8 - Menghempaskan Preman

1039 Words
Airin berjalan cepat agar bisa cepat sampai di kos. Ternyata perkiraan dia meleset, malam ini tidak ramai seperti biasanya. Ia jadi merinding sendiri dan makin mempercepat jalannya.  "Hei! Hei! Kok buru-buru, mau ke mana, Mbak cantik?" Sebuah suara muncul dari depan Airin.  Sial! Itu para pemuda yang biasanya suka mengganggu mahasiswi di jalan dengan siulan atau celetukan tak pentingnya. Demi apa Airin harus bertemu gerombolan pemuda pengangguran tak jelas itu saat ia hendak pulang. Apalagi keadaan jalan yang sepi di dekat kampusnya.  Seketika, Airin merasa sangat menyesal sudah menolak tawaran Nirana tadi.  Langkah Airin dicegat tiap dia bergerak ke sisi manapun oleh 2 pemuda tadi, seakan mereka tidak mengijinkan Airin melewati mereka.  "Mbak, namanya siapa, sih? Yuk kita kenalan." Pemuda satu bertanya. Airin bisa menghirup aroma aneh dari mulut pemuda itu. Tuak kah? Entah, pokoknya bukan bau air mineral, apalagi es teh. Memangnya dua minuman tadi baunya apa, yah?  Yah, pokoknya, menurut Airin, semakin berbau air, maka semakin tidak menyehatkan. Itu saja. Contohnya, air got. Paham? Apalagi ketika dia melirik botol yang dipegang salah satu pemuda yang berjalan agak terhuyung.  Airin merasa merinding jaipong, tapi dia memberanikan diri berkata, "Maaf, Mas, saya hendak pulang kos, harus lekas kerjakan tugas dan ada jam malam pula di kos." Semoga saja perkataan dusta dia ini bisa membuat trenyuh kedua pemuda mabuk tersebut akan beratnya kehidupan seorang mahasiswa seperti dirinya yang kerap dikepung tugas dan tugas. Harapannya sih, dua pemuda itu melepaskan Airin.  Sayangnya, pemuda-pemuda mabuk itu sedang tidak ingin trenyuh apapun. "Kenalan dulu!" "Hmhh, oke, nama saya Sinta," dusta Airin lagi. Memangnya ada keharusan untuk mengatakan nama aslinya pada pemuda tak jelas yang mengganggu dia?  "Eh, eh, rumahnya di mana, Mbak Sinta? Atau anak kos?" Pemuda itu langsung menebak karena memang di daerah tersebut lebih banyak rumah kos ketimbang rumah tinggal keluarga.  "Saya-hei! Tolong jangan pegang-pegang, Mas!" hardik Airin ketika salah satu pemuda tadi hendak menjangkau lengan dia. Untung dia lekas berkelit, mengamankan lengannya. "Halah! Sok suci sekali kau ini! Palingan juga kau cuma ayam kampus!" Pemuda itu malah emosi dan hendak meraih Airin.  Bugg! Pemuda tadi langsung jatuh tersungkur. Ternyata yang membuatnya tersungkur adalah kantong sampah super besar warna hitam. Yah, bukan berarti ini adalah kejadian gaib dimana ada kantong sampah bisa melayang sendiri. Tentu saja ada yang memegangi.  Dan pemegangnya pasti sudah bisa ditebak. Iya, dia adalah Susanti. "Heh! Jangan ganggu di sini, yah Mas-Mas baik!" Tangan yang memegang kantong sampah besar tadi masih bergoyang sedikit usai dipukulkan ke kepala pemuda yang tersungkur.  "Heh! Kau cari mati, yah?!" bentak teman pemuda yang tersungkur tadi sambil membantu si teman bangun. "Aku nggak cari mati, aku di sini cari duit, Mas! Gih! Sana pergi, sebelum aku laporkan bapakku, loh!" Susanti malah acung-acungkan tangan satunya yang juga memegang kantong sampah. Jadi, dia memegang kantong sampah di dua tangannya.  "Bapak gundulmu!" Pemuda yang menolong temannya makin emosi dan mendelik seperti Mak Lampir di drama televisi jaman kuno.  "Lah, kok tau kalau bapakku gundul, sih? Masnya kenal, apa?" Susanti malah terkejut. Apakah bapaknya begitu famous seperti idol Korea? "Ehh, cewek sialan! Suruh sini bapakmu!  Biar aku ketok gundulnya!" Pemuda yang tersungkur tadi berucap emosi sambil mengelap darah yang meleleh keluar dari hidungnya, tapi hidung satunya mengeluarkan ingus warna hijau. Rupanya dia sedang pilek berat.  "Tunggu sebentar, yah Mas! Soalnya bapakku sedang sibuk kerja di Polsek." Susanti bersiap menurunkan kantong sampah di tangan kanan untuk mengambil ponsel di saku celana kerjanya.  Mendengar kata 'Polsek' diucapkan oleh Susanti, terang saja kedua pemuda mabuk itu langsung memiliki kesadaran utuh. Memangnya mereka hendak cari ribut dengan polisi?! Minta dilubangi pahanya? Maka dari itu, kedua pemuda segera kabur tanpa menoleh lagi.  "Dih! katanya tadi minta ketemu bapakku, lah sekarang malah kabur. Memangnya dikira bapak pengangguran, apa? Kan bapak sibuk jualan nasi goreng di depan Polsek." Susanti malah menggerutu sambil memasukkan ponselnya lagi ke saku celana dan mengambil kantong sampah yang tadi dia turunkan. Sedangkan di samping, Airin masih melongo tak tau harus berkata apa menyaksikan adegan yang entah itu nyata atau absurd alirannya. Mungkin surealis.  Susanti menoleh ke Airin. "Mbak, lain kali kalau jam segini, jangan lewat daerah belakang Sae. Biasanya sepi, bahaya." "O-ohh, iya, tadi barusan kerjakan tugas di kos teman, ternyata sampai malam." Airin agak linglung ketika menjawab. "Ehh, terima kasih, yah! Terima kasih sudah ditolong gini." "Sus, lama sekali, sedang apa?" Keluarlah seorang lelaki muda menyusul Susanti. Ditunggu Pak-" Lelaki itu membeku ketika dia tiba di dekat Susanti.  "Sori, Lang. Aku baru saja mengusir dua orang tak penting yang ganggu Mbak ini." Susanti menunjuk ke Airin dengan dagunya.  Erlangga tak menyangka bertemu dengan Airin di tempat tak terduga dan jam tak terkira. Ini memang daerah belakang dari Sae Fastfood, sebuah lorong yang juga bisa menjadi jalan pintas banyak anak kuliahan kalau ingin ke kos mereka yang banyak berderet di kampung belakang Sae.  Tadi Susanti mendapat tugas membuang sampah di belakang dan tidak mengira mendapati Airin yang diganggu dua pemuda mabuk. "Ehh, Lang, kamu antarkan Mbak ini, gih! Kasian sudah semalam ini, jam berapa coba?" Susanti malah memberikan usul.  Erlangga lekas mengangkat pergelangan tangan kiri dia untuk melihat jam di sana. "Setengah 10 lebih." "Nah! Sana antarkan dulu mbaknya, biar tidak diganggu lagi di jalan." Susanti santai saja bicara.  "Memangnya tidak apa-apa, Sus?" Erlangga sih senang-senang saja jika harus mengantar. Tapi pertanyaannya, apakah tidak akan diributkan atasannya? Meski dia pewaris Sae, tapi kalau kinerja dia buruk, jangan harap bisa dapat promosi nantinya. "Oh, iya juga, yah!" Susanti teringat dengan Pak Danang yang kurang bisa diajak kompromi meski untuk urusan kemanusiaan. Mungkin Pak Danang itu alien, makanya tak punya rasa kemanusiaan, punyanya kealienan.  "Ohh, begini saja, Mbak ke Sae dulu saja, yah!" Erlangga malah memberanikan diri memberikan saran seperti itu.  "Ehh?" Sudah pasti Airin kaget sampai dua alisnya secara dramastis naik tinggi-tinggi.  "Ahh, iya benar juga! Ayo masuk saja dulu ke Sae, Mbak! Kosnya nggak ada jam malam, kan? Kos jaman now, gitu! Yuk, ke Sae dulu, nanti kalau sudah jam 11, bisa diantar Erlang." Susanti malah serahkan dua kantong sampah tadi ke Erlangga dan tangannya beralih untuk menarik pergelangan tangan Airin.  Airin masih belum bisa bereaksi ketika tangannya begitu saja ditarik dan badannya diseret paksa masuk ke Sae. "Pesan air mineral sambil mainan laptop saja, Mbak. Bawa laptop, kan? Nanti kalau bosan, Mbak bisa liat Yutub, sambil menunggu Sae tutup. Tenang saja, Mbak, ada banyak yang begitu di Sae. Nanti aku traktir es teh kalau air putih es gratisnya sudah habis Mbak minum." Susanti begitu santai memberikan jadwal kegiatan kepada Airin. Lah yang punya badan memangnya siapa, sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD