Part 6

1827 Words
Nadin menatap kesal ponselnya yang terletak di atas meja, tepat di samping komputer. Waktu makan siang sudah masuk sepuluh menit yang lalu. Namun, Nadin tidak beranjak dari kursinya sedikitpun. "Kamu kenapa?" Suara Cia mengalihkan pandangannya. "Ini nih, si Niko. Katanya mau ngajakin aku makan di luar, tapi sampai sekarang masih belum ada kabar." Nadin memanyunkan bibirnya. "Mungkin dia lupa. Kamu telpon aja. Gak ada salahnya juga." Cia memberi solusi. "What? That is not me. Mau diletakkan dimana wajah cantikku ini? Bisa-bisa dia berpikir aku sangat berharap kepadanya." Protes Nadin tidak setuju dengan solusi Cia. "Kamu selalu seperti ini. Gengsi mu terlalu tinggi." Cia membereskan lembaran-lembaran kertas yang berserakan di atas mejanya. Nadin bungkam. Tidak membantah perkataan sahabatnya itu. Cia yang melihat Nadin yang tidak membantah perkataannya melanjutkan ucapannya. "Kalau aku jadi kamu, aku akan menelpon Niko dan menanyakan kepastiannya. Lagipula, tidak ada salahnya kalau sesama teman saling menghubungi. Bukannya kamu mau jadian sama dia? Kenapa melakukan hal seperti ini tidak berani," tambah Cia semakin memanas-manasi. "Sudahlah. Kamu tidak mengerti perasaanku." Nadin memasang tampang sedih. "Kalau begitu kamu ikut sama aku aja. Kita makan di kantin daripada disini menunggu sesuatu yang tidak pasti." Cia menarik pergelangan tangan Nadin agar berdiri dari tempatnya. Nadin hanya pasrah dengan perlakuan Cia yang terus menarik pergelangan tangannya. "Kita duduk di dana saja, ya?" tanya Cia sambil terus berjalan menuju sudut ruangan yang menghadap ke belakang gedung. Dari tempat itu, mereka dapat melihat gedung-gedung pencakar langit yang berada tidak jauh dari gedung yang mereka tempati sekarang. Baru saja teman sejoli itu mendaratkan p****t mereka pada kursi kantin, suara pekikan Nadin membuat puluhan pasang mata menatap mereka heran. "Hehe ... sorry sorry." Nadin sedikit membungkukkan badannya sembari meminta maaf pada penghuni kantin atas tindakannya. "Kamu kenapa?" tanya Cia sambil menghidupkan ponselnya yang mati. "Niko, dia nelepon ku!" Nadin kegirangan, membuat Cia tersenyum maklum melihat tingkah sahabatnya yang sedang jatuh cinta itu. "Kamu lama sekali. Dari tadi menunggu kabar darimu." Nadin langsung protes setelah mengangkat telpon dari Niko. Ia terlihat sedang mendengarkan penjelasan pria itu di seberang sana. "Ya sudah. Aku ke sana sekarang. Tapi, aku datang dengan Cia boleh, ya? Tidak enak kalau aku harus meninggalkannya sendirian di sini." Nadin melirik Cia sambil tersenyum manis. Cia yang mendengar namanya disebut mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedang ia mainkan. "Tunggu aku, bye-bye." Nadin merasa hatinya berbunga-bunga saat ini. Semua rasa kesal yang tadi hinggap di hatinya menguap entah kemana. Ia menyentuh dadanya sambil masih menggenggam ponselnya. "Cia, kita berangkat sekarang. Niko sudah hampir sampai di restauran yang ada di dekat perusahaan tempatnya bekerja." Nadin tersenyum bahagia menatap Cia yang bengong. "Cia, kamu dengar aku, kan?" tanyanya heran sembari mengibaskan tangan di depan wajah Cia. "Ah, kenapa, Nad? Kamu bilang apa?" tanya Cia balik. Ia memasang wajah menyesal telah mengabaikan sahabatnya. "Ayo kita ketemu Niko. Aku perhatikan hari ini kamu banyak melamun. Kamu lagi ada masalah?" tanya Nadin sambil mengulurkan tangannya ingin mengambil ponsel Cia. Namun, gadis itu langsung menjauhkan ponselnya dari jangkauan Nadin. "Tidak. Aku baik-baik. Ya sudah, ayo kita berangkat." Cia langsung beranjak dari kursinya menghindari pertanyaan Nadin yang akan membuatnya sulit untuk menjawab. Nadi! yang sedang berbahagia akhirnya mengabaikan tingkah Cia yang menurutnya sedikit aneh. Ia mengikuti langkah Cia yang sudah berjalan lebih dulu. Tidak lama kemudian, mereka sampai di depan sebuah restauran. Cia dan Nadin langsung keluar dari mobil yang mereka kendarai. Cia memperhatikan sekitar restauran tersebut. "Aku sepertinya pernah ke tempat ini sebelumnya. Kamu yakin Niko disini?" tanya Cia pada Nadin yang masih berdiri di depan bumper mobil. "Yakin. Kita langsung masuk saja yuk," ajak Nadin dan mulai memasuki pintu utama restauran. Cia hanya mengikuti kemana langkah Nadin berjalan. Sedari tadi ia hanya terus berdoa agar apa yang ia lihat beberapa menit yang lalu itu tidaklah benar. Semoga saja apa yang aku lihat tadi tidak benar, ujar Cia dalam hati. Tadi, saat ia sedang asik memainkan ponselnya, dengan tidak sengaja ia melihat hot news bahwasanya CEO muda bernama Elgan Gaulia Lambert baru saja memasuki restauran yang tidak jauh dari perusahaan pria itu bersama seorang pria yang diketahui merupakan sekretarisnya. "Niko!" Seruan Nadin membuyarkan lamunan Cia. Dari kejauhan, ia dapat melihat Niko yang sedang melambaikan tangan kepada mereka. Namun, melihat sosok pria yang duduk di samping Niko membuat tubuh Cia menegang. "Ayo." Nadin mengajak Cia yang berdiri di belakangnya. Ia kemudian melanjutkan langkah menuju kursi kosong didepan dua pria tampan yang sedang menunggu mereka. Berbeda dengan Nadin yang tampak santai, Cia berulang kali menghela napas. Sepertinya nasib baik sedang tidak berpihak kepadanya saat ini. Ia berjalan lambat, menyeret kakinya dengan malas ke arah tiga orang yang sudah duduk manis di kursi mereka. Ia ingin berlama-lama sampai di kursinya. Namun apa boleh buat, ia tidak ingin Nadin dan Niko curiga karena tingkah anehnya. "Hai ...," sapa Cia pada dua orang di depannya. Namun, ia hanya menatap mata Niko lalu duduk di kursi yang tersisa untuknya, tepat di samping Nadin. "Kamu tadi kenapa lama sekali menghubungi aku?" tanya Nadin membuka obrolan setelah mereka memesan makanan. "Tadi aku sibuk memaksa seseorang untuk ikut bersama ku. Ya, karena itu aku tidak sempat memberimu kabar." Niko menjelaskan. "Maksud kamu?" tanya Nadin lagi, masih belum mengerti. "Jadi begini Nadin yang cantik. Tadi, Elgan tidak mau ikut denganku ke tempat ini, jadi karena itu aku terlambat menghubungimu karena sedang sibuk memaksa dia supaya mau makan siang bersama kita." "Lebih baik kau diam." Protes Elgan sambil menyenggol lengan Niko kuat. Matanya menatap pria itu dengan tajam, sedangkan Niko hanya menyengir lebar ditatap seperti itu. Nadin mangut-mangut mendengar penjelasan Niko yang sudah mulai ia mengerti. "Sudah-sudah, kalian jangan bertengkar disini. Nanti saja kalau udah pulang." Nadin memberi solusi. "Malas sekali aku bertengkar dengannya Tidak guna," tolak Niko. Nadin melihat ke arah Cia yang sedang duduk dengan tengang. Ia merasa ada yang aneh dengan sahabatnya ini. Cia kenapa, ya? Sepertinya dia tidak baik-baik aja. Kenapa dia jadi tegang seperti melihat hantu? batinnya, bertanya-tanya. "Cia, kamu kenapa?" Nadin menepuk pelan pundak sahabatnya itu. "Ah, tidak. Aku baik-baik saja. Kenapa?" Cia balik bertanya setelah sadar dari lamunannya. "Dari tadi aku melihat mu seperti orang yang ketakutan." Nadin menatap Cia yang sedang mengusap tengkuknya yang tidak gatal. "Aku ke toilet dulu ya. Kalian makan duluan saja." Cia berujar kikuk sebelum beranjak dari kursinya. Nadin dan Niko hanya mengangguk serempak dan mulai memakan hidang yang sudah ada di hadapan mereka. Cia melangkah cepat menuju toilet. Sesampainya di sana, ia langsung membasuh wajahnya yang terasa panas. Entah mengapa sejak memasuki restauran ini, ia merasa atmosfer di sekitarnya terasa berbeda dan menegangkan. "Kalian lanjutkan." Elgan yang belum menyentuh makanannya sedikitpun beranjak dari kursinya. Ia berjalan ke arah yang sama dengan Cia lalu berhenti di persimpangan dekat toilet. Ia bersandar pada dinding sambil menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Sesekali, ia melihat ke arah pintu toilet wanita dengan tatapan matanya yang tajam dan tidak santai. Elgan menegakkan tubuhnya, masih dengan bersedekap d**a setelah melihat Cia keluar dari toilet. Diperhatikannya penampilan gadis yang sedang mengenakan seragam kantor dengan rok pensil yang pas di pinggul dan kaki jenjangnya lalu kemeja putih yang pas ditubuhnya yang memiliki kulit putih itu. Elgan bersiap-siap hendak menarik lengan Cia. "Aw! Apa-apaan kamu!" Cia refleks marah dan membentak Elgan. Ia terbelalak setelah melihat orang yang menarik tangannya ternyata Elgan dengan tampang datarnya dan matanya yang setajam elang. "Kamu? Kenapa kamu ada di sini? Lancang sekali kamu menyentuh tanganku!" Raut tidak suka begitu kentara di wajah Cia. "Cerewet. Langsung saja aku ingatkan padamu. Jangan pernah kamu memberitahu perihal perjodohan kita kepada dua orang di sana." "Kenapa? Kamu takut? Kalau aku memberitahu mereka memangnya kenapa? Kamu tidak suka? Kamu pikir aku peduli!" Tantang Cia. Matanya balik menatap Elgan dengan tajam. "Kau ... turuti perintahku selagi aku masih bicara dengan baik," ujar Elgan dingin dan penuh penekanan. "Apa? Bicara baik-baik? Bicara seperti ini kamu bilang baik? Jadi, yang tidak baik itu bagaimana? Membentak ku? Berkata kasar, begitu? Dasar aneh." Cia menantang Elgan sambil berkacak pinggang. "Jaga kata-katamu sebelum aku bertindak lebih. Kau akan menyesal." Setelah berujar demikian, Elgan kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Cia. "Dasar kali-kali gila. Dia pasti malu kalau Nadin dan Niko tahu soal perjodohan ini. Asal kamu tahu, aku juga malu dan SANGAT TIDAK MAU dijodohkan dengan laki-laki spek kulkas seperti kamu." Cia menatap tajam punggung Elgan yang semakin menjauh meninggalkannya. Kembali melangkahkan kakinya, dari kejauhan ia dapat melihat Elgan yang sedang menikmati makanannya. Jika diperhatikan, Elgan memang sangat tampan. Apalagi, saat ini ia sedang makan seperti itu. Lengan bajunya yang ditarik hingga sebatas siku dan rambutnya yang sedikit berantakan serta dasi yang sudah longgar, benar-benar membuatnya terlihat sexy, membuat Cia mengulum senyum tanpa sadar. Namun, detik selanjutnya ia langsung mendengus kesal dan menatap pria itu dengan malas. Ketika sampai di hadapan ketiga orang di meja itu, Cia mengembangkan senyumannya menatap Elvan. Berpikir kalau pria itu sedikit bersikap lunak jika dihadapkan Niko dan Nadin. Masih datar. Dasar laki-laki sombong. Sayangnya, harapan itu tidak sesuai kenyataan karena Elgan tidak menghiraukan dirinya. "Setelah ini kalian balik ke kantor lagi, kan?" tanya Niko pada dua gadis di depannya beberapa saat kemudian. "Iya, masih ada beberapa kerjaan yang harus diselesaikan," jawab Nadin sambil mengunyah makanannya. "Kalau kamu?" tanyanya pada Cia sambil menyenggol siku gadis itu. "Mama menyuruhku untuk pulang lebih cepat, jadi aku akan langsung pulang," jawab Cia, seadanya. "Tumben Tante Elena menyuruhmu lekas pulang, ada apa?" Nadin penasaran, diikuti oleh anggukan Niko. Sementara itu, Elgan hanya diam mendengarkan sembari menikmati makanannya. Sesekali, ia melirik Cia yang juga tengah makan. Elgan menatap Cia was-was sambil menunggu jawaban apa yang akan dilontarkan gadis itu atas pertanyaan Nadin. "Se-sepertinya ada urusan penting. Yah, mungkin saja ada urusan penting." Cia terbata-bata, membuat Elgan langsung menghembuskan napas lega, sedangkan Niko dan Nadin hanya mengangguk kecil tanda mengerti. Beberapa menit kemudian, mereka telah menghabiskan semua makanan yang ada di atas meja. Selesai membayar tagihan, Cia dan Nadin langsung melangkah ke tempat parkir, diikuti oleh Niko dan Elgan yang berjalan tepat di belakang mereka. Cia merasa ada yang aneh dengan jantungnya. Entah mengapa sejak bertemu dengan Elgan di dekat toilet tadi detak jantungnya terpacu dengan tidak normal. Sampai-sampai, ia merasa sesak dan tidak nyaman. "Cia, kamu tidak mengantarku kembali ke kantor. Aku akan pergi dengan Niko, iya kan, Nik?" Niko mengangguk sambil melihat Cia dan Nadin bergantian. "Serius? Bukannya Niko datang ke sini dengan Elgan. Memangnya dia mau kamu ikut dengannya?" tanya Cia sambil melirik Elgan. "Antar saja. Aku juga akan dijemput oleh supir," timpal Elgan, cuek. "Benarkah? Setelah ini kau kembali ke kantor lagi, kan?" tanya Niko sambil tersenyum senang karena Elgan membiarkannya pergi bersama Nadin. "Tidak. Aku langsung pulang ke rumah," jawab Elgan lalu menghubungi supir agar menjemputnya sekarang juga. "Tapi, kita ada meeting satu jam lagi," protes Niko sambil menatap Elgan. "Batalkan saja. Aku ada urusan mendadak." Setelah berujar santai tanpa rasa bersalah, Elgan melangkah menjauh saat melihat mobil yang dikendarai supirnya sudah datang. Tanpa bisa berkata-kata, Niko hanya pasrah dan mengangguk-angguk kecil menerima perintah atasannya tersebut. Dasar, calon suami sombong. Cia memutar bola matanya jengah melihat kelakuan Elgan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD