Kamu Sedang Sakit?

1915 Words
Perjalanan bisnis yang melelahkan selesai sudah. Rainer pun telah kembali ke kediamannya. Sore hari, setelah mandi sehabis menagih janji kepada istrinya, Lily. Rainer langsung mendaratkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan posisi menelungkup dan juga kedua mata yang terpejam. Ranjang terasa bergerak. Rainer kembali membuka mata dan mendapati Lily yang telah kembali duduk di sisinya. "Capek ya sayang?" tanya Rainer. Lily hanya membalas dengan anggukan sambil bersandar di tepi tempat tidur. Ia kira, suaminya tidak akan benar-benar meminta dua ronde kepadanya. Namun ternyata, hal itu terjadi juga. "Mas pijat ya?" penawaran yang lumayan juga menurut Lily. Hitung-hitung sebagai bentuk pertanggungjawaban, atas perbuatannya, yang telah membuat tubuh Lily terasa lemas. "Iya boleh." Rainer bangkit dan duduk di sebelah Lily, tangan. Kedua tangannya beralih pada bahu istrinya itu dan memijat lembut di sana. "Bagaimana? Enak?" tanya Rainer sambil mandangin wajah Lily, dengan dahi yang mengernyit. "Iya. Tapi pelan-pelan sedikit." "Sini, sambil tiduran saja. Biar tidak pegal." Perlahan tubuh Lily merosot. Ia merebahkan tubuhnya dalam posisi menyamping dan Rainer, kembali memberikannya pijatan. Setelah beberapa menit, Deringan ponsel milik Rainer memecah konsentrasi. Rainer menghentikan dulu pijatannya dan mengambil alih ponsel di dalam saku celananya. "Halo, ada apa?" tanya Rainer dengan satu tangan yang masih berada di bahu Lily dan digunakan untuk memijat. Sementara tangan lainnya menggenggam ponsel yang berada di telinga. "Sedang berada di mana? Kenapa rumahmu begitu sepi?" tanya seseorang di telepon. "Ada di rumah. Di dalam kamar." "Pantas saja. Ayo turun ke bawah. Jangan mengerjai istri terus," ucap seseorang yang tidak lain adalah Aaron, yang kini sudah datang dan berada di bawah menunggu kedatangan Rainer di sofa. Panggilan diakhiri dan pijatan dihentikan. Rainer berusaha membangunkan Lily dan ternyata tengah terlelap. Tak tega membangunkan. Rainer pun memilih untuk tidak memberitahu, bila ada Aaron yang datang bertamu. Ingin membawa putranya turut serta pun. Ia juga tak tega. Karena sama seperti apa yang sedang Ibunya lakukan. Bayi mungil itupun ternyata sedang tertidur dengan nyenyak. Rainer akhirnya pergi menemui Aaron seorang diri. Ia melangkah menyusuri tangga ke bawah dan mendapati Aaron, yang tengah duduk di sofa. Namun, ada hal yang membuat kerutan pada dahi Rainer muncul begitu banyak. Ternyata, Aaron tidak datang seorang diri. Melainkan datang bersama dengan seorang wanita, yang menjadi sekretarisnya di kantor. Aaron mengembangkan senyumnya. Ketika Rainer datang menghampiri. Begitu pula dengan wanita yang dibawanya. Rainer menarik Aaron dan membawanya menjauh. Lalu berbisik di dekat telinganya. "Kenapa kamu membawanya ke sini??" bisik Rainer yang tidak habis pikir. "Aku sedang mengejarnya. Tadinya, aku mengajaknya pergi berjalan-jalan. Untuk membelikan anakmu hadiah. Tapi rupanya, dia juga Ingin ikut ke sini," balas Aaron yang entah kenapa malah ikut berbisik. Rainer menelan salivanya sendiri. Kalau saja Lily ada dan melihat wanita, yang dibawa oleh Aaron ini. Entah apa yang akan dilakukannya. Mengingat, Lily yang sudah memberinya peringatan, untuk tidak terlalu dekat dengan sekretarisnya tersebut. Namun, Lily sedang terlelap kan? Dan lagi, wanita ini datang bersama Aaron. Mungkin, tidak akan apa-apa dan Lily juga tidak akan mengamuk kepadanya. "By the way dimana istri dan juga anakmu. Aku ingin bertemu mereka. Aku datang bukan untuk melihat ayahnya, yang sudah aku lihat setiap hari sampai bosan rasanya." "Mereka sedang tidur." Perbincangan keduanya lakukan sambil kembali ke ruang tamu dan Jesicca yang melihat kedatangan Rainer, langsung bangkit dari sofa dan memberikan paper bag yang ia bawa. "Ini, Pak. Untuk putra Bapak," ujar Jesicca seraya mengulurkan paper bag di tangannya kepada Rainer. "Oh iya, terima kasih." Rainer meraih paper bag dari tangan Jesicca dan meletakkan di atas sofa. "Ayo silahkan duduk," ucap Rainer seraya mengulurkan tangan kanannya. Mempersilahkan tamu yang datang untuk duduk. Begitu pula dengan Rainer, yang kini ikut duduk bersama. Rainer dan Aaron malah sibuk berbincang berdua. Melupakan satu orang tamu yang kini menekuk wajahnya, sambil memperhatikan orang yang mengabaikan kehadirannya di sana. 'Malam itu begitu ganas. Dan sekarang malah berpura-pura seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sebenarnya, apa mau dia?' gerutu batin Jesicca sambil memandangi Rainer dengan raut wajah kesal. "Rai, aku mau ke toilet dulu!" ucap Aaron. "Oh ya sudah sana. Jangan lama-lama!" peringat Rainer. Aaron bangkit dari atas sofa dan pergi ke arah dapur, karena toilet terdekat ada di sana. Meninggalkan Rainer dan Jesicca berduaan saja. Sepeninggalan Aaron tak ada yang berkata-kata. Karena Rainer juga merasa, tidak ada hal yang harus ia bahas bersama dengan Jesicca. Akhirnya, Jesicca lah yang mulai angkat bicara lebih dulu. "Pak, anaknya tidak dibawa ke sini? Saya ingin melihatnya," tutur Jesicca hanya untuk basa basi. "Tidak. Dia sedang tertidur bersama ibunya," jawab Rainer dengan begitu dingin. Setelah insiden yang terjadi saat business trip kemarin. Rainer menjadi agak jengkel. Ia mencoba untuk memberi jarak. Inginnya langsung memecatnya saja. Tapi, ia sedang tidak ingin ambil pusing, dengan mencari dan mempekerjakan karyawan baru. Untuk saat ini, kelakuan Jesicca masih termaafkan. Namun, bila ia kembali melakukan kesalahan yang sama. Rainer akan segera menindaktegas kelakuan sekretarisnya ini. Aaron masih belum juga kembali dan Jesicca hendak mengambil teh miliknya. Entah disengaja ataupun tidak. Teh tersebut tumpah dan malah mengenai celana panjang hitam, yang Rainer kenakan. "Kamu!" hardik Rainer sambil bangkit dan mengibaskan celananya yang basah. Jesicca mendekat dengan cepat dan secara reflek, malah ikut-ikutan mengipasi dengan tangannya. "Maaf ya, Pak. Maaf. Tidak sengaja," Rainer mengembuskan napas kasar dan hendak pergi dari sofa. Pada saat bersamaan. Istrinya turun bersama putranya mereka di dalam gendongannya. Rainer membeliak dengan mulut yang menganga. Sementara Jesicca bangkit dan berdiri di dekat Rainer persis. Pandangan Lily langsung melirik sinis kepada wanita, yang berada di dekat suaminya tersebut. Rainer yang menyadari arah tatapan mata Lily pun langsung mendekat dan menjelaskan tentang apa yang terjadi. Karena dari lirikan matanya saja. Sudah mengisyaratkan, bila Rainer akan tidur di luar malam ini. "Sayang. Kamu sudah bangun?? Em, Itu Jesicca. Sekretaris Mas di kantor. Tadi Aaron yang mengajaknya ke sini. Mau mengunjungi kamu dan juga anak kita. Terus sekarang, Aaron sedang pergi ke toilet. Sebentar lagi juga datang. Oh itu dia sudah datang!!" pekik Rainer dengan sangat lantang, setelah melihat Aaron yang sedang berjalan mendekat. Untung saja ia datang tepat waktu. Kalau tidak. Habislah ia. Aaron berjalan mendekat dan menghampiri Lily lebih dulu. "Hai, Lily. Bagaimana kabar kamu?" tanya Aaron dengan senyum yang merekah. "Baik Mas," balas Lily masih dengan ekspresi wajah yang datar. "Baru tidak melihatnya beberapa minggu saja, dia sudah sebesar ini," tutur Aaron sambil mengelus pipi bayi dalam gendongan Lily. "Ron, kamu yang membawanya ke sini kan??" ucap Rainer yang merasakan firasat tidak enak. Dan untuk memastikan bila malam ini, ia akan tetap tidur di dalam kamar. Rainer ingin membuat Aaron sendiri yang menjelaskan kepada Lily. "Oh iya, tadi aku ajak Jesicca ke sini. Mau berkunjung, setelah kamu melahirkan waktu itu, aku belum sempat membawakan apa-apa," tutur Aaron yang membuat Rainer bisa sedikit bernapas lega. "Oh...," Lily hanya menjawab singkat. Sebelum sebuah sentuhan tangan Jesicca pada bayinya, membuat ekspresi wajah Lily menjadi masam dan bahkan juga murka. "Duh lucunya...," ucap Jesicca sambil menarik gemas pipi Matthew. Lily menepis kasar tangan Jesicca dan membuat ia melonjak kaget. "Maaf Mbak! Jangan ditarik-tarik pipinya. Ini manusia bukan boneka! Kalau nangis kesakitan gimana!??" ketus Lily dengan kelopak mata yang terbuka lebih lebar. Rainer mengerjapkan matanya dan Aaron pun tersenyum kaku. Sepertinya, ia mulai paham, kenapa Rainer gelagapan. Dan mencoba untuk membuat suasana yang tegang jadi tenang. "Oh iya, aku bawakan sesuatu tadi untuk Matthew. Ayo, kita lihat!! " tutur Aaron seraya menunjukkan barang bawaannya. Mencoba untuk mengalihkan dan juga tidak lagi mempedulikan wanita yang kehadirannya, bahkan tidak diharapkan. Beberapa minggu setelahnya. Di kantor. "Ini berkas-berkasnya!" cetus Aaron seraya meletakkan tumpukan bekas di atas meja Rainer dan menjatuhkan diri pada kursi, yang berada di hadapan atasan sekaligus sahabatnya itu. Aaron menghembuskan napas dengan kasar. Seperti orang yang kelelahan. Rainer melirik ke arah wajah Aaron dan mulai melayangkan pertanyaannya untuknya. "Ada apa dengan dirimu, Ron? Bosan bekerja?" tanya Rainer. Aaron menyunggingkan senyumnya dan berkata, "Bukan. Ibuku sakit Rai. Dia masuk rumah sakit." "Oh ya?? Sakit apa??" tanya Rainer. "Katanya infeksi usus," tutur Aaron dengan wajah yang muram. "Kasihan sekali. Apa sudah ditangani oleh dokter?? Dan bagaimana keadaannya sekarang??" tanya Rainer. "Entahlah. Baru tadi pagi aku mendengar kabar, ibuku masuk UGD. Kalau boleh, aku ingin mengambil cuti beberapa hari saja. Untuk menemani ibuku. Adikku sudah menikah. Dia juga punya anak kecil yang harus diurusi. Kasihan ayahku, harus mengurus ibuku sendirian. Dia juga masih harus pergi bekerja. Jadi, kalau boleh, aku ingin sekali mengambil cutiku Rai." Rainer bergeming dan berpikir. Aaron memang jarang sekali mengambil cuti. Bahkan, beberapa bulan belakangan ini, malah sibuk di kantor. Karena Rainer sendiri yang sempat sakit parah. Rasanya, kasihan juga, bila tidak mengizinkan ia untuk cuti. Ya, meski resikonya. Ia akan kewalahan dengan banyaknya pekerjaan. "Ya sudah! Ambillah cuti mu! Jaga orang tuamu. Mereka pasti sangat membutuhkanmu saat ini." Aaron membeliak tak percaya. Sejak kapan ia diperbolehkan untuk mengambil cutinya. Biasanya, ia akan selalu disibukkan dengan mengurus ini dan itu. Segala kebutuhan dan juga jadwal Rainer, ia yang mengaturnya. "Kamu serius?? Tidak sedang bermain-main kan?" tanya Aaron untuk lebih meyakinkan lagi. "Iya aku serius! Tapi, kalau urusanmu sudah selesai. Jangan lupa kembali ke sini. Dan jangan juga lebih dari satu minggu. Karena mungkin sudah ada yang menggantikan posisimu nantinya!" cetus Rainer tidak main-main. Aaron tersenyum masam dan berkata, "Iya tenang saja! Setelah urusanku selesai. Aku akan segera kembali. Jadi, mulai besok, apa aku sudah diperbolehkan untuk mengambil cuti??" tanya Aaron untuk lebih meyakinkan lagi. "Iya boleh. Tentu saja!" sahut Rainer. "Terima kasih, Bos. Kalau begitu, aku akan meminta Jesicca untuk mengurus beberapa pekerjaanku. Supaya kamu tidak terlalu kewalahan!" Aaron bangkit dari kursi dan saat hendak berbalik. Namun Rainer mencegahnya. "Hei tunggu dulu!" cegah Rainer. Aaron kembali duduk pada kursi dan menunggu Rainer berbicara. "Ada apa?" tanya Aaron. Tak ada kata yang terucap. Rainer nampak menarik laci di bawah mejanya dan mengambil keras, lalu mengguratkan beberapa angka dan juga membubuhkan tanda tangannya. Lalu meletakkan kertas tersebut di atas meja dan mendorongnya ke hadapan Aaron. "Ini sedikit dariku. Semoga bermanfaat," tutur Rainer. Aaron meraih kertas tersebut dan membaca nominal angka, yang Rainer guratan di sana. Lalu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Apa ini tidak terlalu banyak??" tanya Aaron sambil mengacungkan selembar cek di tangannya. "Sudah ambil saja! Tidak apa-apa. Anggap bonus dariku dan juga, sampaikan salamku untuk orang tuamu. Semoga ibumu cepat sembuh!" pesan Rainer. "Kalau begitu baiklah. Terima kasih Bos. Terima kasih Rai. Aku pasti akan menyampaikannya. Kalau begitu, aku akan menyerahkan beberapa pekerjaan kepada Jesicca sekarang, supaya dia bisa mengurusnya selama masa cutiku." Aaron bangkit dari kursinya, lalu pergi keluar dari ruangan Rainer dan langsung menemui Jesicca untuk mengalihkan beberapa pekerjaan miliknya, agar bisa Jesicca urus. "Ini laporan produksi yang harus diberikan kepada Bos. Jangan lupa untuk menyerahkannya setiap pagi," tutur Aaron, yang berdiri di depan meja Jesicca, sambil menopang tubuh dengan satu tangannya dan menjelaskan kepada Jesicca, tentang pekerjaan yang harus ia urus, semasa ia yang tidak berada di tempat. Karena mulai besok, ia akan mengambil cuti dan tidak bisa mengurus pekerjaan di kantor seperti hari-hari biasanya. "Iya," jawab Jesicca singkat dan lemas. Sekali lagi, Aaron melirik Jesicca dan memperhatikan wajahnya dengan seksama lalu berkata, "Kamu sedang sakit? Kenapa kelihatannya pucat sekali?" tanya Aaron. Jesicca memijat ruang diantara pelipisnya dan berkata, "Tidak tahu. Sejak beberapa hari ini, rasanya badanku terasa lemas sekali," ucap Jesicca yang kini mendekap tubuhnya sendiri. "Pergilah ke dokter! Berobat. Jangan ditunda-tunda. Nanti malah tambah parah," perintah Aaron. "Minum obat saja pasti sembuh!" jawab Jesicca dengan enteng. "Hei jangan menyepelekan penyakit. Kalau sampai bertambah parah. Kamu sendiri yang merasakan tidak enaknya nanti!" Jesicca berdecak kesal dan melirik sinis kepada Aaron. "Iya bawel! Cepat! Beritahu aku mana lagi yang harus ku urus!" ketus Jesicca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD