DANCING IN THE RAIN

2316 Words
HILLARY terbangun dengan d**a sedikit sesak karena perkataan Jullio yang terus menerus terngiang di telinganya. Juga bekas ciuman yang entah kenapa masih terasa begitu menyenangkan. Hillary tidak pernah merasa sedekat ini dengan seorang pria, bahkan Angkasa. Laki-laki yang selama ini ia cintai. Ya, Hillary tidak bisa melupakan kedekatannya dengan Jullio malam itu. Namun, Hillary mau tak mau harus melupakan pria b******k itu sebelum ia menjadi korban kebejatan pria itu. Sinar matahari menusuk matanya ketika ia membuka gorden kamar. Pemandangan hangat di luar rumah menyapa Hillary, bunga-bunga bermekaran dan udara yang sedikit sejuk menyambut hari baru Hillary. Setelah menikmati sedikit kesenangan dari taman rumah, Hillary buru-buru melangkahka  kakinya ke kamar mandi dan membasuh diri. Setengah jam kemudian, Hillary siap berangkat ke sekolah. Seperti biasa, Hillary mengendarai mobil sport mewah pribadinya untuk pergi ke sekolah. Tidak ada supir, tidak ada ayah atau  kakak yang mengantarnya. Hillary bahkan lupa kapan terakhir kali ia pergi ke sekolah diantar salah satu anggota keluarganya. Di sekolah, seorang pria yang masih setengah mengantuk duduk di dalam mobilnya, menunggu kedatangan Hillary. Setelah mobil Hillary memasuki pekarangan sekolah, pria itu bersiap turun dari mobil untuk menyapa Hillary. “Selamat pagi, calon istri,” ucap Jullio penuh percaya diri. “Aku bisa muntah kalau kau mengatakannya lagi,” sahut Hillary ketus. “Oh, ya? Tapi, kupikir kau akan suka,” “Ish! Sama sekali tidak! Kenapa kau percaya diri sekali?” “Tidak. Aku memang berniat menjadikanmu calon istriku,” “Oh, tapi maaf. Aku tidak berniat menikah dengan b******n kelas kakap sepertimu,” “Oh, hey Nona manis, kenapa kau menganggapku b******n. Kata-kata itu bahkan tidak pantas diucapkan oleh mulut manismu,” “Pantas atau tidaknya apa yang kukatakan bukanlah urusanmu. Pergilah, kau membuat moodku semakin buruk saja,” “Jadi, sepagi ini moodmu sudah memburuk? Begitu?” “Ya.” Jawab Hillary seraya meninggalkan Jullio. Pagi ini sekolah masih sangat sepi. Hillary tidak pernah berangkat terlambat ke sekolah. Ia selalu menjadi deretan murid-murid yang datang paling awal di sekolah itu. Jadi, ketika ia berjalan melewati lorong-lorong sekolah yang masih sepi dan Jullio menariknya ke salah satu ruangan dan menciumnya lagi, tidak ada satu murid atau staff yang melihat mereka di dalam ruangan itu. Hillary mencekeram erat d**a Jullio sebelum pria itu semakin menindihnya. “Apa yang yang kau lakukan?” “Memberi sedikit ucapan selamat pagi pada calon istriku,” bisik Jullio. “Bagaimana kalau ada yang melihat..” “Hanya itu yang kau khawatirkan? Kau tidak menolak atau marah karena aku menciummu?” Hillary tergagap, “b******k! Tentu saja aku…” Jullio kembali memotong ucapan Hillay dengan ciuman. Kali ini lebih dalam, dan intens. Hillary bahkan membalas ciuman manis yang ditawarkan Jullio. Untungnya, tidak ada yang menganggu aktifitas nakal mereka. Jullio memilih tempat yang tepat untuk mengobati kerinduannya pada Hillary. Sebuah ruangan yang sepertinya ruangan yang tidak dipakai. Karena ia tidak melihat ada lampu di sana. Ruangan itu cukup besar, sepertinya ruangan itu memang digunakan sebagai gudang. Terlihat bagaimana barang-barang tidak terpakai menumpuk di beberapa bagian.Ruangan itu cukup besar untuk melakukan hal-hal nakal lain selain berciuman. Namun, Jullio tidak mau mengambil resiko itu. Jullio tidak ingin membuat Hillary malu jika mereka sampai ketahuan. “Kau manis sekali,” bisik Jullio di telinga Hillary. Hillary terengah. Pipinya pasti merona seperti tomat sekarang. Si b******k Jullio memang sangat menyebalkan. “Kau b******k sekali?” Bukannya marah, Jullio justru senang mendengar kata-kata itu muncul dari bibir manis dan sexy milik Hillary. “Aku hanya b******k saat denganmu.” “Oh, sayangnya aku tidak percaya denganmu.” “Terserah kau percaya padaku aku tidak.” Jullio menekankan lidahnya di leher jenjang Beverly. Lembut dan manis, itulah yang Jullio rasakan. “Aku tidak pernah merayu wanita selain dirimu.” “Oh, maaf,” Hillary semakin erat mencekeram baju Jullio. “Aku masih gadis kalau kau ingat itu.” “Ya.” lidah Jullio menari indah di atas kulit lembut Hillary. “Aku tahu itu.” “Errghttt!” Erang Hillary. Bibir sialannya sulit sekali diajak bekerjasama di saat seperti ini. “Jullio, kumohon hentikan!” “Kenapa aku harus menghentikannya kalau kau juga menikmati permainan ini?” “Aku tidak menikmatinya.” Elak Hillary. “Satu-satunya yang menimati permainan ini adalah kau.” Jullio terkekeh, “Mengakulah, manis. Kita berdua menikmati kenakalan ini.” Jullio sepenuhnya sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dengan mengajari Hillary hal-hal berbau nakal yang seharusnya tidak ia lakukan. Namun, Jullio hanya ingin menjadi yang pertama bagi Hillary.Yang pertama dan satu-satunya. “Usiaku belum genap tujuh belas tahun dan aku sama sekali tidak paham dengan apa yang kaulakukan padaku.” “Maka dari itu,” Jullio menyelipkan salah satu tangannya ke dalam perut Hillary. “Aku akan mengajarimu.” “Maaf,” Hillary menarik tangan Jullio hingga pria itu gagal meraih buah dadanya. “Aku tidak butuh pelajaran semacam ini.” “Oh, baiklah. Kalau begitu lebih baik kita sudahi sampai di sini. Aku bisa dituduh memperkosa salah satu murid di sekolah ini jika kita tidak segera keluar dari tempat ini.” Jullio menarik bibirnya dari leher jenjang Hillary. Ia menatap lekat-lekat Hillary sekali lagi sebelum membantu gadis itu merapikan pakaiannya. “Jangan lakukan ini lagi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi denganku jika kau sampai menghamiliku.” “Aku tidak akan melakukannya. Kita bisa menundanya sampai kau lulus sekolah.” Jullio mengambil tas sekolah Hillary yang sempat ia letakkan di lantai. “Ngomong-ngomong, setelah mencerna ucapanmu, kupikir kau setuju melakukan hal-hal nakal denganku.” “Sejujurnya, tidak.” ujar Hillary lembut. “Aku hanya tidak tahu saja apa yang akan terjadi dengan kita jika ka uterus-menerus membawaku ke tempat seperti ini. Kau tahu, setan selalu datang di saat yang tepat. Setan datang bak pahlawan yang diinginkan kehadirannya.” “Ungkapan macam apa itu, huh?” tangan Jullio meraih pinggang Hillary. “Aku belum pernah mendengarnya.” Memutar bola mata, Hillary berkata, “Aku yang membuatnya. Anggap saja kata-kata bijak yang diucapkan seorang gadis yang hampir diperkosa oleh b******n bernama Jullio.” “Ah, iya.” Senyuman miring muncul di bibir Jullio. “Akan kuingat kalau kau memang sering menyebutku dengan sebutan bajingan.” “Harus!” Hillary tersenyum dalam hati. “Pergilah. Aku takut ada yang melihat kita.” Gumam Hillary setelah Jullio melepas ciuman mereka. “Bolehkan aku menjemputmu?” Jullio merapikan rambut Hillary yang berantakan karena ulahnya. “Tidak.”  tolak Hillary halus. Bagi Hillary, hubungannya dengan Jullio hanya sekedar hubungan kepuasan batin semata. Hillary tidak ingin Jullio menganggap dirinya mencintai Jullio. Karena bagaimana pun juga, perasaan Hillary masih terpaku pada Angkasa. “Kau malu?” Jemari Jullio membelai lembut pipi Hillary. “Tidak. Aku bawa mobil sendiri. Lagipula, aku ada janji dengan temanku. Kalau aku ada waktu,” Hillary menghela napas. Tidak percaya dengan bibirnya yang menghianati hatinya.”Aku akan menemuimu.” Jullio menyunggingkan senyum. “Janji?” Bibir Hillary melengkung melihat ekspresi Jullio yang seperti anak lima tahun yang meminta ayahnya membelikan mobil remote control. “Janji.” Jullio kembali menyatukan bibir mereka. Kali ini lebih lembut. Hati kecilnya berkata Hillary mulai menerima dirinya. Setelah puas dengan kegiatan menyenangkan itu, Jullio melepas Hillary. Gadis itu butuh pendidikan, dan Jullio tidak ingin merusak masa depan Hillary. “Pergilah. Aku akan menunggu kabar darimu.”Hillary mengangguk mantap. “Hati-hati di jalan.” Jullio keluar dari ruangan itu dengan tatapan waspada. Bagaimana pun juga, bertemu dengan murid sekolah itu saat sedang bersama Hillary bukanlah pertanda bagus. Setelah memastikan tidak ada yang melihatnya, Jullio meninggalkan ruangan itu. Di susul Hillary di belakangnya. Mereka berjala terpisah. Jullio kembali ke lorong tempat ia datang sedangkan Hillary melangkah menuju kelasnya. Suasana sekolah mulai ramai. Hillary melihat Elsa dan Freddy berjalan beriringan menuju kantin. Dan pandangannya, tanpa sengaja memenukan objek paling disukainya, Angkasa. Tatapan Hillary terhenti ketika Angkasa balik memandangnya. Pemuda itu menyungingkan senyum manis padanya, dan Hillary mau tak mau membalas senyuman itu. Jantungnya melonjak kegirangan. Sepertinya benar kata orang, jatuh cinta bisa membuat segalanya berubah menjadi lebih baik. Hillary mengabaikan debar jantungnya. Gadis itu melanjutkan langkah, menyusuri koridor demi koridor hingga kakinya mencapai ruang kelas. Kelas yang mulai ramai oleh hiruk pikuk kenakalan teman-teman satu kelasnya. Bel masuk akhirnya berdering keras. Seluruh siswa duduk tenang dan mulai memperhatikan pelajaran. Satu minggu lagi ujian semester. Itu berarti sebentar lagi Hillary tidak akan bisa menikmati wajah Angkasa di sekolahnya. Kenyataan itu menghantam Hillary. Angkasa adalah alasannya berada di sekolah ini. Jika tidak ada pemuda itu, bagaimana Hillary sanggup melanjutkan pendidikannya? Waktu berlalu begitu cepat. Hillary memasukkan peralatan sekolahnya setelah bel pulang berbunyi. Teman-temannya mulai berhamburan keluar kelas. Hanya dirinya lah yang masih setia duduk di kursinya. Hillary mengambil ponselnya, membaca satu per satu pesan yang dikirim oleh Jullio. Tanpa ia sadari, senyumnya mengembang melihat pesan dari Jullio. “Hill…” Hillary tersentak ketika sebuah suara mengetierupsi kegiatannya. “Angkasa? Sejak kapan kau di sini?” Angkasa terkekeh. “Ada apa dengan ponselmu. Kau terlihat asyik bermain dengan benda itu. Aku datang beberapa waktu yang lalu. Kau bahkan tidak melihat kedatanganku, bukan?” cecar Angkasa. Hillary meringis, “Maaf. Aku sama sekali tidak melihatmu. Oh, ya,” Hillary berdiri, mengambil ransel lalu memakainya. “Ada apa?” “Apa kau bawa mobil?” tanya Angkasa langsung. “Ya. Kenapa?” “Kebetulan hari ini aku tidak membawa mobil. Maukah kau mengantarku ke took buku? Ada beberapa buku yang harus aku beli.” Hillary mengangguk tanpa ragu. Mengantar Angkasa? Jangankan ke took buku, ke planet Mars saja Hillary pasti mau. “Kalau begitu, ayo! Tunggu apa lagi?!” Angkasa menyeret tangan Hillary. Mereka berlari menuju tempat parkir. Salah satu yang Hillary suka dari Angkasa adalah, pemuda itu selalu penuh dengan candaan-candaan konyol yang selalu berhasil membuatnya tersenyum. ** Hari sudah sore ketika Angkasa dan Hillary selesai membeli buku. Ternyata Angkasa tidak membeli buku seperti dugaan Hillary. Laki-laki itu justru membeli setumpuk komik dan tenda serta berBagai perlengkapan mendaki. Saat Hillary bertanya kapan Angkasa akan mulai melakukan perjalanan ekstrim mendaki gunung, Angkasa justru menjawab dia tidak tahu, mungkin secepatnya. “Kau lapar?” tanya Angkasa. Hillary menyerngitkan keningnya. “Lumayan.” “Mau makan apa?” “Apa saja,” sahut Hillary cepat. Angkasa menarik tangan Hillary. Mereka berjalan menujufood court dan memilih beberapa makanan kesukaan Hillary. Di sela kegiatan mengunyahnya, Hillary mengagumi Angkasa. Pemuda itu selain tampan, juga humoris. Seandainya saja ia memiliki satu kesempatan untuk memiliki Angkasa, Hillary tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. “Aku diterima di salah satu Universitas Negeri di sini.” Ucap Angkasa tiba-tiba. Hillary mengangguk. Dia tidak terkejut dengan kenyataan itu. “Semoga sukses,” Hillary menyunggingkan senyum manisnya. “Kalau aku kuliah nanti, kita mungkin tidak akan bisa pergi berdua seperti sekarang.” “Ya. kau benar.” Hillary mengambil minumannya dan menegak beberapa kali. Selama ini, Angkasa terlalu sibuk memperhatikan Elsa. Hillary yakin kalau pertemuannya dengan Angkasa bahkan hanya terhitung jari saja. Gadis itu juga sangat yakin kalau Angkasa mengajajaknya keluar karena kesepian. Benar-benar menyebalkan. “Satu tahun lagi kau juga akan kuliah, ‘kan?” “Ya. Tinggal satu tahun lagi. Aku tidak menyangka waktu berjalan secepat itu.” “Memang. Waktu berjalan sangat cepat. Hingga rasanya kita lupa kapan terkahir kali menjadi anak-anak dan bermain dengan air hujan.” Angkasa mengalihkan pandangannya pada hujan yang mulai turun di luar mall. Senyumnya mengembang membayangkan dirinya bermain dengan hujan. Angkasa melirik Hillary, gadis itu juga tengah memandang rintik-rintik air hujan yang turun semakin deras. “Mau hujan-hujanan?” tanya Angkasa tiba-tiba. “Apa?” Hillary mengangkat salah satu alisnya. “Hujan-hujanan,” ulang Angkasa. Pemuda itu berdiri lalu menarik tangan Hilary. Mereka berjalan, sedikit berlari menuju taman belakang mall. Tidak banyak pasang mata yang melihat mereka berdua, segelintir pasang mata menatap malas Angkasa yang mulai berdiri di bawah guyuran air hujan. “Kemarilah, ini sangat menyenagkan.” Ajak Angkasa pada Hillary. Hillary akhirnya menurut. Ia berjalan di bawah rintik-rintik air hujan. Wajahnya tersiram air hujan. Senyumnya mengembang melihat Angkasa tampak bahagia. Angkasa menggandeng tangannya dan mereka menari bersama. Hillary tidak akan pernah melupakan hari ini. Hari di mana ia dan Angkasa menghabiskan sore mereka dengan bermain dengan air hujan. Lima belas menit kemudian, Hillary dan Angkasa sudah basah kuyup. Mereka berlari menuju tempat parkir dan masuk ke mobil Hillary. Angkasa terkekeh melihat rambut Hillary tampak kusut. Jauh berbeda dari biasanya. “Apa yang kau tertawakan?” tanya Hillary dengan bibir sedikit cemberut. “Apa? Aku tidak tertawa.” Jawab Angkasa. “Kau basah kuyup,” “Ya. Dan semua ini salahmu.” “Ish,” Angkasa mengibaskan rambutnya hingga cipratan air menyenai wajah Hillary. “Kenapa jadi aku yang salah?” “Karena kau mengajakku hujan-hujanan.” Jawab Hillary singkat. “Okay, Okay. Aku yang salah. Aku punya jaket kering. Kau bisa memakainya.” Angkasa mengambil jaket yang semula ia letakkan di belakang jok. “Dan kau?” tanya Hillary. “Tenang. Aku tidak akan masuk angin hanya karena air hujan. Aku mengkhawatirkanmu.” Angkasa menyerahkan jaket itu lalu memberikannya pada Hillary. Pemuda itu lalu membuka pintu dan keluar dari mobil. “Lepaskan bajumu dan pakai jaketku.” Hillary ragu sejenak. Gadis itu, menerima jaket Angkasa. Haruskah kupakai ini? Namun, ia tidak bisa berlama-lama memikirkan pilihan mana yang lebih tepat. Angkasa menunggunya di luar. Dan ia harus segera memakai jaket itu. Setelah memantapkan hatinya, Hillary membuka baju dan mulai mengenakan jaket milik Angkasa. Aroma parfum maskulin memenuhi tubuh indahnya. Hillary takut Angkasa mendengar degup jangtungnya. Gadis itu menarik napas beberapa kali, setelah di rasa cukup, ia membuka pintu dan menyuruh Angkasa masuk. “Sudah?” tanya Angkasa. Anggukan kecil Hillary memunculkan senyum yan g teramat lebar dari Angkasa. “Kau cantik,” ucap Angkasa tanpa ragu. “Kau membual. Aku yakin tampangku sudah seperti tikus got sekarang.” “Aku? Membual?” Angkasa mendekatkan wajahnya ke wajah Hillary. Jarak di antara keduanya hanya beberapa centi saja. Netra Angkasa mengunci kedua bola mata Hillary. Dan bibirnya… bibir ranum angkasa turut mengunci bibir merah jambu di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD