“Kami tahu, kamu di dalam. Cepat ke mari atau kuhancurkan rumah ini!” Ancaman yang sungguh membuat ketakutan tersendiri bagi yang mendengar, terutama yang dituju secara khusus.
Mereka bertujuh, terlihat kekar dengan tampang-tampang tidak bersahabat. Namun, di kejauhan sosok tampan nan maskulin tengah mengamati adegan tak biasa tersebut sembari mengamati catatan kecil yang tertulis tangan, lalu mencocokkan dengan nomor yang tertera di pintu pagar yang tampak digoyang paksa oleh salah satu pria berpakaian hitam super ketat.
“Oh, Beatarisa. Dia sudah hampir satu minggu tak menampakkan diri di sekolah ini, anak nakal itu bukannya melunasi tunggakan malah menambah poin untuk dikeluarkan.” Begitulah penjelasan pihak sekolah ketika dirinya menyangka akan bisa melihat sosok pemberani yang telah menuduh penulis terbaik di platform yang ia kelola, ternyata hanya bocah SMA dengan masalah kenakalan yang cukup serius.
“Bee, dia anak IPS lima. Kalian lihat dia enggak?” Temannya pun tampak sangat mengenali sepak terjang sang gadis penuh masalah itu, “biasanya kalau enggak masuk, dia akan berada di Bukit Tabi. Om tahu, ‘kan, tempat apa itu?”
Deon Akalanka, owner Online Story yang dikenal dengan singkatan OS hanya bisa menghela napas berat. Apa yang anak-anak itu katakan tentang sosok yang sedang dicari? Menyebutkan nama bukit paling terkenal sebagai salah satu lokasi gratis untuk berbuat hal melanggar norma, tak usah dibayangkan sedang apa di sana.
“Keluarlah, jangan membuat tugas kami semakin sulit!”
“Bee, kami tahu kamu di dalam!” Teriakan ini mengurungkan niat Deon untuk berbalik, dia benar. Tujuannya di depan mata, tetapi tampaknya ada hal serius terjadi.
Mereka menyebutkan nama yang sama seperti yang tertera di kertas, dia tak salah mencari alamat. Namun, ada apa dengan orang-orang itu? Siapa para pengguna pakaian serba hitam tersebut?
Apa dia harus kembali nanti? Menunggu sampai urusan mereka selesai. Namun, pintu pagar terbuka. Dia terbeliak melihat seorang gadis berambut panjang, tetapi awut-awutan sedang menodongkan pisau dapur ke arah para pria. Tidak begitu jelas tampangnya karena posisi Deon cukup jauh, jarak pandang terhalang tubuh-tubuh lelaki berpakaian serba hitam.
“Kenapa kalian melempari rumahku, hah?” bentaknya dengan keras, tetapi tawa keras menyambut perkataan sang gadis yang terlihat mengenakan putih abu-abu.
“Rumahmu ini akan segera menjadi milik bos kami, katakan di mana tantemu atau nasibmu benar-benar harus berakhir di lokalisasi!” Salah satu dari lelaki itu mengatakannya dengan sangat keras, lalu kembali tawa terdengar mengudara.
Deon yang mendengar sedikit kurang menyukai cara mereka berucap, dia sedikit lega saat terlihat beberapa wanita mendekat. Setidaknya akan ada yang memberikan pembelaan, terlihat jika gadis SMA tersebut bukan pelaku utama. Mereka sedang mencari tante yang dimaksud, entah apa yang sedang terjadi di sana. Sang owner OS hanya bisa menjadi penonton tanpa mengerti poin pentingnya.
“Sebaiknya kamu katakan saja, tantemu banyak berhutang. Pada kami pun belum bayar, dia membawa uang paket sembako. Jangan menjadi komplotan maling!” Justru kalimat pendukung yang diberikan sehingga Deon bengong di tempat, “kamu pikir uang jatuh dari langit? Cepat katakan, jangan bersikap korban!”
Ibu-ibu justru tak menunjukkan belas kasihan, menambahkan kecaman tanpa peduli dengan ketakutan yang disamarkan dengan perlawanan. Deon melihat tangan itu bergetar, tidak bersungguh-sungguh untuk mengarahkan pisau pada lawan. Akan tetapi, semua orang dewasa menyikapi begitu serius.
“Kamu bahkan sempat membuat keributan dengan mengatakan orang lain plagiator, apa dapat hasil dari menuduh orang hebat?” Ujaran ini membuat Deon memilih menetap, dia harus mendengar jawabannya secara langsung.
“Apa aku perlu pakai bahasa isyarat agar kalian paham?” raung Bee yang memaksa Deon kaget, “aku sama sekali tak tahu Tante Voni di mana, tabungan dan semua barang di rumah habis. Apa kalian masih ingin menjualku juga?”
“Kenapa tidak? Kamu bahkan menjual rasa malu dengan mengaku-ngaku sebagai pemilik tulisan di aplikasi, menjijikkan sekali!”
“Itu benar tulisanku!” Bee meradang ketika orang-orang malah membahas apa yang dia lakukan dua hari lalu, “penulis itu hanya mengganti nama tokoh utama, judul masih sama. Dia ….”
“Hentikan bualanmu!” potong seorang ibu-ibu tak kalah garang sembari menunjuk muka Bee, “jika memang kamu bisa menulis sebagus itu, seharusnya sekarang sudah kaya dan mampu membayar uang yang kalian gunakan untuk berfoya-foya. Dasar tak berotak, menuduh penulis hebat hanya karena berkomplot dengan maling!”
“Sudah, Pak. Bawa saja ke Bukit Tabi, di sana ada lokasi bagus buat dia bekerja. Hasilnya bisa dibuat mengganti uang yang dia gunakan untuk hidup selama ini!”
“Kalian mau makan uang hasil menjual anak orang?” cebik Bee tanpa rasa takut, “justru aku akan melaporkan penyerangan ini pada KOMNAS HAM!”
“Bacot!” Seorang lelaki berkaos hitam itu mendekat saat Bee lengah, mengambil pisau yang sedari tadi dibuat perlindungan. Kemudian, dengan kasar mendorong tubuh sang gadis hingga terjatuh ke tanah.
“Lihat, tubuhnya masih bagus. Kalau dia dijual enggak laku, masih ada ginjal dan organ tubuh yang lain. Kalian bawa saja, kami akan mengambil apa pun di rumah itu yang bisa dijual.” Seorang ibu tanpa perasaan melontarkan kalimat sangat brutal, hal yang tanpa sadar membuat Deon tak habis pikir.
“Heh, siapa yang mengizinkan kalian masuk rumah ini? Hutangnya pada Juragan Martin tak senilai dengan uang kalian, minggir!”
Terjadi aksi saling dorong antara warga dan sekelompok preman, mereka berebut untuk mengambil barang-barang di rumah yang kacanya terlihat pecah. Bahkan, beberapa genting tak lagi di tempat. Atap pun bolong di mana-mana.
“Aaaaakh!” Terdengar teriakan gadis berseragam itu ketika suasana memanas, “kenapa kalian tak percaya jika di dalam rumah tak ada apa pun yang bisa diambil?”
Gadis itu menjatuhkan diri, menangis keras. Kedua tangan menutupi wajah, tubuh kecilnya terguncang hebat. Jelas sedang dalam kondisi putus asa.
“Aku bahkan kehilangan cerita terbaik yang kutulis, dicuri Penulis Pecundang, dan semua harta peninggalan orang tua … ah, Tuhan!” Bee kembali mengoceh dengan isakan tangis cukup menyedihkan sehingga warga yang hendak menerobos mengurungkan niat, “apa kalian tahu rasanya kehilangan semuanya dalam semalam? Seandainya aku tahu akan menjadi sangat menyedihkan begini, buat apa mau hidup bersama Tante Voni dan untuk apa menulis n****+ tentang Mr. Sun Shine?”
Luapan emosi terakhir membuat Deon terksiap, dia mendengar nama yang sudah hampir 10 tahun tak disebutkan. Pria 35 tahun tersebut segera mengeluarkan ponsel, lalu memeriksa tulisan yang sedang viral. Ingin memastikan sesuatu!
Selama ini semua tulisan di platform diserahkan pada para editor, hanya sesekali memeriksa tulisan penulis baru. Namun, kedua bola matanya sungguh harus membesar, dia menggeleng cepat. Kemudian, memandang gadis yang kembali diperlakukan kasar oleh orang-orang.
“Jadi, anak itu berkata benar.” Deon bergumam tanpa melepas pandangan dari tubuh yang sedang dikerumini orang, bukan untuk dikasihani. Namun, mereka justru mendorong kepala Bee yang terlihat mulai pasrah.
“Tuhan, sepertinya Engkau memang sedang menunjukkan kebusukan makhluk-makhluk bernama manusia. Hari ini aku bahkan mengetahui tentang kecurangan semua orang, lalu kenapa gadis itu pun harus menjadi korban keserakahan?” Pria itu melenggang dengan terus bergumam, tak lagi berpikir ulang untuk maju.
Jika semua orang di perusahaan mengatakan tentang omong kosong terkait tulisan Senja Violeta, mereka melimpahkan semua kesalahan pada pemilik akun bernama ‘Iblis Jelita’. Namun, sekarang Deon mulai meragukan semua perkataan karyawannya. Untuk memastikan semua itu, dia hanya perlu bertanya pada Bee.
Kemudian, akan menemukan kebenarannya. Senja Violeta seorang penulis jujur atau justru plagiator tak berotak?
***