Sara masih belum paham dengan kata ijab kabul yang dilontarkan oleh Firdaus, tubuhnya pun sudah beringsut bersamaan itu pula Hana mendekat dan menahan bahu gadis itu untuk kembali duduk.
“Sara, duduklah dulu,” pinta Hana dengan lemah lembutnya, Sara yang masih bingung menatap wanita itu enggan untuk duduk kembali.
“Si-siapa yang mau ijab kabul?” tanya Sara pada wanita itu, lalu bola matanya teralih kembali ke Firdaus.
“Duduklah Sara!” sentak Erwin yang sejak tadi menahan untuk tidak menunjukkan amarahnya.
Refleks saja ketika Edwin agak meninggi suaranya, gadis itu kembali duduk dan wajah cantiknya mendadak memucat.
Edwin menatap pria berseragam safari tersebut. “Bisa kita mulai Pak, biar urusan ini cepat selesai?” tanya Edwin datar.
“Sebentar Tuan Edwin ini mau mulai acara apa ya? Jangan bilang kalau—“ Pikiran Sara menduga kalau dia akan dinikahi oleh majikannya, dan ini tidak dia inginkan.
Sentuhan lembut terasa di pundak Sara, gadis itu pun lantas menolehkan wajahnya. “Mas Edwin akan menikahimu sebagai bentuk tanggung jawab padamu, Sara. Dan aku sebagai istri Mas Edwin menerima kamu menjadi adik maduku,” imbuh Hana tersenyum, menandakan dirinya tidak keberatan.
“A-Apa!” Sara kembali beringsut, denyut jantungnya terasa nyeri. “Sepertinya ada yang salah di sini! Bertanggungjawab bukannya berarti saya dinikahi! Nyonya Hana jangan gila yang mau melihat suaminya menikahi wanita lain!” tegas Sara, tubuhnya bergerak ingin keluar dari kursi yang dia tempati. Akan tetapi apa yang terjadi! Edwin sudah menjabat tangan pak penghulu sekaligus menjadi wali hakim untuk Sara, dan penghulu tersebut sudah memulai ijab kabulnya.
“Saudara Edwin Harris Firdaus bin Firdaus Djatmoko, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan Sara Imanina binti Yanto Rusli yang walinya diwakilkan kepada saya untuk menikahkannya dengan Anda dengan mas kawin uang sebesar 10 juta rupiah dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Sara Imanina binti Yanto Rusli dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Bagaikan petir tanpa hujan, tubuh Sara limbung setelah mendengar ucapan ijab kabul yang begitu cepat terjadi, kepalanya tiba-tiba saja pusing. Bik Wiwik yang turut melihat bergegas menghampiri Sara dengan keterkejutannya yang luar biasa.
“Alhamdulillah ... SAH!” jawab Pak penghulu yang menikahi Edwin dan Sara.
Sara menggelengkan kepala dan menatap nanar pria yang masih duduk di meja akad nikah itu. “Batalkan pernikahan ini! Saya tidak pernah mau atau menyetujui pernikahan ini! Saya sangat menghormati Nyonya Hana dan saya tidak mau menjadi istri Tuan Edwin!” teriak Sara melupakan isi hatinya.
Edwin mulai tampak tidak suka dengan reaksi gadis itu, dipikirnya dia mau dengan sukarela menikahi gadis itu, hati dia dan hati Sara itu sama! Sama-sama tidak mau menjadi pasangan suami istri.
Pria iru menarik napas dalam-dalam seraya bangkit dari duduknya, tumitnya pun bergetar, lalu meraih tangan gadis itu dan menariknya untuk mengikuti langkah kakinya dengan kasar.
Tubuh Sara semakin limbung dan tersentak, serta terasa sakit ketika tangannya digenggam Edwin untuk pertama kalinya.
“Mas, Sara-nya mau dibawa ke mana?” Hana terkesiap, dan di jawab dengan tangan Edwin yang terangkat, tanda jangan ada yang mengikuti dan bertanya lagi.
Amy-mamanya Hana sejak tadi mulutnya ditahan untuk tidak melontarkan kata-kata kasar saat melihat kehadiran Sara. Ibu mana sih yang rela melihat anaknya dimadu oleh suaminya. Sudah dua hari wanita paruh baya itu bertengkar dengan anaknya yang memberitahukan jika suaminya akan menikah dan dia ikhlas dan menyetujuinya. Gila! Satu kata yang terucapkan oleh Mama Amy.
“Halah banyak drama sekali perempuan itu! Sok suci sekali! Pura-pura tidak menyetujuinya, padahal pasti hatinya senang menjadi benalu menantuku ini! Menjadi pelakor di rumah tangga anakku!” gumam Mama Amy terlihat benci.
Bik Wiwik yang tidak sengaja mendengar, sedikit menelengkan kepalanya dan terlihat tidak suka dengan pernyataan tersebut. “Sara memang tidak tahu jika akan dinikahi oleh Tuan Edwin, andaikan aku tahu mungkin sejak tadi aku akan menyuruhnya diam di rumah.” Ingin sekali Bik Wiwik menimpali ucapan mertua majikannya, tapi tidak etis sepertinya.
***
Edwin menarik paksa gadis yang baru saja resmi dia nikahi menjadi istri kedua ke ruang kerjanya yang ada di bagian sayap timur mansionnya. Dihentak kasar tangan Sara saat mereka berdua sudah berada di dalam ruang kerja Edwin.
Rahang kokoh pria itu tampak mengetat, salah satu tangannya berkacak pinggang, netra elangnya agak memicing, dan kini mereka berdua berdiri saling berhadapan, dan sama-sama mengatur napas yang sempat memburu.
“Kamu pikir saya mau menikahi gadis seperti kamu ini!” Netra elang Edwin seakan menguliti gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.
Pundak Sara masih terlihat naik turun mencoba menetralkan degup jantungnya yang sempat berpacu dengan cepatnya, dan memberanikan diri untuk membalas tatapan elang tuannya, membuang rasa sungkan dan hormatnya saat ini.
“Saya menikahimu karena bentuk tanggung jawab pada mu atas kematian ayahmu! Dan perlu kamu ketahui jika istri saya tetaplah Hana, dan pernikahan kita barusan tidak akan pernah saya anggap, begitu juga dengan kamu tidak akan pernah menganggap kamu sebagai istri saya!” kata Edwin dengan tegasnya.
Tatapan Sara begitu nanar, kedua tangannya meremat sisi gaun brokatnya. Rasa sesak di dadanya semakin bertambah, belum usai air mata atas kematian ayahnya, kini status dirinya dipermainkan atas nama sebuah tanggung jawab atas kematian ayahnya.
“Kamu tidak perlu menangis di sini! Kamu pikir saya akan tersentuh dengan kesedihan kamu itu!” tegur Edwin tampak tak suka.
Gadis itu mengangkat jemari ke wajahnya, merasakan basah di pipinya. Padahal sejak tadi dia menahan diri untuk tidak menumpahkan air matanya, tetapi netranya sudah memanas sejak tadi dan tak mau diajak kompromi.
“Saya tidak mencari perhatian Tuan.” Sara menarik napas pelan, dan masih mengusap pipinya.
“Jika pernikahan saya dengan Tuan tidak pernah dianggap, sebaiknya ceraikan saya sekarang juga. Saya tidak pernah meminta pertanggungjawaban dari Tuan Edwin untuk menikahi saya! Lebih baik Tuan tidak perlu bertanggungjawab atas kematian ayah saya. Saya akan berusaha menghidupi diri saya sendiri!” tegas Sara, netra yang sembab itu berusaha tampak tegar. Dibalik wajah cantik nan rapuh sebenarnya ada sosok yang belum diketahui oleh Edwin.
“Saya permisi Tuan Edwin, saya yang akan membatalkan pernikahan yang tidak pernah kita inginkan,” pamit Sara seiringan tumitnya berputar menuju ke arah pintu.
Terkepallah tangan Edwin, darahnya berdesir ke pembuluh darahnya. Pria itu berpikir jika Sara tipe anak penurut seperti yang dia ketahui dirinya, ternyata dibalik sikap penurutnya ada sisi liar yang tersembunyi. Tersungginglah senyum miringnya.
“Berani kamu membatalkan pernikahan kita, maka hari ini juga kamu harus menggantikan uang perawatan ayah kamu selama di ruang ICU begitu juga biaya rumah sakitmu, jumlahnya 250 juta!” sahut Edwin kembali menantang gadis itu.