memindai mangsa

1443 Words
Sepulang dari bekerja di Kelab, Elena beristirahat sejenak. Lalu ia langsung pergi menuju rumah Risma, untuk bertanya apa yang terjadi pada Risma semalam. "Ris...!" Elena mengetuk pintu rumah Risma berkali kali. "Risma...!". Elena coba mengetuk pintu lagi untuk memastikan, tapi tidak ada jawaban dari dalam rumah Risma. Ia menatap gagang pintu lalu mengguncangnya beberapa kali. " Terkunci? Elena berjalan ke arah kaca rumah Risma. Lalu mengintip dari balik kaca menatap sekitar dalam rumah Risma. Ia balik badan menatap sekitar rumah Risma. "Kemana dia?." Lalu Ia berjalan menuju halaman rumah Risma. Elena embuka tasnya dan mengeluarkan ponsel miliknya dan menelpon Risma, ponsel ia dekatkan di telinga. "Halo!" seru Elena saat panggilan terhubung dengan Risma. "kau ada di mana Ris?" tanya Elena khawatir. Namun tiba tiba nada sambungan terputus. Elena berdecak kesal lalu ia kembali menelpon Risma lagi, tapi nomer ponsel Risma sudah aktif. Elena mengerutkan dahi." Kok tidak aktif?" Elena mengulangnya berkali kali namun hasilnya tetap sama. Kemudian ia memasukkan ponselnya ke dalam tas," ada apa dengan Risma?" ucapnya dalam hati. Sejenak ia tertegun lalu ia melangkahkan kakinya meninggalkan rumah Risma dan memutuskan untuk pulang. **** Elena duduk termenung dikursi depan rumah, dengan kopi hitam panas di atas meja.Siene menyandarkan badannya dikursi menatap langit , matahari yang mulai tenggelam menyisakan semburat oranye, perasaan asing menyeruak direlung hatinya paling dalam, merasa sendirian dan kesepian yang seolah mentertawakannya. Begitu sulit memaafkan mereka yang tak layak mendapatkan maaf. Kehidupan terasa hambar dan menjenuhkan, apa yang layak dipertahankan? kehampaan tanpa belas kasih. Terkadang harus membuang jauh semua harapan agar sedikit untuk memahami hari hari yang panjang dengan pengulangan yang sama tanpa jeda, pada akhirnya kembali tersesat dijalan yang dianggap benar, seperti berjalan ditengah labirin tanpa jalan keluar. Semua sudah terjadi dan tidak bisa diputar kembali, waktu tidak akan mundur kebelakang. Setiap orang akan menghindari kesalahan, setiap orang akan berada di zona aman, namun setiap kesalahan, setiap penderitaan dan kepelikan hidup, akan membawa jiwa tumbuh menjadi dewasa. terlepas dari konsekwensi yang harus diterima dari hasil akibat setiap pilihan. Elena menyesap kopinya perlahan, setiap sesapan dan aroma kopi panas memberikan efek ketenangan kepada dirinya. Elena teringat akan keluarganya di kampung. Bibirnya menipis, kedua matanya menatap lurus ke jalan raya yang berada diseberang rumahnya. Ia lalu memalingkan wajahnya dan menarik nafas panjang. Berapa kali ia harus menelan kekecewaan atas sikap keluarganya pada dirinya, namun ia mencoba untuk selalu menerima dan memaklumi apapun itu. Elena tersenyum tipis, lalu ia berdiri dan masuk ke dalam rumah untuk bersiap siap bekerja. Tak lama kemudian, ia udah terlihat rapi sebuah tas kecil menggantung dipunggungnya, lalu ia berjalan menuju halaman dan naik ke atas sepeda lalu mengayuhnya **** Elena telah sampai di halaman kelab lalu menepikan sepedanya dan masuk ke dalam kelab. Suara dentuman musik Dj kak Angel sudah terdengar dan disambut meriah pengunjung kelab. Langkah kakinya berjalan cepat menyusuri lorong panjang, hingga ia terhenti di ujung pintu. Elena membuka pintu dan masuk untuk mengganti pakaiannya dengan seragam kelab. Ia melangkahkan kakinya dan membuka pintu. Ia terkejut menatap Hardi sedang berdiri didepan pintu. "Pak?" Elena mengernyitkan dahi menatap Hardi yang tengah tersenyum padanya. "Ikut saya Si." Hardi langsung balik badan tanpa menunggu jawaban dari Elena. Sesaat Elena terpaku menatap punggung Hardi lalu ia pun mengikuti Hardi dari belakang hingga di ujung pintu kantor. Hardi membuka pintu dan menoleh ke arah Elena lalu mempersilahkan masuk lebih dulu. Elena melangkahkan kakinya pelan, kedua matanya menatap Arga tengah duduk dikursi, dia berdiri didepan meja lalu menoleh pada Hardi yang tengah berjalan mendekat. "Duduk El," ucap Hardi menatap Elena Elena duduk berhadapan dengan Arga yang tengah berdiri mendekati Hardi. Ia memperhatikan mereka berdua yang sedang berbicara pelan sampai tak terdengar, Hardi melangkah keluar meninggalkan kantor. Sekarang tinggal Elena dan Arga di dalam ruangan itu. Elena melihat Arga menarik salah satu kursi dan meletakkannya disamping kursi Elena, lalu Arga membalik kursi yang di duduki Elena untuk sejajar dan berhadapan dengan kursi yang di duduki Arga. "Elena.." Arga memulai percakapan. "Ya?" jawab Elena singkat melihat Arga yang terlihat kaku tidak tahu harus memulai dari mana percakapan. "Berapa lama kau bekerja disini?." "Lupa," jawab Elena singkat "Kenapa aku tidak pernah melihatmu?." Sebuah kerutan di wajah Arga terbentuk ketika melihat Elena. "Kenapa kau ambil pekerjaan di sini? "Karena aku butuh uang." Elen tersenyum samar mendengar pertanyaan yang tidak perlu dipertanyakan lagi, setiap orang mau bekerja demi uang apapun alasan di balik itu semua.Arga tertawa kecil mendengan jawaban polos Elena "Elena.." "Ya?" "Apakah kau sudah memiliki kekasih?." Arga mengangkat satu alisnya. "Apa maksudmu? memanggilku? katakan saja, aku masih banyak pekerjaan." Elena mengerti alur pembicaraan Arga. "Oke." "Aku menyukaimu, dan aku mau kau menjadi kekasihku." Arga menatap dalam wajah Elena yang terlihat tidak serius menanggapi pernyataannya. "Apa alasanmu secepat itu menyukaiku? dan memintaku menjadi kekasih. Setahuku sebelumnya kita tidak pernah bertemu, selain di malam itu." Arga menarik badannya, menyandarkan tubuhnya dikursi,ia menatap gadis didepannya yang terlihat berbeda dari wanita biasanya. Dia akui apa yang dikatakan Elena itu benar."Tapi aku sudah lama memperhatikanmu." "Oh ya?" Elena menatap Arga terlihat sedang berfikir. "Elena..cinta datang tidak butuh alasan." Arga tersenyum menyilangkan kedua tangan di d**a. "Cinta memang tidak butuh alasan, tapi datangnya cinta membutuhkan alasan." Arga terkejut, tidak mengira kalau gadis didepannya akan memiliki jawaban. "Alasannya-?." "Ya?" Elena memotong ucapan Arga. "Aku tidak mau tahu, terserah apa penilaian kamu, yang aku butuhkan adalah jawabanmu saja." Elena menahan tawa, ia tersenyum samar bahkan tak terlihat oleh mata. Elena tertawa kecil menggelengkan kepala. "kamu mau tahu jawabanku?" Arga mengangguk menatap dalam. Berharap Elena menerimanya. Wanita mana dijaman modern seperti ini,akan menolak pria tajir, mapan dan tampan. "Tidak." Elena berdiri dan melangkahkan kakinya, namun Arga menahan langkah Elena dengan menahan tangan kanannya. Gadis itu menoleh menatap tangan Arga yang mencengkeram kuat. "Kenapa? Arga berdiri dihadapan Elena dengan wajah kesal atas penolakannya. "Aku tidak mencintaimu, kenapa aku harus menerimamu?" jawaban Elena seperti sebuah tamparan keras buat Arga, untuk pertama kalinya dia di tolak seorang gadis pelayan di sebuah kelab. Yang dia tahu bahwa dia tidak pernah ditolak gadis secantik apapun, di sini uang yang bicara. "Saya tidak suka di tolak." "Terserah, itu hakmu." "Aku mau kau jadi kekasihku," ucap Arga menyentuh dagu Elena. "Hakku untuk menolak." Elena menghempaskan tangan Arga dari dagunya, lalu ia melangkahkan kakinya keluar ruangan dan menutup pintu. "Sial!." Arga mengusap kasar rambutnya dan menghempaskan tubuhnya di kursi. Tangan kirinya melonggarkan dasi yang yang terasa mencekik lehernya, tangan kanannya mencengkram kursi. Apapun akan dilakukannya untuk mendapatkan Elena. Penolakan berarti satu tantangan tersendiri untuk dirinya. *** Berjam jam berlalu, Elena melakukan pekerjaannya dengan tenang, ia bolak balik membersihkan meja dan mengantarkan pesanan pada para pengunjung. mengabaikan semua gangguan yang ada dari pria mabuk yang berjalan sempoyongan menggodanya. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 3:40 lalu menatap kedepan dan mengusap keringat diwajahnya lalu dia melangkahkan kakinya menuju lorong panjang dan terhenti di pintu ruang ganti. Elena membuka pintu dan masuk kedalam, ketika ia hendak menutup pintu, satu tangan menahan pintu yang hendak Elena tutup. Arga masuk ke dalam secara paksa dan menutup pintu, Elena menatap Arga lalu ia berjalan mundur hingga terhenti di dinding ruangan. Menatap Arga yang berjalan mendekatinya, lalu Arga meraih tubuh Elen dan mendekatkannya ke tubuhnya. Elena berusaha meronta untuk melepaskan diri, namun tangan Arga terlalu kuat untuk seukuran Elena yang memiliki tubuh yang mungil. Elena menatap wajah Arga yang tengah menatapnya dan tersenyum sinis. Arga menurunkan wajahnya supaya sejajar dengan wajah Elena lalu berbisik pelan ditelinga. "Aku tidak suka ditolak, aku mau kau menjadi kekasihku suka atau tidak, aku tidak perduli." Elena merinding menahan geli ditengkuknya. Ia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Lalu Arga menarik wajahnya menatap wajah Elena dalam, "Cup" satu ciuman mendarat di bibir tanpa Elena duga. Lalu Elena memalingkan wajahnya tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya. " Kau suka?" Elena menoleh dan menatap Arga benci. "Menurutmu apa aku suka?." "Hmmm..." Arga terdiam meneliti raut wajah Elena yang terlihat kesal. "Mungkin sekarang kau menolak, tapi nanti kau yang akan memintanya." Arga tertawa keras , membuat Elema merasa jijik. "Menjijikan" ucap Elena pelan, namun jelas terdengar oleh Arga. Arga tersenyum melihat kepolosan Elena lalu ia mundur perlahan dan tertawa kecil menatap Elena yang tengah menatapnya kesal. Arga balik badan melangkahkan kakinya membuka pintu meninggalkan Elena. Sesaat Elena terdiam, lalu ia pun bergegas menukar pakaian seragamnya dan memasukkan ke dalam tas, kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu, pria yang aneh memaksakan kehendak membuat Elena sedikit ngeri. "Ada ada saja," gumam Elena pelan.Lalu ia berjalan bergegas keluar club menuju halaman naik ke atas sepedanya, lalu ia mengayuhnya menuju rumah. Tak lama Elena sudah sampai di teras rumahnya. Sekilas ia melihat dua sosok pria tengah memperhatikan rumahnya dari ujung jalan. Elena mengangkat bahunya lalu ia membuka pintu dan masuk kedalam rumah setelah ia mengunci pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD