bc

Mantan Hilang Ingatan

book_age16+
2.6K
FOLLOW
25.7K
READ
billionaire
opposites attract
goodgirl
independent
confident
bxg
female lead
city
office/work place
slow burn
like
intro-logo
Blurb

(Mengandung adegan 21+, kebijakan pembaca disarankan)

“Mas Damar, kita kan udah putus tiga bulan yang lalu.”

“Putus?? Aku nggak inget kita udah putus! Kenapa kamu putusin aku??”

“Mas Damar yang putusin aku!”

“Nggak mungkin, aku sayang banget sama kamu.”

“Aku juga sayang dulu, tapi aku nggak bohong. Memang mas Damar yang putusin aku!”

Raya Ayunindya, sekretaris berusia 27 tahun. Muda dan sukses, Raya merasa telah memiliki semua, hingga tiba-tiba ia diputuskan oleh pacarnya selama dua tahun ke belakang, Damar. Tiga bulan ia susah payah melupakan sang mantan, tapi usahanya sia-sia karena sang mantan tiba-tiba mengalami kecelakaan parah dan lupa ingatan. Yang Damar ingat, ia masih berpacaran dengan Raya dan mereka tidak pernah putus!

Raya akhirnya diminta mengurusi Damar agar ingatannya cepat kembali. Tapi ternyata, Damar sudah menikah dan istrinya kembali, menuduh Raya pelakor. Di waktu yang sama, Raya jadi sering mengobrol dengan pasien sekamar Damar, Fajar, yang sakit parah dan selalu sendirian. Terjebak antara Damar yang menganggapnya pacarnya dan Fajar semakin lama membuatnya jatuh cinta. Sanggupkah Raya menata perasaannya? Apa yang akan terjadi bila ingatan Damar telah kembali?

#summerupdateprogramme

#programpembaruanmusimpanas

chap-preview
Free preview
Chapter 1: Awal Perkenalan
Raya POV Hari ini, Raya begitu bahagia. Setelah dua bulan lamanya tidak bertemu sang pacar, akhirnya ia bisa bertemu lagi dengannya. Cepat-cepat kerjaannya ia selesaikan agar tidak ada yang tertinggal ketika ia cuti setengah hari, hari Jumat ini. “Pak, ini dokumen yang harus ditandatangani hari ini,” Raya menyerahkan setumpuk map berisi dokumen yang sudah ia tandai dengan post-it. Bosnya, Adyatma Effendi, atau biasa ia panggil Pak Adya, menerima map tersebut dan mengeceknya seksama. “Schedule bapak sore ini tidak ada ya pak, selain approval yang ada di email.” Lanjut Raya. “Oke. Kamu jadi cuti setengah hari kan?” Tanya sang bos. “Jadi pak. Ada lagi yang perlu saya kerjakan pak?” “Tidak ada.” Pak Adya tersenyum tipis, yang semakin banyak ia lakukan sejak menikah. “Enjoy your weekend, Raya. See you on Monday.” Raya tersenyum dan keluar dari ruangan si bos. Dengan cepat ia mengemasi tasnya. “Cie, mau ketemu pacar, hepi banget kayanya?” Indah, koleganya, menyapa. Raya mengangguk dengan senyum yang makin lebar. “Titip ya kalau pak Bos ada perlu apa-apa. Sori ngerepotin!” Seru Raya sambil berlalu. “Santuy!” Balas Indah. Raya berjalan keluar gedung kantornya menuju parkiran, tempat dimana mobil pribadinya terparkir. “Masih sempat…” Ujar Raya seusai melirik jam di dashboard mobil. Dengan perlahan ia menyetir mobil keluar dari parkiran kantornya di Nongsa, Batam, menuju ke Bandara Hang Nadim, demi menjemput Damar, pacarnya. Bernama lengkap Raya Ayunindya, wanita berusia 27 tahun ini sudah hampir 7 tahun bekerja di PayDo, salah satu start-up pembayaran digital terbesar se Indonesia yang statusnya sudah unicorn. Posisi Raya adalah sekretaris dari CEO PayDo, Adya. Hari ini hari Jumat, Raya sengaja cuti setengah hari untuk menjemput pacarnya yang tinggal di Jakarta, Damar. Damar adalah seorang akuntan berusia 33 tahun, yang berkantor di salah satu kantor Akuntan Publik di Jakarta. Raya dan Damar sudah berpacaran jarak jauh selama dua tahun ke belakang, dan biasanya Damar mengunjunginya sebulan sekali di Batam sekalian ia business trip. Tapi sudah dua bulan ini Damar tidak mengunjunginya, dan sudah dua bulan ini juga Damar semakin jarang mengontaknya, dan kalau dikontak, ia sedikit dingin. Di telpon berkali-kali baru mengangkat, dan di chat pun lama baru membalas. Ini tidak seperti biasanya, karena tadinya Damar selalu mengontaknya setiap hari dan mereka bisa menghabiskan waktu lama telepon sepulang kerja. Raya sudah khawatir saja bawaannya, takut ia diputusin, tapi kekhawatirannya langsung lenyap saat kemarin Damar menelponnya dan bilang ia akan ke Batam hari ini. Bisa dibayangkan sudah betapa bahagianya Raya. Sembari menyetir mobilnya melintasi hutan Nongsa, pikiran Raya berputar ke waktu mereka pertama kali mereka bertemu. Dua tahun lalu… “Maaf Pak, jaringan untuk mesin EDC sedang offline jadi kami hanya menerima pembayaran cash.” Kasir itu berkata pada lelaki di depan Raya. Sabtu ini ia sedang mengantri membayar makan siang di salah satu restoran di Grand Mall, Ta Wan. “Waduh, yang benar mbak?” Lelaki tinggi dengan hidung mancung itu tampak kebingungan. “Saya tidak bawa uang cash sama sekali, saya boleh ke atm dulu tidak ya? Biar saya titip tas saya disini.” Pintanya, sementara si kasir terlihat kurang nyaman. “Biar saya yang bayar sekalian, mbak. ATM jauh soalnya, di lantai dasar.” Celetuk Raya pada si kasir yang langsung disambut senyum. “Saya bawa uang cash lebih, Pak.” Ujarnya, kini pada si lelaki. Si lelaki tampak begitu kaget, tapi juga lega. “Benar boleh mbak? Ini langsung saya ganti kok mbak pakai m-banking.” “Ya pak, tidak apa-apa.” Raya tersenyum, lalu membayar makanan sang lelaki dan makanannya beserta si adik, Rayi. “Terima kasih banyak ya mbak!” Ujar sang lelaki, ketika akhirnya urusan pembayaran selesai dan mereka berdua keluar dari restoran. “Saya Damar.” Ia mengulurkan tangannya. “Boleh minta nomor rekeningnya?” “Saya Raya, pak.” Raya menyambut uluran tangannya. “Boleh, ini nomor rekening saya, atas nama Raya Ayunindya.” Raya menyebutkan nomor rekeningnya yang paling jarang ia gunakan. Tidak mungkin ia memberi nomor rekening yang ada isinya pada orang asing begini. Secepat kilat Damar langsung mengeklik sesuatu di hapenya, dan menunjukkan layar transaksi sukses pada Raya. Raya juga langsung menerima sms notifikasi uang masuk, sejumlah yang ditransfer Damar barusan. “Sudah masuk pak, terima kasih ya.” Raya tersenyum. “Justru saya yang terima kasih, Mbak. Saya tidak terbiasa bawa uang cash, jadi kaget aja tadi.” “Bapak tidak tinggal di Batam ya?” Tanya Raya. Tanpa sadar mereka berdua tetap berjalan beriringan, sementara adik lelaki Raya, Rayi, mengikuti tepat di belakang mereka. Damar menyamakan langkahnya dengan Raya yang lambat karena Rayi yang pincang akibat kecelakaan motor tidak bisa jalan cepat-cepat. “Kelihatan banget ya mbak?” Damar malah balas bertanya. “Iya, saya kebetulan lagi business trip beberapa hari disini.” “Iya pak,” Raya terkekeh geli. “Di Batam tidak mungkin kayanya kalau ke restoran tidak bawa uang cash. Disini sering banget jaringan tiba-tiba offline begitu.” “Owalah, pantesan. Di Jakarta soalnya dimana-mana bisa bayar cashless.” Damar mengangguk-angguk, baru sadar. “Kak, jadi kan kita nonton sekuelnya Pacific Rim?” Rayi tiba-tiba berkata dari belakang, menunjuk ke arah bioskop CGV tak jauh dari mereka berdiri. “Jadi dong.” Raya mengangguk. “Mari pak, kami permisi dulu ya. Hati-hati di jalan.” Raya baru melambai saat Damar menghentikannya. “Tunggu,” sahut Damar. “Saya boleh ikut nonton juga tidak?” “Hmm?” Raya berpandangan dengan Rayi, kaget karena Damar tiba-tiba menawarkan diri. “Boleh ya? Saya sendirian selama disini, bingung juga mau ngapain hari ini.” Ia sedikit memelas. Raya jadi iba. “Boleh deh!” Timpal Raya, sementara Rayi tersenyum lebar, setuju karena ada temannya sesama lelaki. “Bapak udah nonton Pacific Rim yang pertama belum pak?” Rayi bertanya, dan Damar mengangguk antusias. Mereka berdua jadi semangat membicarakan film sci-fi itu, dan hati Raya sedikit hangat melihatnya. Sudah lama sekali rasanya ia melihat sosok lelaki yang mau mengobrol dekat dengan sang adik begini. “Biar saya yang bayar, mbak.” Damar mengeluarkan kartu kreditnya saat kasir CGV menyebutkan jumlah total tiket dan popcorn yang mereka sudah pesan. “Maaf pak, jaringan lagi offline.” Kasir itu mengatakan hal yang sama dengan kasir restoran. Damar langsung merengut, sementara Raya tergelak, tak bisa menahan tawanya melihat Damar yang lagi-lagi kecele. “Sudahlah pak, biar saya saja yang bayar. Anggap saja bapak tamu saya.” Raya menyerahkan dua lembar uang merah pada kasir setelah puas tertawa. Damar hanya meringis. “Saya jadi nggak enak, saya yang mau ikut malah saya yang ditraktir.” Komentar Damar ketika mereka bertiga duduk di kursi depan pintu teater, menunggu pintu dibuka. “Kapan-kapan boleh gantian bapak yang traktir,” Tanpa sadar Raya keceplosan. Tapi Damar tidak terlihat kaget, dan malah tersenyum senang. “Benar nih ya? Asyik! Saya minta nomor mbak kalau gitu.” Damar memberi hapenya pada Raya. Sempat bimbang, tapi akhirnya Raya setuju. Ia kemudian memasukkan nomor teleponnya ke hape Damar. Dan itulah awal mula kedekatan mereka, hingga bisa berpacaran jarak jauh seperti sekarang. Flashback selesai

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook