Alle segera turun dari mobil, kemudian berjalan setengah berlari masuk ke bandara kedatangan internasional Soekarno-Hatta. Pria yang memakai kaos pas badan berwarna hitam, dengan celana panjang ripped jean warna senada, juga kaca mata hitam yang dia selipkan di ujung kaos bagian depan itu nampak begitu mempesona. Tubuhnya yang tinggi tegap, juga paras tampan itu menyita perhatian orang disekitarnya, terutama para gadis yang tak berkedip menikmati keindahan di depan mata mereka. Bukan Alle tidak menyadari perhatian dari pada gadis yang ia lewati, namun ia tidak merasa perlu untuk sekedar menoleh sekali pun. Ia sudah terlambat menjemput sepupu yang baru datang dari Jepang. Kaka, sepupu sekaligus sahabat yang selalu ada saat suka, maupun duka. Selama bertahun-tahun ia tinggal bersama keluarga Kaka di Jepang. Menjalani masa-masa sulitnya di sana. Sungguh ia merasa bersyukur memiliki keluarga seperti mereka yang tidak pernah lelah mendukungnya. Saat terburuk sekalipun.
Pria itu semalam kesulitan tidur karena memikirkan hal yang tak seharusnya ia pikirkan hingga akhirnya terlambat bangun untuk menjemput sang sepupu. Diedarkan pandangan mata ke seluruh penjuru untuk mencari pria jangkung berkaca mata dengan rambut keriting. Kedua sudut bibirnya terangkat begitu melihat orang yang sedang ia cari duduk sembari menekuri ponsel di tangannya. Pria itu sudah kesal karena harus menunggu hampir satu jam. Dengan langkah lebar Alle mendekat, kemudian berdehem begitu sampai di depan pria yang langsung mengangkat kepala tersebut.
Bukan senyum yang menjadi sapaan pertama sang sahabat begitu melihat kehadirannya, melainkan dengusan kesal. Pria berambut keriting itu segera memasukkan ponsel ke dalam saku jaket bomber yang ia kenakan kemudian beranjak dari kursi yang sudah menampung tubuhnya selama menunggu seseorang yang membuatnya kesal. Dia sudah menghubungi pria yang justru sedang tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putih nan rapi tersebut semalam. Mengingatkan pria itu untuk menjemput tepat pukul 9 pagi. Tapi lihat saja, jarum kecil di jam tangannya sudah menuju angka 10 dan jarum pamjang di angka 11. Bagaimana dia tidak kesal.
“ Sorry … gue bangun kesiangan.” Ucap Alle masih dengan menampakkan senyum lebar. Kaka memukul bahu sang sahabat.
“ Bangun kesiangan itu jam 7 Al. kalau bangun jam 9 itu bukan telat namanya. Itu kebo namanya.” Kesal pria berambut keriting itu, kemudian menggeser koper ke depan Alle, dan berjalan mendahului pria itu. Ia sedang kesal. Biar saja dia menganggap sang sepupu sebagai pembantunya kali ini. Alle hanya terkekeh kemudian menyambar koper dan segera menyusul Kaka. Dia tidak marah sama sekali karena sadar ia salah. Kaka adalah orang yang sangat menghargai yang namanya waktu. Entah memang itu kepribadian Kaka, atau karena pria itu sudah tinggal lebih dari 10 tahun di Jepang. Seperti orang-orang di negara sakura tersebut yang sangat konsisten dengan waktu. Waktu adalah uang. Tidak ada orang Jepang yang janjian jam 10, datang jam 11 seperti yang biasa orang Indonesia lakukan jika bukan karena sesuatu diluar rencana mereka. Itu yang Alle pelajari selama bertahun-tahun tinggal bersama keluarga adik sang Mama.
Alle menghampiri Kaka yang berhenti di sebuah gerai roti dengan aroma harum kopi dan coklat. Pria itu mampak membeli beberapa roti berbungkus kertas warna kuning dengan gambar kepala koki. Jangan pikir Kaka tidak fasih berbahasa Indonesia. Meskipun sudah lama tinggal di negara yang dulu pernah menjajah Indonesia tersebut, keluarganya masih menggunakan bahasa indonesia sebagai alat komunikasi di dalam rumah. Dengan begitu tak satupun dari anggota keluarga Kaka yang melupakan bahasa Indonesia. Alle segera menyerahkan kartu debetnya kepada kasir gerai tersebut sebelum Kaka berhasil membuka dompetnya. Kaka hanya melirik sang sahabat, kemudian kembali memasukkan dompet ke dalam tas punggung. Setelah menyelesaikan p********n, Alle memimpin langkah menuju tempat ia memarkir mobil Ferrari kesayangannya. Ya … mobil itu sudah kembali ke apartemennya 2 minggu lalu, dan kaki kanannya juga sudah sembuh. Yang masih belum membaik adalah hubungannya dengan Faisila. Setelah kejadian di apartemen ketika Mona tiba-tiba muncul tanpa memberi kabar, Sila jelas menjaga jarak dengannya. Wanita itu tak lagi menanyakan kapan ia bisa mengambil mobilnya. Bahkan tak lagi menanyakan kondisi kaki kanannya yang saat itu masih belum sembuh total. Dia hanya bisa memantau wanita itu dari status WA nya. Media sosial pun seperti tak pernah Sila sentuh. Terakhir wanita itu posting adalah 6 bulan lalu. Itu pun hanya gambar depan klinik miliknya. Memberitahu kan bahwa klinik tersebut tidak memungut biaya bagi pasien yang berobat. Ketika akhirnya perban elastis di kaki kanannya di lepas dan dia bisa datang mengambil mobilnya, Sila juga tak banyak bicara. Wanita itu hanya menanggapi seperlunya. Alle mendesah ketika mengingat betapa tak nyaman rasanya ketika dijauhi wanita itu.
Alle mengambil kunci mobil dari saku celana kemudian menekan tombol unlock. Membiarkan Kaka masuk lebih dulu sedang ia memasukkan koper milik sang sahabat.
“ Kenapa emangnya sampai bangun kesiangan ?” Tanya Kaka setelah Alle masuk ke dalam mobil di balik kemudi dan memasang seat belt. Sepertinya perasaan sang sahabat sudah membaik. Pria berkaca mata itu masih sibuk mengunyah roti yang ia beli. Alle menoleh kemudian mengangkat kedua bahu. Ia menyalakan mesin. Belum saatnya ia bercerita tentang Faisila kepada Kaka.
Hampir 40 menit mobil yang Alle kendarai akhirnya terparkir di basement apartemen yang sudah ia tinggali selama satu tahun terakhir. Ia kembali menurunkan koper, dan mengajak Kaka menuju unit nya. Kaka tidak lagi bertanya mengenai alasan Alle bangun kesiangan. Entah kenapa, dia bisa begitu memahami Alle. Pria itu akan bercerita saat ia sudah siap. Jadi selama perjalanan dari bandara mereka hanya berbincang tentang keluarga, dan juga kegiatan mereka selama satu tahun terakhir.
“ Ayo masuk.” Alle membuka lebar pintu apartemen, dan mempersilahkan sang sahabat masuk terlebih dahulu. Ia kembali menutup pintu setelah masuk. Membawa koper milik Kaka ke kamar di sebelah kamar yang ia tempati.
“ Apa semua sudah siap ?” tanya Kaka sembari menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu. Alle mengikuti Kaka duduk setelah mengambil dua botol air mineral dari lemari pendingin. Mengangsurkan satu botol yang langsung di terima Kaka.
“ Sudah.” Alle mengangguk. Tangannya sibuk membuka tutup botol, lalu meneguk cairan bening itu beberapa kali. Tenggorokannya terasa kering mengingat dia bahkan belum minum setetes pun air dari saat bangun tidur. Dia bahkan belum sempat mandi. Hanya menggosok gigi, dan mencuci muka. Mengganti pakaian tidur kemudian melesat menuju bandara. Setelah kembali menutup, dan meletakkan botol ke meja, Alle mulai memasang mode serius. Sudah waktunya berdiskusi dengan sang sahabat. Kaka yang paham dengan bahasa tubuh Alle, segera melakukan hal yang sama. Meletakkan botol kemudian memajukan tubuh. Bersiap mendengar penjelasan sang sahabat. Pria yang dari luar tampak selengek an, yang mungkin tidak menonjol di bidang akademik, namun sebetulnya jenius di bidang tertentu. Dengan nama ‘Tiger’ pria itu adalah seorang hacker yang cukup di segani di dunianya. Beberapa perusahan besar di Jepang pernah menggunakan jasanya untuk mencari oknum-oknum yang sudah dengan sengaja merugikan perusahaan. Jangan pernah mengira kemewahan, dan kenyamanan yang pria itu nikmati berasal dari uang orang tuanya. Kedua orang tua Alle memang selalu memberikan uang kepada sang putra untuk biaya selama Alle masih kuliah. Namun siapa yang tahu bahwa pria itu hampir tidak pernah menggunakan uang dari mereka. Sejak kuliah Alle sudah menggeluti dunia yang menarik baginya. Atau mungkin kegiatan itu sudah Alle lakukan jauh sebelum pria itu kuliah. Ia tidak tahu karena mereka baru tinggal bersama selepas masa SMA. Meretas program bukan hal sulit untuk pria itu. Lalu ketika kemampuannya mulai berkembang, ia mulai mencoba mencari uang dari dunia tersebut. Dari mulai proyek kecil hingga akhirnya, Tiger, nama yang ia gunakan di dunia underground tersebut begitu terkenal di negeri sakura. Dan sekarang pria itu berniat mendirikan perusahaan di bidang IT yang Kaka pahami akan menjadi selimut dari bisnis pria itu yang sebenarnya.
“ Proyek pertama sudah gue dapat. Sebuah perusahaan telekomunikasi. Sama seperti kasus-kasus sebelumnya. Ada oknum yang meretas sistem security perusahaan, kemudian membobol keuangan perusahaan hingga merugi milyaran rupiah.”
“ Wow … proyek besar sepertinya.” Tanggapan Kaka sembari menganggukan kepala senang.
“ Hmm … lumayan gue bisa ganti mobil.” Jawab santai Alle, kemudian menyandarkan punggung ke sofa. Sebelah kaki ia silangkan diatas kaki yang lain. Kaka tertawa. Alle selalu sesantai itu.
“ Lalu kapan grand opening perusahaan IT lo itu ?” tanya Kaka antusias. Karena hal itulah ia datang ke Indonesia. Alle memintanya mengurus perusahan IT yang pria itu bangun.
“ Minggu depan. Gue masih mensortir lamaran-lamaran yang masuk.” Ia mengedikkan kepala ke arah meja kecil di samping sofa yang Kaka tempati. Ada setumpuk amplop coklat di sama.
“ Gue bisa pilih sekertaris gue sendiri kan ?” Kaka mengangkat sebelah alis, menatap sang sahabat yang terkekeh. Kepala Alle mengangguk.
“ Suka-suka lo deh Ka. Asal jangan lo bikin bangkrut aja perusahaan gue.” Kaka tertawa keras. Kepalanya menggeleng hingga rambut keriting yang cukup grondrong itu berlarian ke kanan dan ke kiri. Kaka bergerak mengambil tumpukan amplop kemudian mulai memisahkan nama pelamar perempuan, dan laki-laki. Alle hanya menggeleng melihat apa yang sedang dilakukan sang sahabat. Bunyi denting notifikasi membuat Alle menalihkan pandangan ke atas meja. Ponsel canggihnya berkedip. Ia segera meraih kemudian membukanya. Mata berwarna hazel itu mengerjap beberapa kali begitu melihat photo seorang wanita dengan bayi mungil di gendongannya. Sila memperbaharui postingan di i********:. Gadis itu terlihat tersenyum menatap bayi dalam dekapannya, dengan caption ‘ with my beautiful niece’. Bibirnya mengulas senyum tipis, dan hal itu tidak luput dari sepasang mata di seberangnya.
“ Siapa … gebetan baru ?”