Bab 5

1007 Words
Bab 5 "Rini, besok lusa aku mau ke tempat pernikahan rekan bisnis aku. Temani aku yah?" tanya Reno ketika aku sedang memasak di dapur. "Aku malu, Mas, itu kan tempat orang kaya semua. Aku bukan sebanding dengan mereka," jawabku berusaha menolaknya karena memang aku akan mulai menjauh dari hidupnya. "Siapa bilang kamu gak selevel. Kamu cantik, putih, berpendidikan dan bisa menyesuaikan dikondisi lingkungan manapun lebih tepatnya di ajak susah gak nyusahin, di ajak kaya gak malu-maluin," bujuk Reno. "Ah, mas, bisa saja. Tapi bener Mas, aku gak percaya diri," ucapku berusaha sebisa mungkin menolaknya. "Aku sudah membelikan gaun buat kamu pakai loh! Tara ...." Ia mengeluarkan sebuah gaun darai tas kertas yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Sebuah gaun yang mewah dan pasti harganya mahal sekali. Sepasang sepatu hak tinggi yang cantik juga ia pamerkan. "Gimana? Mau kan? Harus mau, aku sudah susah cari-cari gaun ini tadi. Dan aku sudah tahu ukuran lekuk tubuhmu, ukuran sepatumu. Pasti pas di badan kamu. Kamu coba, yah?" rayu Reno. "Mas, beneran aku gak percaya diri, loh," ucapku mengelak. "Coba dulu dong, gaunnya," paksa Reno menempelkan gaun yang ada di tangannya ke badanku. Dengan terpaksa aku menerima, lalu bergegas masuk kamar, mencoba memakainya berikut sepatunya. "Wajah, cantik sekali kamu, Rini! Tak salah aku memilih gaunnya," ucap Reno tiba-tiba muncul dari balik pintu kamarku. "Iya, tapi aku tetap gak percaya diri ikut ke jamuan pesta pernikahan, loh, Mas, apa kata mereka jika tahu aku cuma pembantu!" ucapku memelas agar dibatalkan untuk mengajakku pergi. "Jangan mencoba menolak! Lusa siap-siap kita berangkat," ucapnya tanpa menghiraukan penolakanku. Ia kemudian pergi meninggalkanku dalam kamar ditengah kegelisahan. Pesta pernikahan yang sangat mewah! Di pelaminan terlihat raja dan ratu semalam sedang duduk sambil di foto-foto. Aku di gandeng tangan oleh Reno mendekati mereka. Sungguh aku sangat grogi. Baru kali ini aku masuk kedalam undangan pernikahan orang-orang kaya yang membuatku insecure. Saat aku berjalan menuju pelaminan. Perasaanku, semua mata memandang kami berdua. Malu, rasanya! Namun, Reno Seolah tak perduli. Dengan percaya dirinya ia menggandeng tanganku menemui sepasang pengantin. "Wah, Pak Reno, cantik sekali pasanganmu. Semoga cepat menyusul kami yah!" ucap pengantin pria kepada Reno. Mereka berjabat tangan dan berpelukan. "Selamat ya, Pak, atas pernikahannya. Mudah-mudahan aku secepatnya menyusul," ucap Reno sambil sekilas memandangku. Wajahku merah padam karena malu. "Pasti, pak! Saya doakan menyusul kami," ucap pengantin wanitanya juga kepada Reno sambil tersenyum. Mereka tampak akrab. Mungkin karena rekan bisnis. Aku juga menjabat tangan mereka satu persatu sambil mengucapkan selamat atas pernikahannya, meski sebenarnya aku tidak kenal. "Cantik sekali, serasi dengan pak Reno," ucap mempelai perempuan sambil memandangku. "Ah, biasa aja, Mbak," ucapku malu-malu Sebenarnya senang dibilang cantik. "Iya, dong! Calon istri siapa?" Canda Reno sedikit tergelak. Duh, Mas! Kamu tidak tahu Mas, apa yang aku lakukan di belakangmu. Aku kasihan sama kamu, Mas! Setelah berbasa-basi sebentar kami turun dari panggung pelaminan raja dan ratu semalam. Disaat itulah mataku tertuju kepada pria memakai jas hitam sedang memperhatikan aku dan Reno. Oh my God! Pak Pramono! Aku semakin salah tingkah. Tidak tahu apa yang harus kulakukan. Pak Pramono pasti bertanya-tanya. Apa yang harus aku jawab nanti? Duh! Gawat, gawat! "Papa, sama siapa?" ucap Reno setelah mendekati pak Pramono. "Sendiri, biar Ryan yang menunggui mama," ucap pak Pramono sambil sesekali menatapku. "Aku tadi bingung, Pa, mau ngajak siapa kesini, ya udah aku ngajak dia," ucap Reno sambil menunjuk ke arahku yang berdiri di sampingnya. Jantungku semakin berdebar tak karuan. Apa yang akan dikatakan pak Pramono nanti. "Ya, sudah, gak apa-apa. Papa mau nemui pak Harto dulu, yah, tuh beliau memanggil papa," kilah pak Pramono yang memang dari sorot matanya tergambar rasa cemburu. Namun, memang beliau begitu dewasa sehingga mampu menutupinya dengan sempurna. "Baik, pa! Aku sama Rini pulang dulu pa, Rini dari tadi minta pulang saja. Gak percaya diri katanya. Padahal, lihat pah, cantik sekali 'kan?" ucap Reno antusias menambah wajah pak Pramono semakin cemburu. "Iya, ya, sudah hati-hati kalian di jalan." Pak Pramono langsung berlalu dari kami sengan sorot aneh kepadaku. Entah sorot mata benci, marah atau cemburu. Duh! Gawat! Gawat! "Kenapa kamu diam saja," tanya Reno di dalam mobil saat kami menuju pulang. "Tidak ada apa-apa, Mas, aku cuma nervous saja tadi," ucapku untuk beralasan. "Oya, kalau aku perhatikan, kamu agak gemukan apa, yah?" tanya Reno "Masa sih," ucapku mulai gak enak perasaanku. "Iya, liat pipimu sedikit tembem, dan perutmu sedikit ndut, tapi pancaran kecantikanmu begitu memukauku," ucap Reno sambil memperhatikanku sambil menyetir. "Mungkin aku banyak ngemil, Mas," kilahku. Padahal aku gelisah dengan kondisi kandungan yang lambat laun pasti membesar. Sesampainya di rumah kami istirahat dalam satu kamar setelah mengetahui jika pak Pramono tak kunjung pulang. Mungkin menginap di rumah sakit. Kesempatan itu di gunakan Reno untuk menumpang tidur di kamarku hingga pagi. *** "Rini!" Panggil pak Pramono siang itu, ketika ia masuk ke dapur. Mungkin habis pulang dari rumah sakit. "Iy, iya, Pak," ucapku gugup, pasti dia mau menanyakan tentang hubunganku dengan Reno. Gawat! "Aku perhatikan kamu semakin terlihat berisi badannya, lambat laun semua pasti akan tahu keadaanmu," ucap pak Pramono. Duh! Syukurlah ia tidak menanyakan kenapa aku pergi bersama Reno ke pesta tadi malam. "Iya, pak, inilah yang aku khawatirkan." aku menunduk karena pak Pramono memandangku dengan lekat. "Apakah tidak sebaiknya kamu tinggal di rumah barumu," ucap pak Pramono sambil mendekat ke arahku. "Itulah yang sedang aku pikirkan, Pak," jawabku sambil pura-pura sibuk dengan masakan untuk menepis rasa grogi. "Pa! udah pulang?" tanya Reno tiba-tiba muncul ke arah dapur. Aku kaget, kira-kira dia mendengar pembicaraan tadi gak yah! " Barusan Reno, ini lagi minta sama Rini untuk membuat sayur asem. Sudah lama papa tidak makan pake sayur asem," kilah pak Pramono sambil berjalan mendekati Reno. "O, kalau begitu, Reno pergi dulu, Pah, mau njenguk mama," ucap Reno. Kulihat ia melirikku sebentar lalu berjalan keluar rumah. Tak lama suara mobilnya terdengar menjauh dari halaman. "Rini!" "Iya, pak?" Pak Pramono masuk lalu perlahan dan mendekat. Setelah itu, ia mendekap dengan erat seolah tidak ingin meninggalkanku. Beruntung ia tidak bertanya tentang hubunganku dengan Reno. Aku sedikit tenang. Yang aku pikirkan adalah keadaan kandunganku yang semakin lama pasti semakin besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD