Bab 6. Jadilah Gadis Penurut!

1113 Words
Edwin menarik Sara ke tubuhnya yang keras dengan kasarnya, d**a Sara mengimpit d**a pria itu. Denyut jantung gadis itu semakin kencang, bukan karena terpesona melihat sosok ketampanan suaminya, tetapi amarahnya yang masih dipendam dalam hatinya. Seketika pandangan mereka berdua saling bertemu, sama-sama bersaing menunjukkan kekuatan ketajaman netra mereka masing-masing, entah siapa yang menang dan kalah. “Apakah ada yang ingin Tuan Edwin sampaikan lagi, sampai menarik tangan saya seperti ini?” tanya Sara pelan tetapi penuh penekanan, sembari berusaha menarik paksa tangannya yang dicengkeram oleh Edwin, namun, cengkeraman itu semakin erat. “Saya pikir kamu gadis yang penurut ternyata gadis pelawan! Menyesal saya menikahimu!” balas Edwin ketus. Terbitlah seringaian tipis dari sudut bibir ranum Sara. “Bagus dong kalau Tuan menyesal, jadi tidak ada alasan untuk tidak mengakhiri pernikahan dadakan ini! Sudah tahu saya bukan gadis penurut tapi dinikahi,” ejek Sara semakin tersenyum lebar, dan semakin terpojoklah pria itu. Edwin semakin mengerat cengkeramannya hingga membuat tubuh Sara terhentak kembali membentur tubuhnya. Gadis itu menggigit bibirnya sembari menarik tubuhnya agar menjauh dari tubuh suaminya. “Saya tidak minta kamu menjawabnya, Sara! Dan jadilah gadis yang penurut jika kamu ingin hidup nyaman di sini!” gertak Edwin menunjukkan kekuasaannya. Sara yang masih mendongakkan wajahnya, sedikit memicingkan netranya. “Hidup saya mau nyaman atau tidaknya bukan urusan Tuan! Jadi tidak perlu mengancam atau menggertak saya di sini! Ingat ucapan Tuan sendiri jika pernikahan kita tidak pernah dianggap! Dan saya akan segera memenuhi permintaan Tuan agar kita bercerai!” balas Sara penuh keberanian, tangannya yang kosong mendorong d**a pria itu sekuat mungkin, sekaligus kakinya menginjak kaki Edwin agar tangannya terlepas. Dan, yang dia lakukan berhasil, gadis itu terlepas dari jeratan pria itu. “Sialan!” umpat Edwin sembari mengangkat salah satu kakinya yang mulai berdenyut kesakitan, lalu kembali mengejar Sara yang sudah mau membuka pintu dan menarik kembali tangan istri keduanya secara paksa. “Akh!” jerit Sara, tubuhnya kembali berbalik arah dan terdorong hingga ke dinding sebelah daun pintu. Netra pria itu kembali menampakkan mata elangnya, tubuh keduanya pun sudah menempel satu sama lain. Napas pria itu yang sudah menderu cepat terasa hangat di pipi Sara. Posisi ini sungguh amat menyesakkan hati gadis itu, mau bagaimanapun dia belum pernah dalam posisi seintim dengan seorang pria, memiliki kekasih atau pacar saja tidak ada karena dia tahu diri hanya seorang anak dari sopir yang tidak akan dilirik oleh pria mana pun. Sara dibuat terkunci dalam kungkungan suaminya, dirinya hanya bisa mendesah lalu memalingkan wajahnya. Pria itu mendengkus, tangannya pun menjepit dagu gadis itu. “Tatap saya!” titah Edwin tegas. Gadis itu mendesis, tatapannya pun seakan menolak perintah Edwin, lalu bola matanya berputar ke arah lain. “Tatap saya, Sara!” sentak Edwin, hatinya sudah meradang melihat istri keduanya melawan kembali. “Buat apa? Buat apa saya menatap Tuan! Dan untuk apa Tuan menghimpit tubuh saya?” balas Sara menampakkan raut tidak sukanya dibalik jantungnya yang masih berdebar. Pria itu menggertak gigi gerahamnya, aliran pembuluh darah di sisi rahang kokohnya berdenyut cepat, kemarahannya sudah memuncak, perlahan namun pasti wajahnya semakin mendekati wajah istri keduanya. “Mas!” panggil Hana, tidak bisa dipungkiri jantung Hana berdenyut nyeri melihat tubuh suaminya begitu dekat dengan Sara tanpa ada celah. Pintu ruang kerja yang sempat dibuka oleh Sara membuat Hana yang sejak tadi mencari keberadaannya suami dan madunya membuka pintu tersebut. Alhasil dia menemukan suaminya dalam posisi yang sangat menyakiti hatinya sendiri, netranya pun mulai berkaca-kaca. Edwin dan Sara sama-sama menolehkan wajahnya, sontak saja wajah pria itu pias seketika itu juga melihat tatapan wanita yang dia cintai dan langsung menarik dirinya jauh dari Sara, bergegas mendekati istri pertamanya. Mulut bisa berkata ikhlas dipoligami, ternyata hatinya belum siap melihat suaminya dekat dengan wanita lain walau atas persetujuannya. Begitu sakit rasanya, tetapi sebisa mungkin rasa sakit yang sudah menjalar ke hatinya ditutupinya dengan senyum hangatnya pada suaminya. “Akhirnya ada yang datang,” gumam Sara pelan dan bisa kembali menghirup oksigen sebanyak-banyaknya membuang aroma maskulin Edwin yang sangat mengganggu indra penciumannya. “Hana, kamu jangan berpikiran buruk atas apa yang kamu lihat tadi. Aku tidak sedang bermesraan dengannya,” pinta Edwin merendahkan suaranya sembari menggenggam tangan Hana. Wanita itu masih memperlihatkan senyum di wajahnya. “Gak pa-pa kok Mas, lagi pula Sara juga istri Mas kok. Aku pikir Mas tadi mau memarahi Sara, maka dari itu aku mencarimu. Ternyata tidak,” balas Hana sembari menatap Edwin dan Sara secara bergantian. “Kebetulan aku cari Mas Edwin dan Sara mau kasih tahu masih ditunggu sama petugas KUA-nya, ada beberapa berkas yang harus ditanda-tangani biar dicatat secara negara. Mending kita sekarang ke sana yuk Mas, Sara,” ajak Hana begitu tenang seakan tidak ada rasa sakit atau cemburu di hatinya. Edwin yang melihat kepura-puraan di wajah Hana, lantas menarik tengkuk dan menyapu bibir istrinya di depan Sara dan hal itu membuat Hana terkesiap akan sentuhan lembut dari suaminya. Sara yang melihat pemandangan itu tampak tenang dan jelas memalingkan wajahnya, ingin keluar dari ruang pun tidak bisa karena keadaannya terhalang dengan dua sejoli yang masih saling berpagutan. “Aku sangat mencintaimu, Hana istriku, maafkan aku ya,” ucap Edwin begitu lembut usai melepaskan pagutannya. Rasa cemburu dan sakit yang sempat melingkupi hati Hana terhempaskan begitu saja, tatapannya kembali menghangat membalas tatapan suaminya. “Aku juga sangat mencintaimu, Mas Edwin,” balas Hana suaranya mendayu-dayu. “Ehm.” Sara sengaja berdeham agar terbebas dari nuansa romantis di hadapannya, dan berhasil, Edwin dan Hana sama-sama menatap Sara. “Baiklah Tuan dan Nyonya, saya mau permisi keluar, tidak mau mengganggu kemesraan Tuan dan Nyonya. Dan satu lagi Nyonya jangan salah paham, saya tadi tidak bermesraan dengan suami Nyonya, tadi kami sedang membicarakan pembatalan pernikahan yang tidak pernah saya setujui, setidaknya hari ini kami akan membatalkannya,” jelas Sara dengan entengnya, lalu melangkah cepat keluar dari ruangan, sebelum dicecar kembali. Dan, sudah tentu Hana terkejut mendengarnya. “Mas Edwin, bagaimana ini! Kenapa mau dibatalkan?” tanya Hana, netranya semakin melebar saat menatap suaminya. Edwin meraup wajahnya dengan gusar. “Sebaiknya kita kejar Sara, Mas, sebelum dia benar-benar membatalkan pernikahan tadi,” pinta Hana mulai khawatir. Pria itu melayangkan pandangannya ke arah luar pintu. “Dia tidak bisa membatalkan pernikahan itu dengan mudahnya, kamu tenang saja,” balas Edwin berusaha untuk yakinkan diri sendiri jika Sara tidak bisa membatalkannya. Sedangkan langkah mungil Sara begitu cepat menuju ruang keluarga untuk menemui Firdaus, sosok yang mungkin saja bisa membantunya. Dan alam sepertinya mempermudah langkah gadis itu, belum juga langkah kakinya sampai ke sana dia berpapasan dengan papa suaminya. “Permisi Tuan Firdaus, bolehkah saya minta waktunya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan,” pinta Sara dengan sopannya. “Bisa, kita bicara di halaman belakang saja, Sara,” ajak Firdaus tanpa banyak berpikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD