"Jangan tampil urakan kalau bertemu istri saya. Anda mengerti, adik ipar?"
***
"Buat malu keluarga!"
Ayana menghela napas, menyingkap rambutnya ke atas, lalu menyeringai. Dia menjilat sudut bibirnya yang terasa panas, lalu mengusap pipi dengan ujung lengan kemejanya seolah baru terkena kotoran.
Sebelum Ayana membuka suara dan mengakibatkan perang kata tiada henti, Risa mendekat untuk menenangkan ibunya. "Ma, jangan kayak gini. Malu dilihat orang."
Anta segera membawa Ayana menjauh dari orang-orang kelas atas itu, kemudian mendudukkannya di salah satu kursi tunggu. "Sakit banget?" tanyanya.
Ayana menggeleng, tersenyum kecil, lalu memegang tangan Anta yang masih mengelus pipinya. "Aku nggak apa-apa."
Anta mengembuskan napas, lalu memeluk Ayana.
Bertha geram melihat tingkah Ayana yang tanpa rasa bersalah. Bahkan gadis itu sekarang berani berpelukan di depannya tanpa tahu malu. Kalau bukan karena perkataan putri bungsunya, dia sudah menghadiahi banyak pukulan untuk putri keduanya sekarang juga.
Bertha menarik napas panjang, menenangkan amarahnya. Di depan besan, dia harus menjaga tata krama. Jangan sampai karena ulah putri keduanya, kedua keluarga jadi bersitegang. Persahabatan dan kerja sama dua perusahaan yang telah terjalin sejak lama tidak boleh rusak karena anak tidak berguna seperti Ayana. Oh, entah bagaimana dia harus mendidik putrinya yang satu itu. Dia heran, darah siapa yang mengalir di tubuh Ayana, sampai sikapnya paling berbeda di antara dua putrinya yang lain? Apa mungkin saat di rumah sakit dulu bayinya ditukar? Tidak, tidak, dia sudah pernah tes DNA saking tidak percayanya dengan sikap pemberontak dalam diri Ayana. Hasil tes mengatakan anak itu benar-benar putri kandungnya.
"Maaf, Besan, putri kedua saya memang agak unik," kata Bertha di depan kedua besannya.
Diene hanya mendengkus. Dia mengeluarkan kipas dan mengipasi dirinya seolah lelah dengan drama keluarga pihak lain.
Risa mendekati Ayana, dan Anta yang baru saja kembali dengan sebuah es batu. Dia memerhatikan kekasih kakaknya tersebut melepas kemeja luar dan hanya menyisakan kaus hitam lengan pendek di badan. Pria itu kemudian melapisi es batu menggunakan kemejanya, dan dengan penuh perhatian mengompres pipi Ayana. Aksinya membuat Risa tersenyum kecil.
Risa berdeham pelan, duduk di sebelah Ayana. "Kak Aya nggak mau lihat Kak Rasti?"
Ayana menggeleng. "Nanti aja kalau kumpulan nenek lampir di sana udah pada pulang."
Risa tertawa kecil mendengar u*****n Ayana, sementara Anta hanya tersenyum kecil.
"Oh, ya, Ris, Bagaimana kakak bisa kecelakaan?"
"Bayu, anak Kak Rasti, demam tinggi. Kak Rasti buru-buru membawanya ke rumah sakit naik mobil. Nyetir sendiri karena sopir udah pulang ke rumahnya. Pas di jalan, dari arah berlawanan, truk ugal-ugalan, dan keduanya tabrakan. Gitu kata bapak-bapak yang bawa kak Rasti ke rumah sakit."
Ayana menutup mulutnya yang sempat terbuka sesaat karena syok. "Bagaimana keadaan Bayu?"
"Dia baik-baik aja. Kak Rasti memeluknya erat saat kecelakaan, jadi keadaannya nggak membahayakan. Tapi Kak Rasti..."
Ayana memeluk Risa. "Kakak kita orang yang kuat. Dari dulu dia begitu. Jangan khawatir."
Anta tahu Ayana sangat menyayangi keluarganya terlepas dari seberapa ketat aturan keturunan bangsawan yang mereka anut. Pria itu kemudian mengalihkan pandangan ke sosok pria dan wanita yang baru datang dengan tergesa.
"Isa... Istrimu, Sa..." Rengek Diene ketika melihat sang putra datang bersama sekretarisnya.
Rivaldo Isa Prayoga, pria penuh pesona dengan rahang tegas, dan tubuh tinggi atletis. Wajah tampannya selalu terlihat tanpa ekspresi meski saat ini netra hitamnya menyiratkan kekhawatiran. Bahkan tanpa senyum, dia masih terlihat sangat tampan. Fitur terbaik dari Isa, menurut sudut pandang Ayana adalah bibir tipisnya. Dia bahkan sempat berfantasi ingin mengecupnya.
Ayana memukul pelan kepalanya karena tingkat nafsunya yang tinggi.
Diene jelas mengatakan kondisi istrinya yang memprihatinkan, tapi pertanyaan Isa justru, "Bagaimana Bayu?"
Setelah penjelasan singkat dari ibunya, Isa langsung masuk ke ruang rawat Bayu, yang berseberangan dengan kamar rawat Rasti.
Ayana mendengkus. Bukan hal baru kalau abang iparnya itu bersikap dingin terhadap istrinya. Dia malah semakin yakin untuk tidak menikahi orang-orang ningrat yang menurutnya hanya mementingkan bisnis keluarga. Sudah dia duga, Anta pilihan terbaik. Setidaknya, jika dia mengalami nasib seperti kakaknya, Anta akan menggenggam tangannya sambil berdoa untuk keselamatannya. Bukan seperti Isa yang malah tidak peduli.
"Kenapa dia baru muncul?" tanya Ayana ke Risa.
"Bang Isa lagi di luar kota. Dia bergegas ke sini pas dengar Bayu sakit."
"Di luar kota? Gila!"
"Bang Isa, kan, mau buka cabang usaha batiknya, jadi ya gitu."
Ayana mendengkus. "Memangnya harus dia yang turun tangan? Percuma dong gelar CEO kalau mash dia yang urus sana-sini. Dia bahkan ninggalin anak dan istrinya di rumah demi kerjaan!" Gadis itu kemudian menatap Anta di sebelah. "Apa kamu bakal kayak gitu kalau nanti kita udah nikah dan punya anak?"
Anta tertawa pelan, mengusap-usap pucuk kepala Ayana. "Nggak akan pernah. Keluarga selalu yang utama."
Risa diam saja kalau Ayana sudah mengomel begitu.
"Terus siapa cewek jelek di sebelahnya itu?" tanya Ayana, setelah puas dengan jawaban Anta.
***