Ide itu terlintas begitu saja di otak Andika, akan tetapi dia tidak langsung mengeksekusinya di hari itu saja. Sosok Sara yang tidak terpesona akan dirinya ternyata mampu membuat bos casanova itu penasaran, apalagi Sara mempunyai wajah cantik dan daya pesonanya jelas berbeda dengan wanita yang selama ini dia kenal.
“Oh iya, dia sekretaris saya, kebetulan saya habis bertemu dengan relasi bisnis di sini. Kalau begitu mungkin di lain waktu kita bisa bertemu kembali. Dan sebelum berpisah boleh saya minta nomor teleponnya, atau bisa kirim nomor rekening, kalau tidak keberatan saya ingin mengirim uang duka cita,” pinta Andika tampak sopan memintanya tanpa menyinggung perasaan Sara.
Kaki Tita di balik meja sengaja menyenggol kaki sahabatnya sembari mengedipkan netranya, bermaksud jangan menolak niat baik pria tampan tersebut, apalagi kabur juga butuh uang buat ongkos. Pelan tapi pasti, Sara memiringkan kepalanya dan menangkap kode sahabatnya.
“Boleh saya minta nomor handphone Om saja, nanti saya akan kirim pesan, kebetulan hp saya baterainya lowbat,” balas Sara dengan tatapan santainya.
“Tunggu sebentar.” Andika mengeluarkan ponselnya sekaligus dompetnya yang ada di saku celananya, lalu tampak menarik selembar kartu nama.
Pria itu mengulurkan kartu nama tersebut. “Ini kartu nama saya, dan ini handphone saya, tolong tulis nomor kamu di sini, pasti masih hapalkan nomor sendiri,” pinta Andika secara halus, padahal memaksa biar mangsanya tidak lepas begitu saja.
Gadis itu pun menatap ponsel yang super wow harganya, di hatinya sendiri agak meragu untuk memberikan nomor ponselnya, tetapi dia tidak munafiklah mau menerima uang duka cita apalagi saat ini dia juga posisinya sangat membutuhkan.
“Sara, bolehkan saya minta nomor handphone kamu?” Andika kembali bertanya dengan lembutnya sembari masih mengulurkan ponsel miliknya.
Sudut bibir Sara agak ketarik ke atas, akhirnya tangannya mau menerima ponsel sepupu suaminya itu lalu menyimpan nomor miliknya di sana.
“Nomor saya sudah ada di kontak Om,” ucap Sara ketika mengembalikan ponsel pria tersebut.
“Terima kasih ya, Sara, nanti saya segera hubungi kamu. Tapi sebelum berpisah, boleh tidak kita foto bersama dulu?” tanya Andika dengan memainkan pandangan mata yang begitu dalam pada Sara.
“Boleh kok Om, sini biar saya yang ambilkan fotonya,” sambung Tita dengan meraih ponsel pria itu, dan sudah tentu Andika sangat berterima kasih. Sementara Sara melongo lihat sahabatnya yang menyetujuinya saja. Lantas, pria itu dengan sengaja berdiri sangat dekat dengan Sara, hingga kedua lengan mereka saling menempel. Dan bisa dibayangkan bagaimana canggungnya Sara saat di foto dengan pria yang tidak terlalu dia kenal, mana langsung minta foto bersama berasa kayak artis saja, tapi ya sudahlah. Di foto itu Sara berusaha tersenyum manis.
“Terima kasih ya,” ucap Andika saat menerima ponselnya kembali dengan senyuman kemenangannya, tinggal nanti mencari info kenapa Edwin menikahi Sara pikirnya.
“Sama-sama Om,” balas Sara, dan pria itu menyentuh lengan gadis itu dengan lembutnya. “Semoga kamu diberikan ketabahan ya, tetap semangat, jangan larut dalam kesedihan ya. Kalau butuh bantuan bisa hubungi saya, ya,” ujar Andika menunjukkan perhatiannya, dan Sara hanya menyipitkan netranya saat pria itu dengan beraninya menyentuh dirinya, bukannya tersenyum hangat.
Lagi-lagi Andika dibuat tersenyum kecut melihat reaksi Sara, apalagi gadis itu bergerak seakan menolak sentuhannya. Akhirnya pria itu memilih berpamitan dengan raut wajahnya yang masih tersenyum hangat.
"Aku harus cepat mendapatkan Sara! Sepertinya dia berbeda dengan wanita yang lain," batin Andika ketika sudah berpamitan.
“Gila, Sara sepupu suami kamu ganteng banget, aku sampai terpesona loh lihatnya,” puji Tita selepas pria itu meninggalkan mereka berdua, lantas mereka berdua kembali duduk.
Sara menggeleng-geleng. “Andaikan kamu pernah lihat bos ayahku, hmmm mungkin bakal pingsan deh, lebih ganteng dari om barusan,” balas Sara sembari memalingkan wajahnya ketika dari kejauhan Andika masih melihatnya.
“Mmm, bos ayahmu ya suami kamu'kan? Eh, hampir aja aku lupa papaku sudah mengizinkan kita ke Puncak ke rumah nenekku. Jadi sekarang, kita menunggu sopir papaku jemput, sekitar setengah jam lagi baru sampai ke sini,” ucap Tita memberitahukan hasil telepon papanya.
Wajah Sara tampak lega. “Alhamdulillah, makasih banyak ya Tita atas bantuannya,” balas Sara sembari menggenggam tangan sahabatnya.
Tanpa terasa waktu setengah jam menunggu begitulah cepat, Tita dan Sara akhirnya berangkat ke Puncak.
Kembali ke mansion Edwin, Bik Wiwik bersama beberapa maid mendata barang-barang yang ada di rumah kecil tersebut sesuai data inventaris yang dimiliki oleh Ibnu. Alhasil tidak ada satu pun barang yang hilang dari rumah yang ditempati oleh Yanto dan Sara. Edwin rasanya masih tidak percaya dengan hasil inventaris yang dilaporkan oleh Bik Wiwik dan Ibnu. Sampai Bik Wiwik angkat tangan ketika tuannya tidak percaya.
“Mana mungkin dia tidak mencuri satu pun barang yang ada di rumah itu,” gumam Edwin sendiri selepas kedua maidnya menghadap dirinya. Tak lama, pria itu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa yang ada di ruang kerjanya dengan menghamburkan kertas yang sejak tadi dia pegang.
Tanpa terasa waktu sudah menjelang sore. Kedua orang tua Hana sudah berpamitan pulang. Hana yang sejak tadi belum melihat suaminya menghampirinya, terpaksa menyambangi Edwin setelah mengetahui jika pria itu masih berada di ruang kerjanya.
“Mas Edwin,” sapa Hana, seperti biasa memanggil suaminya sangat lemah lembut, dengan membawa secangkir kopi hangat wanita itu melangkah masuk ke dalam.
Baru saja Edwin menyandarkan tubuhnya di sofa dan ingin memejamkan netranya sejenak, terpaksa dia kembali membuka kelopak netranya.
“Mmm,” gumam Edwin tanpa merubah posisi rebahannya.
“Aku bawakan kopi hangat untuk Mas. Tadi siang kenapa Mas tidak ikutan makan siang bersama? Malah makan di sini?” tanya Hana saat menaruh cangkir kopi yang dia bawa ke atas meja, kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa samping Edwin berada.
Pria itu menarik napas panjangnya ketika menatap wajah Hana. “Aku lagi banyak kerjaan jadi sekalian saja makan siang di sini,” jawab Edwin, tampak agak malas menjawab.
“Mas sudah tahu Sara pergi ke mana? Sudah suruh orang'kan buat cari dia di luar?” cecar Hana, tampak mengkhawatirkan adik madunya.
Edwin yang sudah tidak mau mengurusi persoalan kepergian istri keduanya, dibuat kembali kesal dengan pertanyaan istrinya, baru saja dia mau tenang.
“Hana, Sara belum pergi selama 24 jam itu tandanya belum bisa dikatakan kabur. Dia sudah dewasa tidak perlu dicari, jadi biarkan saja dia mau pergi ke mana kek, dan kamu juga tidak perlu khawatir nanti malam Sara juga bakal kembali ke sini. Seharusnya kamu juga bersyukur tidak ada perempuan ini di sini. Di mana-mana istri tidak mau dipoligami, kamu malah pengen aku menikahi perempuan itu,” tukas Edwin jadi terbawa emosi kembali, dia pun bergerak merubah posisinya menjadi duduk dan mengambil cangkir kopi untuk diteguknya.
Batin Hana cukup bahagia melihat reaksi suaminya yang tidak peduli dengan madunya, tapi sepintas dia teringat akan mertuanya, jika sampai tahu Sara kabur dari mansion maka ujung-ujungnya pasti dirinyalah yang akan disalahkan.
Ketika Edwin masih menyesap kopinya yang masih hangat, ponsel yang dia letakkan di atas meja sofa terdengar suara notif pesan masuk lantas dia bergerak untuk memeriksanya.
Edwin mendesis saat melihat pesan tersebut, tatapannya begitu tajam melihat foto yang dia terima.
“Berengsek!!” maki Edwin.