Jangan lupa tap love
*
*
P-04
Semarak suasana pesta yang meriah dan mewah masih terasa. Setiap sudut ruangan masih didiami oleh para sahabat Rahagi dan Milly, sementara di depan pelaminan antrean panjang tamu undangan yang ingin menyalami kedua mempelai, berkurang sedikit demi sedikit seiring malam yang semakin larut, dan akhirnya benar-benar tak bersisa.
Milly baru mendudukkan diri di sebelah Rahagi, kala iringan musik berirama lembut tiba-tiba berhenti dan seorang perempuan mengambil alih microphone dari tangan sang vokalis. Semua mata tertuju pada perempuan bergaun hitam dengan belahan tinggi di bagian samping kanan gaun, hingga memperlihatkan sebagian kakinya yang jenjang.
Sudut bibir perempuan itu terangkat membentuk sebuah senyuman, mengarahkan tubuh ke samping kiri dan melambaikan tangan pada Rahagi yang seketika mematung.
"Hai, Mas," sapa perempuan berkulit kuning langsat itu yang tidak direspon oleh Rahagi. "Selamat malam keluarga Setiawan, lama kita tidak bertemu," ucapnya sembari memandangi Gandhi Setiawan, Prita dan Aldan yang tengah berada di meja VVIP di bagian kiri ruangan.
"Halo semua. Perkenalkan, nama saya Firda Hanindya. Dan saya adalah ... teman seranjang Mas Rahagi, dulu." Firda melirik pada Rahagi yang tengah mengeraskan rahang dan mengepalkan tangan.
"Saya sebetulnya tidak diundang, entah kenapa hal itu bisa terjadi, saya pun tidak tahu." Firda mengubah ekspresi wajah hingga tampak sedih. "Tapi saya tetap ingin hadir untuk memberikan ucapan selamat pada mantan suami saya dan istrinya yang baru." Firda bertepuk tangan pelan yang memancing penonton untuk melakukan hal yang sama.
"Maka dari itu, perkenankan saya untuk mengucapkan selamat menikah kembali, Mas Ra, dan ... Milly, entah saya harus mengatakan apa buatmu. Ehm, mungkin ini lebih tepat, selamat menikmati bekas saya." Tawa Firda mengencang seusai mengucapkan kalimat tersebut.
Rahagi langsung berdiri dan hendak beranjak ke tempat mantan istrinya tersebut, tetapi lengannya ditarik Milly sembari menggeleng cepat.
"Tenang, Om," bisik Milly. "Biar aku yang hadapi manusia berbisa itu," sambungnya sambil menjentikkan jari.
Seketika Eri jalan mendekat dan memberikan microphone khusus milik Milly yang selalu ada di tasnya. Eri segera menjauh dan kembali ke tempatnya semula, berdiri bersama teman-teman sekantor yang juga anak buah Milly.
"Tes, tes, tes. Satu, tes, satu. Dua, kosong, dua, tes," ucap Milly yang memancing perhatian semua hadirin. "Terima kasih, Tante Firda. Maaf, kami memang sengaja melewatkan nama Tante dari list tamu undangan, karena ingin pesta ini benar-benar tenang, aman dan damai," imbuh Milly dengan suara yang terdengar tegas dan raut wajah datar.
Perempuan itu mengulurkan tangan pada Rahagi dan mengusap wajah suaminya dengan pelan, menumpangkan tangan di pundak sang suami, kemudian kembali memandangi Firda yang balas menatapnya dengan mata setajam silet.
"Tapi, sepertinya Tante masih belum move on dari Mas Ra, dan memilih untuk mengungkapkan jati diri Tante yang sebenarnya di pesta ini." Milly mengulaskan senyuman yang membuat Firda menjadi waspada. "Tante yang mantan dari Mas Ra, saya cuma mau menegaskan sesuatu."
Sejenak hening, semua orang masih menunggu-nunggu ucapan selanjutnya dari Milly yang kini tengah menutup mata dan mengatur napas. Kala microphone kembali didekatkan ke bibirnya yang mungil, Milly kembali membuka mata dan menatap Firda dengan lekat.
"Depresi, merupakan gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan suasana hati yang terus-menerus merasa sedih dan tertekan serta kehilangan minat dalam beraktivitas, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas hidup sehari-hari," ujar Milly memulai pidatonya.
"Seseorang yang mengalami gangguan depresi mayor, kelainan ini dapat memengaruhi perasaan, pemikiran, hingga perilaku sehingga menimbulkan masalah emosional dan fisik."
"Depresi yang terjadi juga dapat mengganggu saat istirahat dan nafsu makan, sehingga kerap merasa lelah dan sulit berkonsentrasi. Efek depresi dapat berlangsung lama atau bahkan berulang dan mampu memengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi dan menjalani aktivitas harian."
Milly menghentikan sejenak ucapannya, menggeleng pelan dan merancang wajah hingga tampak bersedih. "Dan kini, Tante Firda sedang mengalami hal tersebut karena masih terobsesi dengan Mas Rahagi," imbuhnya yang seketika menciptakan dengung suara obrolan di ruangan itu.
Firda membeliakkan mata. Raut wajahnya berubah menjadi bengis. Hilang sudah kesan anggun dari perempuan berambut panjang yang kini melangkah mendekati pelaminan. Akan tetapi, sebelum dia mencapai tempat itu, Mikail dan Eri sudah menghadang terlebih dahulu.
"Minggir, Mik! Biar kuberikan pelajaran pada adikmu yang tidak sopan itu!" desis Firda sembari berusaha menyeruak di antara tubuh kedua orang tersebut.
"Sudahlah, Tan. Tolong, jangan membuat kakek marah lagi. Bisa-bisa dia akan benar-benar menghubungi rumah sakit jiwa seperti ancamannya dulu. Waktu Tante datang ke rumah Kakek sambil berteriak-teriak di depan pagar," tukas Mikail. Pria itu mengedipkan sebelah mata pada Eri yang segera bertepuk tangan dua kali.
"Kalian akan membayar semua ini!" Firda menghempaskan tangan Mikail yang mencekal pergelangan tangannya, kemudian menoleh pada kedua orang di pelaminan. Niatnya untuk memuntahkan makian terhalang karena Eri menyumpal mulutnya dengan potongan kue.
Belum sempat Firda menarik kue, tubuhnya sudah diseret oleh dua orang pria yang merupakan pengawalnya Ghandi. Para hadirin mentertawakan Firda yang tampak lucu dengan mulut penuh kue dan mata yang memelototi Milly, yang tengah melambaikan tangan dengan gaya anggun bak anggota kerajaan Inggris.
Suasana kembali tenang ketika pemandu acara mengucapkan kata-kata terakhir untuk menutup acara tersebut. Milly kembali duduk di sebelah kiri Rahagi. Mengulaskan senyuman ketika pria yang sudah sah menjadi pendampingnya itu mengusap punggung tangannya dengan lembut.
"Makasih, sudah membela saya," ucap Rahagi dengan tulus.
"Aku nggak ngebelain, Om. Ge-er deh," jawab Milly.
"Loh, tadi itu apa?"
"Cuma pengen lihat reaksinya kayak gimana dibilang sebagai penderita depresi dan gagal move on." Milly cekikikan.
Rahagi mendengkus dan membuang pandangan ke arah lain, merasa sedikit kecewa karena Milly ternyata tidak membelanya. Hatinya yang sempat melambung akhirnya terhempas kembali.
"Jangan cemberut gitu dong, Om. Nanti hilang gantengnya," tukas Milly. Tangannya menyolek pipi kiri sang suami yang masih merengut. Namun, Rahagi tetap bergeming.
"Yaelah, ngambek." Milly kembali cekikikan, tak peduli bila Rahagi bertambah kesal dan memutar otak untuk mematangkan rencana "menyiksa" Milly.
*
*
Satu jam kemudian, pasangan pengantin baru itu telah memasuki kamar Milly. Keduanya enggan untuk menempati kamar pengantin yang disediakan oleh pihak hotel tempat diselenggarakannya acara pernikahan tadi, dan mengalihkan kamar itu pada orang tua Milly yang tentunya tidak melewatkan kesempatan tersebut.
Mikail sudah memasuki kamarnya yang berada di seberang kamar Milly. Sementara Eri menempati kamar tidur tamu di lantai satu. Eri memang masih harus bertugas esok hari untuk menemani Milly saat hendak berangkat menuju kediaman Rahagi.
Setelah membersihkan diri, Milly memasuki kamar dengan hati-hati. Dia mengusap d**a, merasa lega karena Rahagi telah tidur di sofa bed. Sesuai kesepakatan mereka beberapa waktu lalu, Rahagi akan tidur terpisah dari Milly sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Milly mematikan lampu utama, membiarkan keempat lampu kecil di beberapa tempat tetap menyala, agar kamar tidak terlalu gelap. Milly merebahkan tubuh ke kasur, menutup mata dan merunut potongan-potongan peristiwa yang terjadi pada hari itu. Hal ini dilakukannya agar ingatan tetap kuat dan tidak mudah menjadi pelupa.
Perempuan berhidung mancung itu sudah nyaris terlelap ketika kasur di sebelah terasa berat. Alarm seketika menyala di otak Milly yang langsung membuka mata serta menoleh ke kiri.
"Om, ngapain ke sini?" tanya Milly dengan gusar.
"Tenang aja, saya ke sini cuma mau membicarakan sesuatu," balas Rahagi yang tengah duduk bersila dengan santai.
"Ngomong apa? Buruan deh, aku ngantuk."
"Kamunya duduk dulu dong. Posisi gitu jadi kayak mengundang saya buat ikut rebahan."
"Dih! Ngayal." Milly akhirnya bangkit dan duduk dengan terkantuk-kantuk.
"Gini, Mil. Kamu kan keberatan kalau kita langsung pindah ke rumah saya. Nah, gimana kalau sebelum pindah, kita jalan-jalan dulu."
"Ha? Jalan-jalan?"
"Hu um."
"Ke mana?"
"Suatu tempat. Dan tenang aja, kita tetap tidur terpisah meskipun tetap satu kamar. Saya juga sudah mendapatkan izin dari orang tua kamu."
"Duh, Om. Aku belum beres-beres pakaian buat liburan."
"Besok pagi bisa. Kita nyantai kok berangkatnya. Nggak jauh juga dari sini."
"Berapa lama perginya?"
"Kira-kira tiga sampai lima hari. Saya nggak bisa liburan lama-lama, lagi banyak kerjaan."
Milly mengangguk. Mengerjapkan mata beberapa kali, kemudian menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut. Rahagi menggeleng pelan menyaksikan tingkah laku istri barunya itu.
"Ya udah, tidur gih." Rahagi membantu Milly membaringkan tubuh dan merapikan selimut hingga batas leher sang istri. Memandangi sepasang mata beriris cokelat yang kian lama kian redup, hingga akhirnya benar-benar menutup.
Bibir Rahagi membingkai senyuman berbentuk bulan sabit. Tangan kanannya diulurkan untuk merapikan rambut Milly yang menutupi sebagian wajah. Perlahan Rahagi memajukan wajah dan mendaratkan kecupan di dahi Milly. Berdiam diri sesaat sambil menghidu aroma sampo yang menguar dari rambut perempuan tersebut.
"Terima kasih telah mau menikahi saya, Mil. Meskipun ini bukan kemauan kita, tapi saya berjanji, akan berusaha keras untuk selalu melindungimu. Walau taruhannya ... adalah nyawa saya," bisik Rahagi sesaat sebelum memundurkan tubuh.