asisten masakku saja untuk saat ini," ucap Reno sambil mengambil berbagai loyang dan alat-alat pembuat kue. Sedangkan aku membantu bila di suruh menaruh ini itu saja. Begitulah, sekarang Reno lebih sering berada di rumah bila tidak ngantor. Aku juga sering di minta menemaninya nongkrong di kafe meski hanya sekedar minum kopi. Hingga pada suatu malam kami duduk di gazebo sebuah restoran berkonsep perkampungan menunggu menu makanan di pesan. Mas Reno persis duduk merapat dengan tubuhku. Tangannya yang kekar ia sampirkan di pundakku yang mungil. Tiba-tiba jemari Reno meraih daguku dan memutarnya agar aku menghadapkan wajahku di wajahnya. Seketika aku melihat tatapan matanya yang tajam dengan bola mata yang hitam legam, alisnya yang tebal, kumis dan jambang tipisnya menghiasi wajahnya yang tampan kalau kegantengan artis Al Debaran gak ada apa-apanya. Setelah wajahku persis dihadapannya Mas Reno kembali menatapku tajam hingga membuatku hanya diam karena tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa termangu sambil balas menatap wajahnya. Memang aku akui, Reno itu tampan dan menarik, menarik hati setiap wanita yang menemuinya, seperti halnya aku saat itu. Pasti banyak gadis-gadis cantik yang memimpikannya untuk dijadikan kekasih atau pasangan hidup, ditambah lagi ia anak seorang yang berada. Disaat aku sedang berfikir begitu, Reno mendaratkan kecupan di keningku. Jantungku berdegup kencang, apakah ini mimpi? Masa seorang Reno Adian anak pengusaha Pramono group mengecup kening seorang pembantu macam aku? "Rini, maukah kamu jadi istriku?" "Mas Reno apa-apaan sih! Apa Rini gak salah dengar, jangan bercanda deh!" "Aku tidak bercanda. Sudah lama aku memperhatikan kamu, cara kamu bekerja, sikap kamu dan tindak-tanduk kamu. Sudah aku kenali. Aku juga merasa bahagia tatkala melihat wajah dan senyummu. Aku selalu merindukan itu. Jujur saja, dulu aku jarang di rumah, lebih banyak di luar untuk urusan pekerjaan. Sekarang aku lebih sering di rumah semenjak aku jatuh hati kepadamu, Rini. Aku katakan aku mencintaimu, Rin," jelas mas Reno. Aku masih diam terpaku belum bisa menjawab. Antara percaya atau tidak, antara ragu atau percaya dengan omongannya. Karena bagiku mustahil sekali seorang Reno yang sudah pasti banyak diimpikan setiap wanita tiba-tiba menyatakan rasa cintanya kepadaku. Ah! Ini mimpi. Hei, jangan mimpi kamu Rini. Bangun! Tapi bukannya bangun, malah tiba-tiba Reno merengkuh tubuhku. Membawa serta-merta wajahku terbenam di dadanya yang bidang dan beraroma harum minyak wangi import yang pasti mahal. Aku terlena sesaat dalam benaman di d**a bidang laki-laki tersebut. Tapi kemudian lekas-lekas aku melepaskan diri dari rengkuhannya. Aku takut makin terlena dan kemudian jatuh tiba-tiba. Setelah lepas dari rengkuhan pria itu, aku menatapnya. "Mas Reno pikir baik-baik dulu. Aku ini seorang pembantu! Dan statusku janda meski tanpa anak!" "Aku sudah tahu semuanya, dan sudah aku pikirkan masalah itu. Cinta tidak memandang status sosial dan status janda atau perawan," tegasnya. Aku makin dilema dengan penjelasan mas Reno. Tapi untungnya pelayan restoran sudah datang membawa makanan pesanan kami. Hingga akhirnya kami fokus menyantap makanan sambil perlahan mengalihkan pembicaraan. Aku belum mau larut dengan pembicaraan itu dulu. Aku betul-betul masih ragu dengan apa yang diungkapkannya tentang perasaannya padaku. Bisa jadi dia seorang playboy kelas kakap yang hanya mencari kesenangan mempermainkan perasaan wanita. Tidak! Aku gak mau sakit lagi. Cukup sekali itu saja. Kejadian malam pertama pernikahanku yang mana aku langsung mendapatkan KDRT. Karena suamiku dulu ternyata pengidap penyakit mental se"sual yang aneh. Ia sangat bernafsu kepada pasangannya bila sudah menyakiti tubuh pasangannya. Tidak! Apa yang harus kulakukan sekarang. Bagaimana membuktikan kesungguhannya kepadaku. Aku tak mau setelah menerima cintanya justru aku tersakiti lebih dalam lagi! Tidak! **** "Reno, hari ini kamu menggantikan papa, yah! Menemui klien papa di Surabaya. Papa harus menemani mama kamu. Beliau masih lemah, papa kasihan jika harus meninggalkannya jauh," ucap pak Pramono kepada Reno pagi itu saat sarapan bersama. Aku mendengarkan sambil mencuci peralatan masak yang kotor. "Iya, Pa! Biar Reno saja yang berangkat. Mungkin beberapa minggu aku di sana pa, 'kan aku harus survei tempat calon lokasi pabrik kita yang baru." "Bagus, makin lama kamu makin bisa di andalkan. Jadi secepatnya papa akan menyerahkan kepengurusan perusahaan ini sama kamu. Papa mau beralih merintis usaha yang lain yang lebih memiliki banyak waktu di dalam rumah." "Jangan buru-buru, Pa, Reno masih butuh bimbingan, Papa." "Tidak sekarang, jabatan kamu saja masih setingkat manager doang. Butuh setahun atau dua tahun lagi. Makanya kamu harus cepat menguasai semua, yah." "Baik, Pa." Begitulah, percakapan mereka. tampaknya Reno hari ini akan pergi ke Surabaya sampai beberapa minggu. Sedangkan adiknya sedang ada di Yogyakarta dalam rangka urusan pendidikan. **** Kepergian Reno ke Surabaya membuat rumah tampak lengang. Hanya kami bertiga yang ada di rumah. Sementara istri pak Pramono lebih banyak di dalam kamar, menambah suasana rumah yang cukup besar ini tampak senyap tidak terdengar percakapan yang menggema di dalam rumah. "Rini, apakah ibu sudah minum obatnya?" tanya pak Pramono malam itu yang duduk di depan laptop di ruang tengah saat aku akan menuju dapur. "Sudah Pak! Ibu nampaknya juga sudah mulai tertidur karena bawaan obat sepertinya," jawabku sambil menunduk hormat dengan kikuk menjawab pertanyaan majikanku yang tampak berwibawa sekali. "Kamu mau ngapain, apakah masih banyak pekerjaan di dapur?" "Sudah tidak ada sih, Pak! Mmmm, cuma mau mencuci gelas dan piring bekas ibu makan tadi," jawabku dengan posisi berdiri dihadapannya. "Ya, sudah, selesaikan dulu pekerjaanmu," ucap Pak Pramono. Aku pun berlalu dari hadapannya menuju dapur. Setelah selesai aktivitas di dapur, aku segera masuk kamar yang bersebelahan dengan dapur dan tempat ruangan mencuci. Kurebahkan tubuhku di kasur dengan sprei bercorak bunga berwarna biru dan merah untuk melepaskan lelah setelah seharian bekerja. Aku pasang headset di kupingku untuk mendengarkan lagu-lagu favorit dari ponsel. Di saat asyik sedang mendengarkan lagu favorit. Tiba-tiba, pintu kamar ada yang membuka dari luar. Aku segera melepaskan headset ponselku. Mataku langsung kuarahkan ke pintu kamar, saat itu juga muncul Pak Pramono dari luar kamar. Ia memakai celana pendek dan kaos singlet warna putih. "Pak! a_a_ada apa, Pak! Kalau ada perlu, Bapak 'kan tinggal panggil saya. Jangan Bapak yang harus repot-repot ke sini," ucapku gelagapan. "Gak apa-apa, Rin. Bapak cuma mau minta tolong pijitkan tangan bapak ini," ucapnya langsung duduk di ranjangku. Lalu mengulurkan tangannya sambil menghadapkan badannya ke arahku. "Ta_ta_tapi, Pak." ucapku ragu untuk memegang tangan pak Pramono. "Sudah gak apa-apa, Rini. Tolong pijitkan, sakit sekali rasanya otot-ototnya," ucap pak Pramono sekali lagi. Akhirnya aku mulai memijit tangan pak Pramono. "Bagian sini, ya Pak," tanyaku kemudian karena belum tahu daerah mana yang sakit. Namun, Ia langsung mendekap tubuhku erat. Setelah itu dengan paksa... ia langsung melakukannya. Ingin aku berteriak, namun tangan pak Pramono membengkap mulutku. Hingga akhirnya Pak Pramono berhasil merobohkan pagar kehormatanku. Aku hanya bisa menjerit lirih karena rasa nyeri atas tindakan pak Pramono yang dilakukan dengan paksa. Aku menangis lirih terbaring di samping Pak Pramono yang terdengar nafasnya masih tersengal seperti habis lari maraton. Aku tarik selimut untuk menutupi tubuhku, Aku malu? Pasti! "Maafkan bapak Rini, kamu tahu 'kan sudah hampir satu tahun lebih bapak tidak pernah melakukan hubungan itu, semenjak istri bapak sakit. Entah kenapa malam ini bapak tidak mampu menahannya ketika melihatmu. Jujur saja Rini. Sudah sejak lama bapak suka sama kamu," ucap Pak Pramono sambil mengelus rambutku yang acak-acakan dimana aku masih sesenggukan menangis pilu mengingat kejadian yang barusan terjadi. "Rini....?! Kamu masih per*wan?" tanya pak Pramono terkejut melihat bercak merah di sprei. "Iya, Pak," ucapku. "Tapi ... bukankah kamu janda?" "Iya, aku janda pak, tapi belum pernah di sentuh sama sekali oleh mantan suamiku dahulu. Karena malam pertama itu juga, aku minta cerai. Sebab mantan suamiku punya penyakit kejiwaan. Di mana ia akan merasa bernafsu jika sudah menyakiti pasangannya." Pak Pramono manggut-manggut, kemudian ia merogoh saku celananya, mengambil sesuatu. Tampak satu ikat uang kertas berwarna merah ia letakkan di sampingku. Setelah itu ia keluar tanpa bicara sepatah katapun. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD