Save Me 40

1164 Words
Sementara itu, Bibi Lik menyiapkan air untuk mengompres. Lima belas menit berlalu, aku ingin memejamkan mata karena tak kuat menahan panas. Sementara Bibi Lik mengompres, Mak Ana menyuapi aku. Tak terasa, butiran bening pun mulai menetes. Aku mendengar Bibi Lik berbisik. "Mak, perasaan makin panas." "Diukur aja suhunya." Tangan Bibi Lik membuka lenganku untuk meletakan termometer. Beberapa saat kemudia, benda kecil pengukur suhu tersebut berbunyi. "Ya Allah, empat puluh," ujar bibi Lik pada Mak Ana.. Setelah mengetahui suhu badanku 40°m derajat, Mak Ana dan Bibi Lik terdengar sangat panik. "Harus gimana, ini? Telefon mamanya aja?" tanya Mak Ana. "Jangan! Nanti pada khawatir," ungkap Bibi Lik. Semakin lama, suara mereka mengecil. Aku tak berdaya lagi. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Sebelum berhasil membuka mata, aku dapat mendengar suara orang-orang memanggilku. "Teh... sadar, Teh... bangun, Mama lagi pulang," ujar salah seorang yang tak bisa kulihat. Ada banyak tangan yang menyentuhku, ingin rasanya berteriak, tetapi aku tak mampu. Mata ini terasa lengket, kenapa enggan sekali untuk dibuka? Bibir pun sama! Tak lama, aku mendengar suara Mama menjerit. "Septi... Septi... kenapa? Bangun, Nak... Mama pulang." Aku mendengar rengekan Mama. Saat itu juga mataku dengan mudahnya terbuka. "Mama..." ujarku. Seketika Mama memelukku. Bibir ini mengatakan, "Mama, selamat hari ibu... maaf, nggak bisa ngasih hadiah. Mah, badannya panas, lemes." Usai kejadian tersebut, suhu badanku turun. Tapi, hanya selang beberapa jam setelah warga bubar dari rumah, suhu badan ini naik lagi. Di sisi lain, aku masih memikirkan nasib Teh Widi yang sendirian di rumah sakit, tanpa ada mama dan papa. Tapi, di sini aku juga membutuhkan dua orang hebat itu. "Suhunya tiga sembilan," ujar Mama yang sejak tadi menyimpan termometer di ketiakku. "Lha, kenapa, ya? Kok. Naik lagi?" tanya Papa, heran. Mama terus mengompres tubuhku. Beberapa kerabat dekat juga masih ada di rumah ini. Setelah beberapa jam berhasil turun, kini suhu badanku kembali naik. ""Anak bayi perempuan biasanya pas lagi panas bakal cepat turun kalau dipeluk bapaknya." Mama berpendapat. "Coba, Papah peluk Septi yang erat, jangan pakai baju," ujar Mama. "Pakai metode menurunkan panas kayak waktu bayi? Kan, Septi bukan bayi lagi," ujar salah satu kerabat Mama. "Iya... nggak apa-apalah walau Septi udah bukan bayi lagi. Dulu juga saya jilati badannya, Alhamdulillah sembuh," ungkap Mama. Papa pun segera membuka baju, lalu tampaklah dadanya yang bidang serta kokoh. Terlihat dengan jelas perbedaan warna antara kulit lengannya yang selalu berada di bawah terik matahari demi menghidupi aku. Papa mendekap erat tubuhku yang kurus ini. "Ya Allah, Dek... kecil banget." ungkap Papa. Aku melihat matanya berbinar-binar menahan butiran bening yang hendak keluar. Ketika Papa mendekap, aku merasakan kenyamanan. Aku tak ingat bagaimana dulu ia memelukku saat kecil. Beruntungnya aku, di usia 20 tahun masih bisa merasakan pelukan Papa. Beberapa saat kemudian, Mama menanyakan keadaanku. "Gimana? Mendingan?" tanya Mama. Aku mengangguk. "Iya, enak... adem." "Iya, tapi Papa yang panas, nih!" ujar Papa. "Nggak apa-apa, sih, yang penting kamu baik-baik aja," imbuhnya. Setelah beberapa saat berada dalam pelukan papa, suhu badanku turun mencapai 37,8 derajat celsius. Namun, setelah itu aku merasa suhu badan ini kembali naik. Tubuh ini semakin lemas saja. "Kenapa, ya, kok, badan Septi kayak makin panas?" tanya Papa. "Perasaan Papa aja, karena nempel sama Septi. Jadi, serasa makin panas," ujar Mama. Mendengar ucapan Papa, aku pun khawatri. "Coba suhu badannya dicek lagi aja, Mah." Mama kembali menekan tombol on dan meletakan termometer pada ketiakku. Sembari menunggu benda kecil itu berbunyi, Mama dan Papa mengobrol dengan beberapa keluarga dan kerabat yang masih ada di rumah. "Gimana, nih? Apa dibawa lagi aja ke rumah sakit?" tanya Papa. "Nggak mau!" ujarku. "Yah, kalau keadaannya makin memburuk mau nggak mau harus dibawa," ujar budeku. "Ya udah, nanti. Liat suhu badan Septi dulu," ujar Mama. Tak lama, termometer itu berbunyi. Mama segera mengambil dan melihatnya. "Tiga puluh sembilan koma delapan," ujar Mama. Orang-orang di ruangan pun seketika beristighfar. "Ya Allah, padahal tadi udah sempat tiga puluh tujuh, ya," ujar Mama. "Ya udah, dibawa lagi aja ke rumah sakit. Udah, nggak apa-apa.... lebih muda juga. Biar ngurusnya bisa bolak-balik," ujar Mama. Bude dan beberapa kerabat dekat membantu Mama menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke rumah sakit. Setelah beres, kami semua pun berangkat. *** Di perjalanan, Mama duduk di depan. Sedangkan badan ini dipangku Papa dan kaki berada di atas pangkuan Bude. Sepanjang perjalanan, aku merasa semakin panas dan sesak. "Panas, Pah... sesak." Aku merintih. "Sabar, ya, De. Kuat... Kuat...," ujar Papa. Sampai di IGD aku langsung ditangani. IGD atau Instalasi Gawat Darurat adalah layanan yang disediakan untuk kebutuhan pasien yang dalam kondisi gawat darurat dan harus segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan darurat yang cepat. Sistem pelayanan yang diberikan menggunakan sistem triage, dimana pelayanan diutamakan bagi pasien dalam keadaan darurat (emergency) bukan berdasarkan antrian. Tujuan dari IGD yaitu tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal pada pasien secara cepat dan tepat serta terpadu dalam penanganan tingkat kegawatdaruratan sehingga mampu mencegah resiko kecacatan dan kematian. (To save life and limb). Pelayanan yang diberikan: Ambulance 24 jam. Bedah minor. Laboratorium, Radiologi (rontgen). Ruang Triage. Ruang Tindakan. Ruang Observasi. Tim Penanggulangan Bencana Yang dapat dilayani dalam IGD yaitu: Pasien gawat darurat, tidak  darurat, darurat tidak gawat dan pasien tidak gawat, tidak darurat oleh karena penyakit tertentu. Pasien akibat kecelakaan (Accident) yang menimbulkan cidera fisik, mental, sosial, gangguan pernafasan, Susunan saraf pusat, Sistem Kardiovaskuler, Trauma, berbagai luka, patah tulang, infeksi, gangguan metabolisme, keracunan, kerusakan organ, dll. Penanganan kejadian sehari-hari, korban musibah massal dan bencana. Sesaat setalah alat yang membawa tubuhku sampak di salah satu kamar IGD, seorang suster memasang selang oksigen dan infus. Sedangkan perawat lainnya memeriksa keadaanku. Setelah selesai, aku bawa ke ruang Pratama untuk kembali dirawat setelah seminggu yang lalu baru saja pulang. Saat itu, aku tak tahan dengan panasnya tubuh. Belum lagi, rasa sakit di kepala ini mulai menyerang. "Mah... panas! Ya Allah, panas," ungkapku yang tak kuasa menahan air mata. Mama terlihat bingung mencari sapu tangan untuk mengompres. Dari luar Papa pun masuk dan berkata "Widi kepalanya kesakitan, Mah... coba ke sana dulu sebentar." Kakak dirawat tepat di sebelah kamar rawat inapku. "Ya Allah, bentar dulu, lagi nyari sapu tangan!" ujar Mama yang terlihat kebingungan. Tiba-tiba saja, telefon Mama berbunyi. "Astaghfirullah! Ini siapa lagi yang telefon!" ucap Mama kesal. Mama pun mengangkat telefon tersebut dan berkata, "Assalamu'alaikum." Mama terdiam sejenak mendengarkan suara telefon dan kembali bersuara. "Anak siapa yang di kantor polisi, hah? Anak saya yang besar dirawat di rumah sakit, yang kedua juga dirawat. Dasar penipu!" ujar mama dan membanting ponsel. "Orang itu ada-ada aja! Mau nipu kelihatan banget!" oceh Mama yang terus mengeluarkan isi tas demi mencari secarik kain. Ada salah satu tetangga kamar yang datang. "Kenapa, Bu?" tanya beliau pada Mama. "Itu, Bu... ada orang telefon, nggak basa-basi dulu. Langsung aja bilang. ‘Mah, ini anak Mama. Anak Mama lagi di kantor polisi. Tolong kirim pulsa!’ Ya, kan, anak siapa? Orang anak saya yang udah besar semuanya dirawat!" Setelah mama mendapatkan sapu tangan. Beliau langsung memberikan pada Papa untuk mengompresku. Lalu, beliau segera menemui kakak di kamar sebelah. *** Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD