"Jadi, apa jawabannya?"
Oh, ditagih mama, Erlang senyum. "Kan, baru jam tujuh, Ma. Malam masih panjang."
Iya, pukul sembilan belas nol-nol istilahnya. Haifa belum memberi jawaban, jadi Erlang belum bisa jawab juga.
Fine.
"Mama tunggu maksimal jam sepuluh malam ini. Kalau nggak, Galen taruhannya!"
As always.
Dasar mama.
Sekarang sudah tahu kelemahan Erlang, bahkan mama memegangnya sebagai kartu AS supaya Erlang tunduk patuh sesuai keinginan gerangan. Masalahnya yang satu ini adalah soal menikah. Padahal, nih, ya ... papa juga santai, tuh. Memang, sih, pemegang takhta tertinggi di keluarga Erlang ini adalah Mama Wendi.
Di situ, papa berdeham. Erlang ikut gabung duduk di ruang makan. Sementara, pintu kamar Galen lalu terbuka dan muncullah Haifa bersama anak kecil ganteng kesayangan Erlang.
Galen lari-lari kecil menuju daddy-nya.
"Awas jatoh, Galen," tukas Erlang.
Aura kebapakannya memang memancar.
Haifa memperhatikan. Mas Erlang menangkap Galen untuk kemudian didudukkan di kursi makan sebelahnya, lalu Om Chandra menyapa Galen dengan ramah khas kakek kepada cucunya, sedangkan Tante Wendi sedang sibuk menyajikan hidangan untuk makan malam ini.
Tentu, Haifa berjalan ke tempat Tante Wendi. Menjulurkan bantuan. "Biar Ifa aja yang bawa ini, Tante." Mangkuk sayur di meja dapur.
"Wah ... makasih, Fa. Hati-hati panas, ya." Dan Tante Wendi membawa piring beserta mangkuk.
Haifa respons dengan senyuman.
Benar, ini waktunya makan malam.
Hari keberapa Haifa di sini, ya? Keduakah? Atau tiga?
Dia duduk tepat di sisi Galen. Jadi, begini formasinya; meja makan itu lonjong panjang, terdiri dari enam kursi. Mas Erlang dan Om Chandra duduk berhadapan, masing-masing menempati bagian pucuk meja lonjong itu. Di sisi Om Chandra, kemudian duduk Tante Wendi--tidak horizontal bersisian karena lebih kepada membentuk siku. Kebayang?
Mas Erlang dengan Galen pun begitu, lalu di sisi Galen barulah bersisian secara horizontal dengan Haifa. Astaga, posisi duduk saja serepot ini untuk menjelaskannya.
Oke, skip!
Erlang menatap Haifa. Sedang sibuk menyiapkan hidangan di piring Galen. Nantinya anak itu makan sendiri, kok. Hanya memang masih diambilkan mau makan dengan lauk yang mana.
Eh, Mama Wendi berdeham-deham. Kode. Sukses membuat semua mata menatap padanya, termasuk Galen. Bocah itu menyodorkan air minumnya dengan tangan kecil yang menjulur.
Sontak Mama Wendi terkekeh. "Bukan, Sayang." Teruntuk Galen. "Itu Onty Ifa, tolong yang di sebelah Galen dilayani juga, dari tadi matanya ngeliatin Galen dilayani kayak yang pengin, tapi nggak berani bilang."
Erlang paham ke mana arahnya. Senyum di sana. "Boleh, deh." Menyodorkan piringnya kepada Haifa.
Galen tidak mengerti, tetapi dia tahu neneknya tidak membutuhkan air minum sehingga Galen letakkan lagi di meja. Sedangkan, Haifa menggigit bibir bagian dalamnya, menahan gejolak ... entah apa di d**a. Pun, agak sungkan sesungguhnya. But, dia terima juluran piring itu. Tak enak juga mau ditolak. Kan, di sini ceritanya dia sedang bekerja.
Sudahlah, lakukan saja.
"Jangan banyak-banyak nasinya, Fa."
"Segini?"
"Iya. Lauknya aja yang dibanyakin."
"Sayurnya dipisah atau--"
"Pisah aja."
Melihat itu, Mama Wendi mesem-mesem sambil menendang kecil kaki suaminya. Kode agar Chandra melirik Haifa dan Erlang, seakan dari kode ini ada kalimat: Cocok, ya, Pa?
Sekian, makan malam mereka.
"Nambah, Fa. Jangan malu-malu di sini, sih," tutur Om Chandra.
Oh, iya, Om. Makasih ... haha.
Kira-kira begitu respons canggung Haifa yang dia ekspresikan lewat wajah cantiknya, tanpa diucap. Ingin Erlang potret, tetapi tidak bawa kamera.
"Haifa lagi mangap nyuap makanan aja cantik, ya, Lang?"
Eh?
Yang Erlang jawab spontan, "Dia kayak lukisan, patung, atau boneka, ya? Enak aja dipandang." Begitu blak-blakan.
Hei!
Apa boleh bahas hal-hal seperti itu di depan anak kecil? Kok, Haifa lebih kepada tidak nyaman sebab ada Galen, ya, daripada sorot mata penuh perhatian dari Tante Wendi di sana? Pun, Om Chandra ikut serta memandangnya.
"Apa nggak ada minat buat jadi model, Fa? Om ngeliat aura bintang di diri kamu. Eh, ini serius, lho, ya, bukan gombal-gembel. Dan bukan karena kamu cantik aja, tapi dari semua yang kamu lakuin, gerak-geriknya ... kamu mahal banget."
Di-notice terus. Bahkan sepertinya, di meja makan itu seketika Haifa jadi pusat perhatian. Ah, malu!
Namun, apa tadi katanya?
Aura bintang?
Haifa senyum. Bingung harus bagaimana merespons. Selain dengan semu merah jambu samar-samar di pipinya. Mungkin dengan sedikit timpalan, "Mm ... belum ada, Om."
Atau memang tidak ada?
Yang Erlang perhatikan, Haifa benar-benar memiliki apa hal yang tadi papa sebutkan. Jeleknya Haifa, tetap tampak memesona. Semua yang ada pada Haifa, tiap gerakannya, bahkan lirikan matanya, itu terlihat sangat 'mahal'. Kasarnya, Haifa punya aura menjual dan itu langka sejauh Erlang terjun di dunia permodelan. Sosok Haifa seperti tak akan bosan untuk dilihat walau nanti tua.
Yeah ....
Tinggal dipoles sedikit. Diasah. Kalau-kalau Haifa bersedia. Sepertinya, jikapun dia diikutsertakan pada parade Miss Indonesia, Haifa bahkan melebihi kebolehan wanita kecintaan Erlang dulu; Geanica Rahayu Samarawijaya.
Haifa bilang, dia tidak kenal dengan keluarga itu. Samarawijaya. Haifa hanya takjub dan penasaran dengan apa yang tidak sengaja dia lihat, dia dengar, sewaktu Mama Wendi menonton TV.
***
"Jadi, apa jawabannya?"
Nah, sekarang Erlang yang nagih.
Pukul sembilan malam. Area rumah sudah sepi sebab biasanya mama dan papa Erlang sudah masuk kamar. Soal jawaban Erlang kepada mama nanti, dia bisa kirim via chat. Sudah mama perintahkan dengan deadline pukul 22.00.
Kalau Galen, dia sudah terlelap. Haifa bacakan buku dan sebetulnya tidak semua buku bacaan sebelum tidur Galen itu pure dongeng ala disney. Malam ini bacaannya lebih kepada kisah-kisah inspiratif religi, seperti tentang kisah nabi dan rasul, sahabat-sahabatnya, hingga wanita-wanita di zaman itu. Kemuliaannya. Meski kadang ada buku dongeng hiburan juga, di beberapa waktu selang-seling bacanya. Berdasarkan arahan dari Mas Erlang. Haifa ber-oh ria di dalam hati waktu menyimaknya.
Oke, sekarang bukan itu poinnya.
Mas Erlang membawa Haifa ke area belakang rumah. Di gazebo dekat kolam renang. Duduk bersisian berdua, dengan menatap langit gelap ibu kota, bercahayakan lampu taman, lampu-lampu kecil, dan lampu lainnya.
Kolam itu jadi tampak bercahaya.
Eh, kok, malah jadi ingin berenang, ya? Sudah lama Haifa tidak berenang. By the way, tadi Mas Erlang bahas apa?
"Jawabannya, Fa. Mau?"
Oh, itu ....
"Kalau mau, apa aku bisa mundur di kemudian waktu?"
Mereka bersitatap, saling menoleh.
"Alasan mundurnya kenapa?"
"Misalnya karena satu dan lain hal."
"Fa ...." Tampak sangat serius. Haifa rasa, ini pertama kali dia melihat raut seorang Airlangga seserius ucapannya. Di mana Mas Erlang berkata, "Saya itu mau ngajak kamu nikah, berumah tangga, jadi ibunya Galen dan mungkin calon anak-anak saya kelak. Jadi, saya butuh yang pasti. Untuk seterusnya. Soalnya bukan cuma buat saya, buat mereka yang saya sebut anak juga."
Seketika Haifa menelan kelat saliva. Deg-degan di d**a.
"Dan daripada kamu ada niatan mundur nanti, lebih baik sekarang aja bilang nggak mau."
Mas Erlang senyum.
"Saya tau kamu cuma ragu. Kita, kan, kenal juga baru."
Nah, iya ....
Namun, Haifa masih bisu.
"Tapi kalau mau coba buat yakin, saya nggak akan main-main untuk keputusan yang melibatkan Galen. Saya bisa berusaha buat kita jadi saling nyaman, saling suka, mungkin ... sampai saling menginginkan?"
Ini kalau para sepupu Erlang dengar, terutama Abian yang dulu pernah dekat dengannya di dunia kerja sebagai dosen dan Erlang adalah buaya darat, pasti akan meledek dengan istilah 'hoek, cuih!'
Abian trust issue pada sepupunya bernama Airlangga untuk bisa jadi pria serius macam kini Erlang di depan Haifa.
Ehm.
Tapi, sungguh! Untuk yang ini Erlang serius 'SE-RI-US'.
Apakah bisa dipercaya? Dari sosok yang tidak pernah menunjukkan kesungguhannya terhadap wanita. Dulu pun saat sekalinya iya terlintas buat serius, eh, malah gagal sebelum disuara. So, belum ada yang jadi saksi seorang Airlangga Cakra Gerhana bisa serius sama perempuan.
Lantas, detik ini ....
"Masih ada waktu sampai jam berapa?" Haifa justru berkata demikian.
"Jam sepuluh." Erlang melihat jam di ponselnya, masih pukul sembilan lebih dua puluh menit.
Oh, tidak.
Sebentar lagi.
"Kalau gitu, tolong ceritain secara singkat dan jujur pengalaman asmara Mas Erlang, khususnya yang sama mama Galen. Aku mau denger. Boleh, kan?"
Erlang mengusap tengkuk, dia juga tertawa. Ya ampun.
"Kenapa?" Haifa sampai mengernyit.
Oke, oke.
"Boleh."
"Singkat dan jujur, ya, Mas. Lengkapnya aku nantikan setelah lewat jam sepuluh."
Makin tertawa.
Kok, gemas, ya? Haifa.
"Kalau begitu ... tolong jaga tentang ini, khususnya soal Galen. Pertama, bisa dibilang Galen bukan anak biologis saya."
Dan di situ, mata Haifa membola, bahkan membekap mulut dengan dramatis, menatap Airlangga yang meringis.
"Jadi, soal mamanya Galen, memang ada kaitannya sama asmara saya, tapi cinta saya ke dia cuma bertepuk sebelah tangan, Haifa. Singkatnya, she is pregnant dan saya yang minta supaya anak itu dilahirkan. Dia hamil sama cowok yang nggak bertanggung jawab, tapi cowok itulah yang dia suka. Alhasil, Galen nggak diinginkan ibunya. Jaga rahasia ini, lho!"
Haifa mengangguk cepat.
Kok, bisa?
Siapalah gerangan wanita itu?
Kayaknya lebih lucknut dari mama Haifa. Dan Haifa berpikir begitu.
"Dulu saya pernah mau nyeriusin dia, bahkan terlintas buat mengambil tanggung jawab cowoknya. Tapi, ya, gimana? Belum juga diomong, dia marah memperdebatkan soal bayinya, marah karena dia harus melahirkan anak itu, tapi toh udah dia lahirkan."
Mas Erlang senyum.
"Tapi, kok, marahnya sama Mas? Yang bikin dia hamil, kan, cowoknya."
"Karena saya yang minta supaya dia nggak gugurin kandungannya, supaya dia mau ngelahirin anaknya."
"Terus?" Agaknya terasa janggal di benak Haifa. "Masih berhubungan sama perempuan itu? Masih cinta, nggak? Dan berapa persen kemungkinan kalian bisa bersatu di masa depan kalau ada kesempatan?"
Buset.
Erlang sampai tertawa, lagi dan lagi.
Eh, ini sudah jam berapa?
"Jawab dulu," tekan Haifa. "Yang jujur, habis ini aku kasih jawaban aku."
Erlang katakan, "Berhubungannya sebatas via chat atau telepon soal Galen, sekarang udah jarang. Dulu saya masih gencar karena berharap dia mau nerima anaknya, meski nggak ada celah buat saya yakin dia mau nerima saya. Dan sekarang dia udah mau nikah, kok. Saya juga udah nggak ada feeling special lagi ke dia, nggak cinta. Jadi, hati saya lagi kosong, nih. Kamu isi, ya?"
"Mas, serius."
"Ini serius, Fa. Jangan khawatir, bukan tipe yang susah move on." Sambil mengerling jenaka.
Ah, bagaimana bisa dipercaya?
"Berarti kemungkinan buat bisa bersatu kalau ada kesempatan di masa depan itu nol persen, Fa. Dia memang ibunya Galen, tapi saya pun punya pikiran, saya nggak mau kelak anak-anak saya lahir dari rahim seorang ibu yang pernah menolak anaknya."
Mereka bertatapan.
Lama ....
Haifa menyelami kesungguhan dari seorang Airlangga.
"Jadi, apa jawabannya?" bisik Erlang, entah kenapa malah jadi membisik demikian. "Yes or ... never?"
Pukul sembilan lebih empat puluh delapan menit, malam itu. Haifa tergerak maju, kepalanya, untuk lalu dia jatuhkan bibir di atas bibir Airlangga. Hanya menempel saja.
Tatapan Erlang seketika turun, terlihat dari kelopak matanya, menatap bibir Haifa yang lalu bergerak, "Yes ... I said yes."
Fix, langsung Erlang tekan tengkuknya dan dia lumat sedetik. Cuma sedetik. Sebelum kemudian dia meraih ponsel dan gegas menuju ruang chatnya dengan Mama Wendi. Erlang kirimkan: [Haifa.]
Sudah, itu saja.
Menuju detik-detik terakhir jam sepuluh malam, Erlang meraih Haifa untuk kemudian dia dudukkan di atas pangkuannya, di gazebo dekat kolam itu, Haifa sampai memekik, dan lalu di posisi itu ... Erlang sambar bibirnya.
Melanjutkan yang Haifa mulai tadi.
Kebayang?
Atau perlu diperinci?