Sara tersenyum lega saat mematikan ponselnya, walau dibalik senyumannya tersebut ada luka yang kembali digoreskan oleh suaminya sendiri. Begitu mudahnya Edwin menuduhnya sebagai perempuan nakal, dan dari pada lelah berdebat dengan pria yang tidak menyukainya alangkah baiknya mengiyakannya saja.
“Sara, aku gak salah dengarkan yang barusan kamu katakan tadi?” tanya Tita yang duduk di sampingnya. Ya, sudah tentu dia jelas mendengar percakapan sahabatnya tersebut.
Gadis itu memiringkan tubuhnya ke arah Tita. “Dia menuding aku perempuan murahan, bayangkan! Dia tanya aku cek in di hotel mana dan tarifnya berapa? Ya sudah kepalang tanggung aku iyakan aja, toh sebentar lagi kami akan bercerai kok,” jawab Sara sangat santai seakan tidak terbebankan dengan tudingan Edwin, justru kalau image dia buruk justru mempercepat pria itu menceraikannya, ini pemikiran Sara.
“Wow!” Bibir Tita membulat, asli dirinya tercengang mendengarnya. Tita menepuk lembut bahu sahabatnya. “Kalau aku jadi kamu barusan udah sumpah serapah, aku maki-maki ... sakit hati eey dituding kayak begitu! Mentang-mentang tidak menganggap kamu sebagai istrinya, setidaknya direm'lah mulutnya jangan kayak si netizen seenak jidatnya aja kalau ngatain orang tanpa bukti. Tapi ngomong-ngomong kenapa tuh laki bisa menuding kamu seperti itu?” tanya Tita usai meluapkan isi kepalanya.
Sara mengedikkan bahunya, dahinya pun mengernyit. “Mungkin gak kalau tadi Om Andika itu kasih kabar ke majikan ayah kamu itu?” Tita kembali bertanya.
“Mmm, mungkin saja sih, toh mereka'kan saudara. Tapi om Andika tidak tahu aku habis menikah sama sepupunya,” balas Sara masih mencoba berpikir keras. “Ah, sudahlah Tita, aku udah gak mau mikirin lagi. Yang jelas sekarang aku sudah meninggalkan mansion meski caranya tidak sopan, tapi itu juga karena tuan Edwin yang menikahi aku tanpa kompromi. Sekarang aku ingin melanjutkan langkahku ke depannya harus bagaimana. Hidupku sekarang hanya sendiri, jadi aku harus bisa berdiri di kakiku sendiri,” lanjut kata Sara tersenyum tipis, mencoba berdamai dengan kenyataan yang pahit ini.
Tita tampak turut sedih bisa merasakan apa yang ada di hati sahabatnya, lantas dia kembali mengusap lembut tangan Sara. “Aku sahabatmu, sampai kapan pun selagi aku bisa, aku akan selalu membantumu,” balas Tita menunjukkan perhatiannya.
“Makasih Tita, aku sangat beruntung memiliki sahabat sepertimu,” ucap Sara.
Mobil yang membawa Sara dan Tita perlahan-lahan keluar dari kemacetan, dan melaju cepat menuju ke rumah nenek Tita, matahari pun sudah tenggelam dengan gelapnya malam. Dan Edwin masih saja digerogoti dengan kemarahannya yang sudah tidak bisa tertahankan lagi.
“Irfan, segera suruh team cari titik lokasi perempuan ini juga, sekarang! Jika sudah dapat lokasinya kasih tahu saya secepatnya dan antarkan saya ke sana!” perintah Edwin pada asisten pribadinya.
Irfan baru saja mendapatkan nomor ponsel milik Sara dari bosnya. “Baik Tuan, saya akan segera koordinasi dengan team,” jawab Irfan patuh, lalu bergegas meninggalkan tuannya yang masih duduk di gazebo halaman belakang.
Sebenarnya Edwin tidak mau mencari keberadaan istri keduanya, tetapi setelah telepon barusan serta pesan singkat dari Andika yang menjadi pemicu amarahnya membuat Edwin bergerak untuk mencarinya. Dan bagi Edwin sangatlah mudah mencarinya, cukup mencari jejak lewat nomor ponsel, apalagi perusahaan Edwin memiliki pendukung alias backingan yang sangat kuat, jadi jika terjadi sesuatu di perusahaannya bisa cepat dilacak.
“Aku ingin melihat wajahmu ketika kepergok dengan laki-laki berengsek itu! Wajah sok alim ternyata sangat murahan! Lihat saja hukuman akan menantimu!” gumam Edwin tersenyum devil seraya menatap pemandangan halaman belakangnya yang kini sudah diterangi dengan lampu taman.
Ketika mengedarkan pemandangannya ke sisi dekat kolam ikan samar-samar pelupuk matanya terbayang Sara yang ketika itu tidak sengaja terpeleset dan kecebur ke dalam kolam ikan yang cukup dalam kedalamannya sekitar dua meter. Kebetulan dia yang berada di halaman belakang sedang menikmati kopi hangat saat pagi hari, lantas pria itu berlarian menolong Sara mengangkat tubuh gadis itu dari dalam kolam ikan dan Edwin’lah yang memberikan CPR karena Sara sudah tidak sadarkan diri.
Kejadian dua tahun yang lalu membuat Edwin merutuki dirinya, dan mengingat saat bibirnya menyatu dengan bibir Sara dalam kondisi memberikan napas buatan. “Ck, bisa-bisanya aku mengingat kejadian itu,” gumam Edwin kesal, lalu kembali menghisap rokoknya dalam-dalam yang masih ada di tangannya. Pria itu sebenarnya bukan tipe pria perokok, akan tetapi di saat tertentu dia akan merokok untuk menenangkan hatinya.
Sementara itu di ruang makan, Hana tampak sibuk menyajikan makan malam untuk suami dan kedua mertuanya dibantu para maidnya. Sesekali dia melirik ke arah pintu berharap suaminya datang ke sana, tetapi tampaknya belum datang juga padahal waktu sudah menunjukkan jam tujuh malam, sejak kejadian suaminya terlihat marah di ruang kerja hingga saat ini Hana belum bersua dengan Edwin.
“Pak Ibnu lihat suamiku?” tanya Hana ketika usai meletakan beberapa hidangan.
“Tuan Edwin ada di gazebo Nyonya, kebetulan setelah ini saya akan mengantarkan makan malamnya di sana,” balas Ibnu dengan sopannya.
Tampak kekecewaan yang begitu dalam di wajah Hana, setelah tadi siang suaminya tidak makan bersama, sekarang makan malam pun tidak bersama-sama lagi.
“Kalau begitu biar aku saja yang mengantarkan makan malamnya,” pinta Hana terlihat mau bergerak keluar dari ruang makan.
“Maaf Nyonya, tapi tuan sudah berpesan hanya saya saja yang mengantarkannya. Tuan tidak mau makan malamnya diantar sama Nyonya,” cegah Ibnu dengan tatapan seriusnya.
Hana berhenti melangkah keluar, lalu menatap kepala pelayannya dengan bahunya yang melorot tanda kecewa. “Oh.” Bibir Hana hanya bisa membulat. “Sepertinya Mas Edwin marah denganku,” batin Hana memelas, andaikan waktu bisa berjalan mundur, kalau saja dia tahu Sara kenal dengan Andika mungkin dia tidak akan menyetujui ide papa mertuanya agar suaminya menikahi Sara. Sudah jelas suaminya musuh bebuyutan dengan Andika, jadi apa pun yang menyangkut musuhnya maka akan merembet ke mana-mana.
Keadaan seperti ini akhirnya membuat Hana tidak bisa berbuat apa pun kecuali suaminya mendekati diri, barulah dia akan mengajak pria itu berbicara mencari solusi.
Usai menyiapkan makan malam di ruang makan, Ibnu bergegas mengantarkan makan malam untuk tuannya di gazebo. Dan langsung dinikmati oleh Edwin, selang setengah jam kemudian Irfan datang menghampirinya.
“Kami sudah menemukan titik keberadaan Sara, Tuan Edwin,” lapor Irfan.
Edwin mengusap sudut bibirnya menggunakan serbet dengan alisnya terangkat sebelah ketika menatap asistennya.
“Ada di mana dia?” tanya Edwin masih tampak tenang, tetapi tidak dengan degup jantungnya yang mulai bertalu-talu.
“Titiknya ada di Puncak sekitar daerah Gunung Mas,” jawab Irfan sesuai data yang dia terima.
“Gotcha!” seru Edwin.
Pria itu tersenyum miring sembari meletakkan kain serbetnya ke atas meja. “Siapkan mobil, kita berangkat malam ini juga,” perintah Edwin terlihat semangat sekali mau memergoki istri keduanya.
“Baik Tuan Edwin.”
“Aku akan datang Sara! Aku akan beri kamu pelajaran yang telah berani melawan padaku!” gumam Edwin pelan, kembali tersenyum jahat.