7. Bayinya Erlang

1656 Words
"Ya udahlah, Pa. Toh, anak itu di sini juga nggak berguna. Tiap ada pesta keluarga, kalau nggak bikin malu, ya, bikin onar. Biarin aja dia tinggal di sana, biar lebih deket dan mengenal calonnya juga, kan?" Haifa .... Dan papanya cuma merespons kalimat sang istri dengan dehaman, kemudian berlalu. Iya, seperti itu. Saat mereka telah kedatangan tamu dari pihak orang tua calon perjodohan Haifa, mulanya mau menyambut dengan kabar buruk bahwa putri mereka tidak bisa ditemui pada acara pertemuan ini; karena Haifa menghilang, lolos dari pantauan saat menjalani masa akhir hukuman. Namun, siapa sangka? Bu Wendi dan Pak Chandra mengawali dengan kabar tentang Haifa, bahkan soal kedekatannya dengan Airlangga. Hanya saja, jenis kedekatan yang tidak bertajuk romansa, justru Haifa diperkenalkan sebagai pengasuh dari putra mereka. Nyaris murka karena merasa terhina, tetapi Bu Wendi menjelaskan situasinya dengan saksama. Panjang-lebar. Hingga dapat diterima. Fine. Terserah saja, toh ini Haifa. Putri gagalnya. Yang tidak bisa membuat harum nama keluarga, justru di beberapa waktu terakhir pernah membuat onar, nyaris tersorot media bagaimana sosok dari putri bungsunya, padahal selama ini, selama anak-anaknya belum menunjukkan bakat luar biasa, tak akan tercantum di situs mana pun. Ibarat kata, yang masuk Wikipedia itu cuma nama-nama anak yang sudah terbukti bertalenta, tidak hanya good looking. Yakni demikian, tidak ada keterangan anak keempat, yang ditulis di berbagai artikel keluarga mereka hanyalah tiga, dengan keterangan belum pasti sebab dirahasiakan. Tentu, nama-nama itu adalah Haidar, Derilion, dan Geanica. Sekarang headline dari berbagai situs berita sedang ramai oleh keharuman nama Gea yang akan menikah. Of course! Calonnya adalah pebisnis terkemuka. Banyak media massa yang memviralkan hal tersebut, berisi ungkapan takjub, cocoklogi, sampai ramal-ramalan akan hidup langgeng bahagia. Sebagai ibu, senang rasanya membaca berita itu, senang juga membaca komentar baik dari netizen, pun senang karena di keluarga dianggap sukses membesarkan anak, paling penting di mata suami, mama Haifa ini jadi bernilai bintang lima. Yeah .... Makanya Geanica disebut sebagai anak emas, sedangkan Haifa selalu produk gagal. Haifa cuma bayangan dari pantulan sinar kakaknya. Dan di sini, di kediaman Airlangga, Haifa akan menjalani rutinitas baru dan benar-benar sangat baru baginya. Rutinitas yang kalau orang tuanya tahu, pasti mereka akan semakin memandangnya rendah, lalu mereka akan merasa terhina, dan bisa-bisa Haifa di-mute dari peradaban Samarawijaya. Ya, malam ini. Sesudah dia bacakan dongeng untuk putra Mas Erlang, bocah empat tahunan itu telah terlelap, Haifa tutup buku, kemudian Mas Erlang beranjak dan memintanya ikut serta. Ke mana? Ruang kerja gerangan. Tentu, hanya berdua dan pintu ditutup. Haifa duduk di sofa, Mas Erlang juga, dengan pena dan buku yang dia berikan, Haifa menerimanya. "Catat, ya. Hal-hal yang harus kamu tahu soal Galen," kata Mas Erlang. "Dia alergi kacang, diolah dalam bentuk makanan apa pun kalau ada kacangnya, Galen bisa gatal-gatal." Oh ... oke, itu satu. Rupanya peran Haifa sebagai pengasuh Galen akan benar-benar terjadi atau memang sudah terjadi, tinggal dilengkapi dengan panduan teori. By the way, soal Galen, Haifa perhatikan ... sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan Mas Erlang, tetapi mungkin mirip plek-ketiplek sama ibunya. Ibarat kata, Mas Erlang produk Asia murni, sedangkan putranya agak kebarat-baratan. "Galen udah PAUD, jam setengah delapan berangkat dan pastikan dia harus sarapan dulu. Dia bisa makan sendiri, tapi cukup susah buat disuruh makan, jadi kadang kalau mentok banget ... suapin aja." Oke, dua. Haifa mencatat. "Dia biasa mandi sendiri, pakai baju juga udah dibiasakan sendiri, kamu tinggal siapin bajunya aja di kasur pas dia lagi mandi." And then? "Bonus, kamu boleh lakuin itu buat saya juga." Sambil senyum sebelah bibir. Hell ... hampir Haifa tulis. "Mas, kan, udah punya calon. Bisa kali telepon mbaknya." Dengan senyum sebelah bibir yang sama. Mas Erlang terkekeh karenanya. Ah, iya ... calon. Harusnya malam ini ketemuan, bahkan meet dengan keluarga gerangan, tetapi entah kenapa Mama Wendi bilang jadwal pertemuannya diundur, terus mama keluar bersama papa sampai sekarang belum pulang. "Lanjut?" Haifa menginterupsi. Pasti. "Pulang sekolah jam sepuluh, tapi kamu nanti tungguin aja di sana, ya? Ada sopir, kalian pergi-perginya sama sopir." "Aku bisa nyetir, Mas," seloroh Haifa. Alis Erlang terangkat satu. "Mobil?" Hendak bilang iya, tetapi kemudian Haifa tersadar satu hal. Dia auto menggeleng dan bilang, "Sepeda ...." Ingat, dia gadis desa yang nggak punya mobil ceritanya! Hampir saja. Mas Erlang menyeringai. "Bercanda, ya, kamu?" Haifa mesem-mesem. "Oh, ya, Galen itu anak yang patuh, tapi kalau belum dekat, dia pembangkang garis keras. Jadi kamu banyakin sabar dan usahanya, ya? Saya bantu buat bisa dapetin hatinya." "Dapetin hati anak bonus dapet hati daddy-nya juga, nggak, Mas?" Nah, tuh .... Erlang mangap sampai mingkem lagi. Haifa terkekeh. "Maaf, maaf. Kebawa suasana kita yang di desa, waktu masih belum tau soal jodoh-perjodohan." "Gawat, nih, kamu." "Eh, kenapa?" "Kalau bukan saya, pasti udah baper itu laki orang. Untung saya yang digoda, kebal." Erlang menepuk d**a. Haifa kontan meringis. Kembali meminta maaf. Iya juga, ya? Next time dia mau jaga omongan plus jarak juga, deh, sama Mas Erlang. Takut banget keberadaannya merusak. Dan lagi, sebaiknya memang tidak berlama-lama di sini. Haifa harus mencari tempat tinggal sementaranya nanti, juga pekerjaan. Sial. Berhasil kabur dari perjodohan, tetapi masa gagal bertahan untuk tidak pulang? Untuk tidak diketemukan. Lagi pula, kenapa harus dengan duda anak satu, sih? Haifa tahu orang tuanya jahat dan tega, tetapi tidak menyangka akan sejahat dan setega itu padanya. "Haifa?" Ah, dia terkesiap. Tangan Mas Erlang sampai terjulur sambil menjentikkan jari di depan wajahnya "I-iya ... tadi bilang apa, Mas?" "Ngantuk, ya?" Erlang lalu melirik jam dinding. "Udah mau jam sepuluh, sih. Kita lanjut besok." Malam itu. *** Gila, gila, gilaaa .... Ini jam berapa? Astaga. Pukul tujuh pagi! Hei! Saking nyamannya kasur di sini, terpaan AC-nya, tanpa bunyi alarm, dengan kondisi menstruasi, jadi sedang libur subuhan. Tapi, kan .... "Wah ... Tuan Putri akhirnya bangun juga, ya?" Itu sindiran. Mas Erlang yang bilang, dengan keberadaannya tertangkap mata sedang sarapan bersama .... "Sini, Fa, duduk. Sarapan bareng!" Tante Wendi memanggilnya ramah, dengan senyum ramah pula. Pun, Om Chandra senyum di sana. Hanya saja, Galen menatap agak kurang senang padanya. "Daddy ... memangnya boleh Nanny Onty melakukan kesalahan di hali peltama kelja?" Satu hal yang Erlang belum bahas kepada Haifa, Galen agak lain--sedikit--dari pemikiran dan ucapan anak seusianya. Iya, itu dia. Yang Galen ucap, Haifa tersentil. Dia lantas mendekat, meminta maaf, tanpa bisa menyebut alasannya bangun kesiangan. "Nggak pa-pa, kok. Gak pa-pa." Tante Wendi yang bicara. "Justru salah di hari pertama kerja itu wajar, Galen. Nggak pa-pa." Galen sedang melahap makanannya. Haifa sampai sungkan mau ikut duduk. Sementara, Mas Erlang geleng-geleng kepala dengan dibubuhi kerlingan mata jailnya. "Sini, Fa! Sarapan. Baru mulai, kok." Lagi, Tante Wendi memanggilnya. "Ah, iya, Tante. Makasih ... tapi Haifa pamit mau siap-siap aja buat antar Galen." Kan, harus sekolah. Haifa punya waktu kurang dari tiga puluh menit dimulai dari sekarang. Perihal sarapan, bisalah nanti. Haifa pun berlalu ke kamarnya lagi. Parah, sih, ini. Dia pekerja macam apa? Sepeninggal Haifa, Airlangga bicara teruntuk putranya. "Galen, bukannya udah sepakat mau berteman sama nanny?" Tentang itu, Erlang pernah bahas ketika sepulang dari desa, Erlang berdiam cukup lama di dalam kamar putranya, waktu di luar kamar Haifa dipindai oleh sorot mata Mama Wendi. Ingat? Sedudahnya, Erlang keluar kamar dan dia mendapati Papa Chandra memanggilnya, mau bicara serius dengan Haifa juga, eh, malah nggak jadi dipangkas kemunculan Mama Wendi. Iya, negosiasi berujung sepakat bersama Galen tentang sosok pengasuh untuknya. Galen kurang setuju, tetapi dibujuk akhirnya mau menerima. Di setelah membahas soal mommy baru untuknya, juga tentang adik .... "Kayaknya sulit, Dad." Bibir Galen mengerucut. "Tapi iya, Galen coba ...." "Pinter," puji Airlangga. "Berarti nggak boleh mengkritik kayak tadi lagi, lho?" "Ya ampun, Lang ... namanya juga anak kecil," seloroh papa. "Nah, Galen, habiskan sarapannya, Nak. Hari ini ada pelajaran olahraga, kan?" Galen mengangguk semangat, itu pelajaran kesukaannya di PAUD. Tentu, karena olahraga sambil bermain amat sangat seru. Terlebih, Galen memang pencinta olahraga. Sering diajak joging sama Erlang, terus kalau Erlang push up, Galen pasti menungganginya sambil cekikikan girang. Bicara-bicara, ini sudah jam berapa? "Yuk, berangkat!" Haifa pun sudah siap. Dia hendak membawakan tas Galen, tetapi dilarang oleh Erlang yang bilang, "Kamu saya jadikan pengasuh bukan buat memanjakan dia." Ah, iya .... Haifa salah lagi. Galen kecil pun bergegas masuk mobil sambil tetap menggendong tas ultramennya. "Hari ini biar saya yang antar. Ayo!" Oh, baik. Bukan sama sopir, kan, maksudnya? Sedangkan, Haifa tetap ikut. Jadi, dia pun menaiki mobil tersebut. Yang lagi-lagi kena teguran. "Duduk di depan, Fa." Siap, salah! Sementara Galen tetap di belakang, tampak tidak keberatan, dia juga bersikap tak acuh dengan lebih memilih memainkan buku sibuk yang Galen bawa di dalam tasnya. Rupanya, dia suka bawa mainan sendiri ke sekolah. Duduklah Haifa di sisi Airlangga. Ini perasaannya saja atau bukan ... kok, berasa cosplay jadi keluarga bahagia, ya? Ada anak, ayah, lalu ibunya. Ehm. "Bawa itu nanti," ucap Mas Erlang. Haifa menoleh. Masnya menunjuk dengan kedikkan dagu ke arah paper bag. Seingatnya, paper bag itu memang tadi dibawa Mas Erlang ke mobil. "Buat kamu, dimakan. Tadi, kan, belum sempat sarapan." Well .... Memang boleh calon jodohnya orang sebaik ini sama dia? Nggak bahayakah? Haifa auto merasa salah, lagi. Sejak awal, soal dia dan Mas Erlang itu salah. Bagaimana, ya? "Makasih ...." Mendadak jadi canggung. Dua-duanya. Hingga akhirnya, mereka sampai di sekolah PAUD Galen. Bocah itu lalu dibantu turun oleh Erlang, sebelum akhirnya alih kepada Haifa. Galen dadah-dadah kepada daddy-nya, Haifa kikuk, sedang Mas Erlang dadah-dadah juga; sambil senyum tampan. Ah, Haifa dapat merasakan sorot mata para mama muda di sekitar, pesona Mas Erlang terlampau kuat. Iya, sih .... Namun demikian, dia tidak bisa merasakan sorot mata satu di antara mereka yang memperhatikan dari jauh, di balik kacamata hitamnya, dengan tubuh menegang. Dulu .... Erlang pernah bilang kepada seseorang, "Jangan digugurin." "Ayo bikin alibi dan lahirin anak itu, nggak perlu kamu yang rawat kalau nggak mau, kasih ke aku." "Aku yang rawat, Nic. Biar aku yang jadi papanya. Kamu boleh nggak menginginkan dia, tapi aku mau. Jadi, please ... lahirin, ya? Karena keluarga aku bisa menerimanya, sekali pun nggak jelas asal-usulnya. Asal aku bilang ... ini bayinya Erlang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD