Save Me 16

2737 Words
Selama satu minggu aku tinggal di puskesmas Lembang. Namun, setiap sore aku pulang, bahkan, ketika tiba waktu libur pun aku pulang dan tidur di rumah. Aku juga memanfaatkan waktu libur ini untuk tetap mengikuti kegiatan di masjid. Walau Abi melarang, tetapi untuk sesekali tidak apa-apa. Usai marhabanan, aku pulang dan berbaring di kamar. Sebelum istirahat aku memiliki kebiasaan menyisir rambut, tetapi tiba-tiba aku melihat ada darah menetes di bibirku. Aku panik, lalu keluar dan menunjukan kepada Mama bahwa aku mimisan. Di luar sedang hujan deras, mengetahui bahwa anaknya mimisan,  Mama segera mencarikan aku daun suruh untuk menghentikan darah yang keluar dari hidung. "Kamu pusing?" tanya Mama. "Enggak, kok. Tadi mau bercermin sekalian nyisir rambut. Terus, tiba-tiba aja ada darah dari hidung." Setelah darah itu terhenti, aku beristirahat seperti biasanya. Mama memilih daun tersebut karena mengobati mimisan menggunakan daun sirih masih dianggap efektif, karena dapat menghentikan perdarahan yang terjadi dengan cepat. Sebagai bahan alami, daun sirih bisa dibilang cenderung aman untuk digunakan pada anak apa lagi orang dewasa. Namun, tidak hanya untuk menangani mimisan, sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Bali Medical Journal menyebutkan, ekstrak etanol gel yang diperoleh dari daun sirih juga dapat dipakai untuk mengurangi perdarahan yang terjadi setelah pencabutan gigi s**u pada anak. Daun sirih dapat mengatasi mimisan pada anak ataupun orang dewasa dengan cara menghentikan perdarahan, karena mengandung suatu zat yang dinamakan tanin. Zat ini berperan sebagai agen pembekuan darah dengan cara mengecilkan pembuluh darah. Selain itu, tanin juga dapat memicu pembentukan platelet plug (sumbatan keping darah) yang berguna untuk menghentikan perdarahan. Namun, sebelum menggunakan daun sirih untuk mengatasi mimisan, seharusnya perlu mencucinya hingga bersih terlebih dahulu. Mama selalu khawatir jika melihat aku mimisan. Karena hal itulah beliau rela keluar dalam keadaan hujan untuk mengambil daun sirih di kebun milik uwak. Mengalami mimisan secara tiba-tiba tentunya dapat membuat sebagian orang merasa khawatir dan juga panik terhadap kondisi kesehatannya. Meskipun mimisan bukanlah kondisi yang membahayakan, tetapi kondisi ini sebaiknya jangan diabaikan. Mimisan atau epistaksis merupakan salah satu kondisi dimana terjadi perdarahan melalui hidung. Perdarahan yang terjadi dapat melalui salah satu lubang hidung atau kedua lubang hidung. Mimisan yang tergolong ringan, dapat diatasi secara mandiri di rumah. Namun, mimisan yang tidak berhenti dalam waktu yang cukup lama dapat menandakan adanya gangguan kesehatan. Untuk itu, tidak ada salahnya ketahui beberapa pemicu yang dapat menyebabkan mimisan pada orang dewasa, agar kondisi ini dapat diatasi dengan tepat. Tentunya, mimisan menjadi salah satu kondisi yang dapat dialami oleh siapa saja. Namun, ada beberapa golongan yang sangat rentan alami mimisan, seperti lansia, wanita yang sedang menjalani kehamilan, pengidap kelainan darah, dan juga anak-anak dalam rentang usia 3–10 tahun. Perdarahan yang terjadi akibat mimisan biasanya terjadi pada bagian septum hidung. Bagian ini memang menjadi salah satu tempat pembuluh darah yang cukup rapuh. Udara yang kering dan kebiasaan mengorek hidung menyebabkan septum hidung rentan mengalami perdarahan. Namun tidak hanya itu, ada beberapa penyebab lainnya yang dapat tingkatkan risiko kondisi ini, seperti: Bersin terlalu keras. Mengalami cedera pada bagian hidung. Adanya benda asing yang masuk ke dalam hidung. Penggunaan kokain. Kondisi gangguan mental, seperti stres. Memiliki penyakit tertentu, seperti tekanan darah tinggi atau polip hidung. Tidak hanya itu, paparan bahan kimia dan polusi udara juga rentan membuat bagian dalam hidung iritasi yang dapat tingkatkan risiko mimisan. Adanya bentuk septum yang tidak normal juga membuat seseorang rentan alami mimisan. Umumnya, kondisi mimisan dapat diatasi secara mandiri di rumah dengan melakukan beberapa cara, seperti melakukan posisi duduk tegak dan condong ke depan, pencet pangkal hidung dan bernapas melalui mulut untuk sementara, serta kompres pangkal hidung dengan air dingin. Kondisi mimisan yang tergolong ringan akan reda dengan tindakan penanganan seperti ini. Bisa juga segera kunjungi rumah sakit terdekat ketika  mengalami mimisan akibat cedera pada bagian hidung, mengalami perdarahan yang cukup banyak, memengaruhi pernapasan, dan terjadi lebih dari 20 menit, meskipun sudah melakukan penanganan awal dengan penekanan pada pangkal hidung. Jika kondisi ini terjadi, ada beberapa tindakan yang akan dilakukan dokter sebagai penanganan mimisan, seperti: Satu, Kauterisasi. Pembuluh darah yang pecah akan ditutup kembali menggunakan energi panas dari proses kauterisasi. Pengobatan ini juga dapat digunakan untuk mencegah mimisan secara berulang. Prosedur pengobatan ini akan dibantu dengan proses anestesi terlebih dahulu karena akan menyebabkan rasa tidak nyaman.  Dua, menyumbat Rongga Hidung. Pengobatan ini dilakukan dengan menyumbat rongga hidung menggunakan kassa dan dapat mengembang dalam hidung. Fungsinya untuk memberikan tekanan pada area pembuluh darah yang pecah dalam hidung. Namun, prosedur pengobatan ini perlu observasi lebih lanjut dan perawatan tim medis secara khusus. Itulah beberapa penanganan yang perlu dilakukan untuk mimisan yang tergolong cukup berat. Tidak ada salahnya melakukan langkah pencegahan untuk hindari mimisan, dengan menjaga tubuh tetap terhidrasi dengan baik, menjaga kelembapan ruangan, dan hindari paparan asap rokok *** Keesokan hari setelah  menginap di rumah, aku kembali bertugas. Namun, hari ini aku kebagian tugas dinas di malam hari. Aku berjaga di ruang bersalin hanya bersama Okta. Sedangkan para bidan senior berada di ruangan, mereka hanya menugaskan kami untuk terus memantau kontraksi pada pasien yang sedang berada di kala I fase laten. Sekitar pukul 10 malam, ponselku tiba-tiba saja berbunyi. Aku melihat ada pesan yang baru saja masuk di aplikasi BBM.   Rere: Septi, aku mau ke rumah kamu, ya. Setelah membaca pesan masuk di BBM, aku melihat kanan dan kiri. Dirasa tak ada bidan senior, segera mungkin aku membalas.   Saya: Jangan, aku lagi dines di Puskesmas Lembang.   Rere, sahabatku waktu sekolah langsung membaca pesan segera membalas.   Rere: Aku baru pulang dari Bekasi, Septi. Udah lama nggak ketemu kamu dan nggak main. Aku masih di jalan, kok, bentar lagi sampai Majalaya. Aku di Bandung cuma sebentar, dua hari.   Karena merasa kasihan dengan Rere, akhirnya aku mengizinkan pemuda itu menemui aku.   Saya: Ya udah, atuh, sok, kalau mau ketemu ke sini aja di puskesmas.   Malam itu, Rere menghubungi aku lewat pesan suara. Ia bertanya minta dibawakan apa? Aku tidak pesan banyak, hanya ingin dibawakan kopi kemasan botol dengan rasa alpukat. Itu adalah minuman favoritku saat ini.  Belum sampai di puskesmas, ternyata pasien yang beberapa jam tadi masih fase laten, sekarang sudah masuk fase aktif dan pembukaan sudah lengkap.  Akhirnya, aku dan Okta pun panik. Kami berdua segera membangunkan bidan senior agar mendampingi kami untuk menolong lahiran. Berbarengan dengan lahirnya malaikat mungil ke dunia, tetap pukul 23.35 WIB, ternyata Rere sudah sampai di puskesmas. Aku benar-benar merasa bingung, bagaimana caranya agar bisa keluar menemui Rere sebentar? "Teh, saya mau ke toilet dulu, ya, sebentar," ujarku pada bidan senior. "Mangga, Neng, jangan lama-lama, ya. Nanti bantu Okta beresin alat-alat." Aku mengangguk dan segera beringsut ke luar. Jari ini langsung mencari menu kontak dan menekan tombol panggilan pada nomor telepon Rere. "Halo...." Suara Rere terdengar begitu jelas. "Halo, A, assalamu'alaikum...." "Wa'alaikumussalam, Septi, aku di kantin, nih." "Ya Allah, A, maaf pisan. Pasien aku sekarang lahiran, barusan habis nolong lahiran dulu. Habis ini mau bersihkan pasien dan alat-alat. Kamu mau nunggu enggak? Atau pulang dulu aja?" "Nggak apa-apa aku nunggu aja. Berapa jam lagi?" "Satu jam lagi, A. Maaf, ya, aku nggak tahu kalau bakal lahiran sekarang." "Iya nggak apa-apa, Septi, santai aja. Ya udah sana... nanti kamu dimarahin bidan senior." Rere langsung mematikan telepon dan aku pun kembi ke ruangan bersalin. Setelah membersihkan tubuh dan tempat tidur pasien, aku segera merendam alat-alat di dalam klorin guna menghindari dan mencega tumbuhnya virus atau sumber penyakit. Setelah merendam alat-alat, aku dan Okta memantau keadaan pasien sampai satu jam pertama. Setelah itu kami berdua keluar dan segera menemui Rere yang sejak tadi berada di kantin puskesmas. Dari jarak sepuluh meter, aku melihat Rere datang ke tempat dinas ini membawakan banyak makanan. Aku dan Okta duduk di depan Rere. "Kenalin, Okta, ini sahabat aku, Rere." Pemuda tampan berkulit sawo matang itu mengulurkan tangannya pada Okta. "Rere." "Okta," balas Okta seraya melempar senyuman yang manis. Aku dan Rere bersahabat sejak SMP kelas dua. Dulu, kami dekat karena pemuda itu sangat membutuhkan pertolongan aku untuk mendekati Nindya, sahabatku sejak kecil. Namun, kedekatan kami justru jadi masalah bagi Nindya, gadis itu mengira bahwa aku menyukai Rere. Hah, yang benar saja? Kalau pun aku menyukai Rere, tidak akan mungkin aku berpacaran dengannya. Dalam kamus hidup ini, aku tidak mau menjalin hubungan dengan lelaki bekas sahabatku. Aku hanya menganggap bahwa Rere adalah sahabatku. Lagi pula, sejak lulus SMP, jika pemuda itu memiliki pacar, pasti aku yang diminta untuk mencarikan hadiah ulang tahun. Ya, lelaki itu memang selalu menjadikan aku orang untuk dimintai pendapat. "Mau makan apa, Septi?" tanya Okta. "Sepertinya cuma ada mi rebus dan mi ayam. Aku nggak makan mi, jadi nggak pesen." "Mau aku beliin makanan?" tanya Rere. Okta kelihatan sangat terkejut melihat sikap Rere padaku. Gadis itu pasti berpikir bahwa Rere adalah pacarku. Namum, aku sendiri tidak heran dengan sikap Rere yang selalu perhatian. Menurutku itu karena dia sudah menganggap aku sebagai sahabatnya. "Nggak usah, A. Lagian mau beli di mana? Ini udah jam satu malam," ujarku. "Oh, ya udah. Ini aku bawain kamu makanan. Tadi mampir ke minimarket. Ada keripik kentang kesukaan kamu sama kopi pesanan kamu." Rere mengulurkan plastik berwarna putih s**u berisi makanan. Aku tersenyum dan menerima bingkisan itu. "Makasih, ya, A. Tiap hari aja ke sini, biar aku irit jajan." Rere dan Okta pun terkekeh. Setelah mi ayam pesanan Okta datang, aku dan Rere membicarakan banyak hal. Sedangkan Okta sibuk menyantap makanannya. "Jadi, besok kamu libur?" tanya Rere. "Iya... begitu. Kenapa emangnya?" "Jalan, yuk." "Ke mana?" "Yang punya wilayah Bandung itu kamu. Aku udah lama jadi orang Bekasi." Saat SMA, aku sering pergi dengan Rere. Namun, selalu ada tujuan, seperti: pergi ke bank, beli kado untuk pacar Rere, beli hadiah Hari Ibu untuk Mama dan terakhir pergi dengan pemuda itu adalah tahun lalu ketika Mama meminta aku membelikan bunga sedap malam untuk ditaruh di makam Nenek. Jadi, jika aku dan Rere keluar, pasti ada tujuan lain. Bukan hanya nongkrong atau makan di restoran. Wajar saja bila aku bingung ketika Rere mengajak jalan. Beberapa saat kemudian, Okta telah selesai menghabiskan mi ayam. "Ke sana lagi, yuk," ajak Okta. "Iya, ayok," sahutku. "A, ini udah mau jam tiga. Kamu pulang enggak? Capek enggak? Kamu kan baru pulang banget." Rere segera menegakkan tubuhnya yang tegap. "Ya udah, aku juga udah ngantuk nih. Aku pulang aja, besok aku jemput di rumah apa di sini?" "Di sini aja. Nanti aku kabarin, ya." Aku melihat ke arah luar, ternyata gerimis. "Astaghfirullah, A. Itu gerimis, buruan pulang nanti hujan." Rere pun segera pergi dan kami berdua kembali ke ruangan untuk memantau keadaan pasien. Setelah pemantauan kala empat berjalan lancar. Aku dan Okta pergi ke ruangan bidan magang. "Gusti nu Agung... meuni ngantuk abdi teh (Allah yang Maha Besar, aku ngantuk banget)," ujar Okta. "Ya udah, Okta ... tidur aja." "Iya, aku mau tidur. Nanti, kan, disuruh ngepel ruangan bersalin sama ruang nifas." Sementara Okta tertidur, aku justru tidak bisa memejamkan mata. Aku sibuk menulis laporan kelahiran pasien sembari melihat pesan masuk dari Rere.   Rere: Aku kehijauan Septi. Hujan deras banget.   Saya: Sama, A, di sini juga hujan deras.   Sejak magrib hingga sekarang, aku hanya makan keripik kentang dan kopi dari Rere. Sejujurnya, hal itu tidak membuatku kenyang. Tapi mau gimana lagi? Di sini tidak ada penjual makanan. Setelah terdengar suara napas lelap Okta, sesaat kemudian aku pun merasa ngantuk. Aku menutup buku laporan dan menggelar tikar di samping Okta. Lalu mencoba untuk tidur. Tak lama setelah mata terpejam, suara azan subuh pun terdengar. Akhirnya, aku segera bangun. "Udah subuh, ya?" tanya Okta. "Udah, Okta duluan aja, ya. Septi masih ngantuk, baru merem banget." "Ya udah aku mau ke kamar mandi dulu." Setelah beberapa saat kemudian, Okta membangunkan aku. "Septi, ayok bangun. Salat dulu sana. Aku udah salat." Aku pun bergegas untuk melaksanakan salat subuh. Usai salat, aku dan Okta membersihkan seluruh ruangan di sekitar Poned sebelum bidan senior bangun. "Kamu di bagian sana, ya," ucap Okta menunjukkan bagian luar ruang bersalin dan nifas yang begitu luas. Aku menarik napas panjang dan mengembuskan dengan berat. Hal ini yang masih menjadi pertanyaan terbesar di dalam diri, kenapa mahasiswi kebidanan harus bertugas membersihkan lantai dan ruangan? Bukankah pihak puskesmas atau institusi sudah memiliki pegawai di bagian tersebut? Bukan, bukan maksud aku tidak mau mengerjakan. Namun, terkadang ada saja oknum bidan-bidan senior yang memperlakukan bidan praktik dengan tidak baik. Sebagai petugas kesehatan, aku pribadi sangat mau membersihkan tubuh pasien yang berlumur kotoran, air ketuban ataupun darah paska melahirkan. Aku juga mau membersihkan alat-alat bantu persalinan. Karena semua itu adalah tugasku, tugas seorang bidan. Bukan menyapu apa lagi mengepel lantai puskesmas, ruangan Kesehatan Ibu dan Anak atau tempat bersalin. Pagi itu aku sangat lelah, tubuhku sudah terlalu capai merawat dan memantau pasien semalam. Sekarang ditambah lelah karena menyelesaikan pekerjaan yang sangat berat. Ketika mengepel lantai tadi, aku sempat melihat ada ibu-ibu penjual sarapan. Karena lapar, aku pun berlari mengejar beliau yang sudah mulai menjauh dari halaman ruang bersalin. Pagi itu aku membeli nasi uduk dan memakannya. *** Usai sarapan, aku dan Okta duduk di ruang sterilisasi sambil menunggu alat-alat yang sedang masuk mesin steril. "Septi ... sini, deh." Okta yang sedang duduk di dekat rak alat-alat partus pun melambaikan tangan padaku. Aku pun mendekat. "Kenapa?" Okta tersenyum penuh arti. "Aku tahu, semalam itu pacar kamu, kan?" "Bukan, Okta ... Demi Allah bukan pacar aku. Dia itu sahabat aku, kami berdua sahabatan sejak SMP." "Tapi aku yakin dia itu suka sama kamu!" Aku terkekeh. "Mana ada! Dia itu punya pacar, Okta. Dia selalu curhat sama aku." "Aku inget waktu dinas di Sumedang, kita kan satu kos ... kalau nggak salah, kamu pernah teleponan malam-malam, ya? Itu sama siapa?" "Iyaa ... sama dia." Aku terpaku. Rere memang sering menelepon jika sedang lembur kerja. Ia juga sering memberikan aku pulsa. Bahkan, pemuda itu juga pernah menemani aku dinas malam lewat telepon waktu di Subang dulu. "Dari apa yang kamu ceritain, aku yakin dia itu suka sama kamu, Septi ... yang peka sama dia. Rere nggak ngungkapin perasaan itu bukan karena nggak sayang sama kamu, tapi karena dia tahu, kalau kamu nggak akan mau diajak pacaran!" "Ya udah lebih baik begini. Lagian, Rere itu mantan pacar sahabat aku. Sahabat baik aku sejak kecil. Bukan cuma kamu sih yang ngomong kayak gitu. Sahabat aku sebagai mantan Rere juga bicara hal yang sama. Katanya dia suka sama aku. Ah tapi aku anggap biasa aja." Di tengah obrolan kami, tepat pukul 6 pagi, perutku tiba-tiba saja merasa mules. "Aduh, Okta ... bentar, ya, Septi izin ke belakang dulu." "Jangan lupa izin ke Teteh bidan juga." Aku mengangguk seraya bergegas. Setelah Okta serta para bidan senior mengizinkan, aku berlari ke toilet yang ada di kamar. Entah kenapa pagi ini aku merasa sakit perut yang tak biasa. Apa karena makan nasi uduk tadi? Atau karena minum kopi semalam dalam keadaan perut kosong? Ya Allah sebenarnya aku kenapa? Setelah selesai, aku keluar dari kamar mandi dalam keadaan tidak baik-baik saja. Aku menangis sembari memegang perut dengan erat. Di kamar ini kami tidur berenam, jadi, salain aku masiha da empat orang yang sedang tertidur. Mereka yang masih tertidur di dekatku pun terkejut mendapati aku yang sedang menangis paska keluar dari kamar mandi. "Kamu kenapa, Septi?" tanya salah satu temanku. "Aku sakit perut ... sakit banget!" "Jangan nangis, atuh." "Aku emang suka nangis kalau sakit perut atau sakit apa pun yang nggak bisa ditahan," ujarku seraya memegang perut dengan erat. "Ya udah aku mandi dulu, ya, mau dinas pagi. Kalau kamu masih sakit mending jangan ke ruangan. Di sini dulu aja, lagian udah jam setengah tujuh, kok." Aku mengangguk dan Putri, teman bidan yang akan dinas pagi menggantikan aku dan Okta pun masuk ke kamar mandi. Ketika sedang menangis menahan rasa sakit, ponselku berbunyi. Setelah dilihat, ternyata ada panggilan masuk dari Papa, seolah beliau tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. "Assalamu'alaikum, Pa," sapaku. "Wa'alaikumussalam ... kamu baik-baik aja?" tanya Papa lewat saluran telepon. "Tadinya aku baik-baik aja. Tapi sekarang sakit perut, Pa, sakit banget." Aku masih terus menangis. "Kenapa bisa sakit perut?" "Nggak tahu, Pa. Tiba-tiba aja mules, tadi habis buang air besar, mulesnya hilang tapi sekarang malah sakit perutnya." "Habis makan apa?" Suara Papa terdengar sangat khawatir. "Cuma makan nasi uduk aja tadi habis subuh. Itu juga sedikit, kok." Papa menyarankan aku untuk pulang dan meminta kakak untuk menjemput. "Pulang aja, ya. Nanti Papa telepon Teh Widi buat jemput kamu." Karena rasa sakit yang tidak tertahankan, akhirnya aku menuruti saran Papa dan bersiap-siap untuk pulang. Setelah itu, aku izin ke salah satu teman karena tidak bisa berdinas.  Namun, pagi itu aku tak sempat izin ke bidan koordinator di puskesmas tersebut. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD