Save Me 12

1722 Words
 Di Rumah Sakit Umum Daerah Subang juga aku pernah menemui pasien penderita gagal ginjal. Aku ingat, saat itu sedang dinas pagi. "Ditensi dulu, ya, Pak," ujarku seraya mengangkat tangan besarnya untuk diperiksa tekanan darahnya. Bapak itu tersenyum dan mengikuti instruksi yang kuberikan. "Bapak pasien baru di sini?" tanyaku agar lebih akrab dengan pasien. "Iya, Neng. Baru masuk tadi malam." "Owala... sakit apa, Pak?" "Ginjal, Neng." Obrolan singkat itu membuatku selalu ingat sampai detik ini. Keesokan harinya, aku kembali bertemu dengan bapak tersebut, namanya Yasin. Wajah ceria Pak Yasin teihay pudar. Pria berumur empat puluh tujuh itu berbaring dengan mata tertutup. Aku pikir ia sedang tidur. Jadi, aku cukup mengangkat tangannya pelan-pelan untuk melihat tekanan darahnya. Aku terkejut ketika mendapatkan suhu badannya yang panas. Rupanya, Pak Yasin pun terkejut ada aku yang menyentuh kulitnya. "Eh, ada Neng Suster." Walau dengan wajah yang pucat Pasih, Pak Yasin masih sempat tersenyum padaku. "Aduh, maaf, ya, Pak. Gara-gara saya jadi kebangun." "Nggak apa-apa, Neng. Ari Neng Suster ini namanya siapa?" "Saya Septi, Pak." "Dari mana Neng?" "Saya asli Bandung. Kalau Bapak sendiri?" "Saya asli Indramayu, Neng. Tapi punya istri di Subang. Jadi ikut ke tanah kelahiran istri." Aku selesai melakukan tensi kepada Pak Yasin. "Tensinya tinggi, Pak. Seratus delapan puluh per seratus sepuluh." Pak Yasin hanya mengangguk-angguk dengan tetap tersenyum. "Bapak udah minum obat belum? Kenapa ini, kok, panas banget badannya?" "Iya, Neng, udah minum obat, kok. Iya panas banget, katanya harus cuci darah dulu. Kalau enggak, nanti bakal gini terus." "Bapak yang semangat, ya. Semoga cepat sembuh. Cuci darah yang rutin, ya." Keesokan harinya aku pindah ke ruangan lain. Saat itu aku berangkat dinas malam sekitar pukul dua puluh lebih empat puluh menit sudah berada di depan ruangan baru. Namun, aku melihat ada banyak petugas kesehatan berlarian mendorong tempat tidur pasien dengan cepat lengkap bersama tabung oksigen yang juga didorong-dorong. Aku merasa heran, lalu bertanya pada Safi yang sedang bertugas di ruangan tersebut. "Itu kenapa? Pasien siapa?" tanyaku. "Itu Pak Yasin. Mau dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin." "Hasan Sadikin Bandung?" Aku memastikan. "Ya di mana lagi?" "Kenapa dirujuk?" "Udah nggak sadarkan diri." "Astaghfirullah... apa udah sempat masuk ruang ICU?" tanyaku. "Keluarganya pada nggak mau, katanya langsung ke Hasan Sadikin aja." Di tengah obrolan kami, terdengar suara jeritan orang-orang yang diduga keluarga pasien. "Bapak!! Ya Allah gusti... bapak!" Aku dan Safi penasaran dengan tangisan itu. Ketika mendekat ke sumber suara. Ternyata itu adalah keluarga Pak Yasin yang sedang menangis. Belum juga mobil ambulans itu berangkat, ternyata Pak Yasin sudah menghadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Aku benar-benar terpukul mendengar berita kematian Pak Yasin. Aku sedih, tapi sebagai petugas kesehatan, kami dituntut untuk jangan ikut menangis di hadapan pasien. Kejadian itu benar-benar tidak bisa aku lupakan. Sampai detik ini aku masih bisa membayangkan bagaimana wajah dan perawakan Pak Yasin yang ceria itu. *** Selain penyakit-penyakit yang sudah kujelaskan. Aku juga pernah bertemu dan menangani pasien epilepsi. Penyakit epilepsi atau ayan adalah gangguan sistem saraf pusat akibat pola aktivitas listrik otak yang tidak normal. Hal itu menimbulkan keluhan kejang, sensasi dan perilaku yang tidak biasa, hingga hilang kesadaran. Gangguan pada pola aktivitas listrik otak saraf dapat terjadi karena beberapa hal. Baik karena kelainan pada jaringan otak, ketidakseimbangan zat kimia di dalam otak, ataupun kombinasi dari beberapa faktor penyebab tersebut. Kejang merupakan gejala utama penyakit epilepsi yang terjadi saat timbul impuls listrik pada otak melebihi batas normal. Kondisi tersebut menyebar ke area sekelilingnya, dan menimbulkan sinyal listrik yang tidak terkendali. Sinyal tersebut terkirim juga pada otot, sehingga menimbulkan kedutan hingga kejang. Tingkat keparahan kejang pada tiap penderita epilepsi berbeda-beda. Ada yang hanya berlangsung beberapa detik dan hanya seperti memandang dengan tatapan kosong, atau terjadi gerakan lengan dan tungkai berulang kali. Kejang pada penderita epilepsi dapat dipicu karena beberapa kondisi, contohnya stres, kelelahan, atau konsumsi obat. Berdasarkan penyebabnya, epilepsi dapat digolongkan menjadi: Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui. Epilepsi simptomatik, yaitu epilepsi yang terjadi akibat suatu penyakit yang menyebabkan kerusakan pada otak. Epilepsi bisa terjadi pada semua usia, baik wanita atau pria. Namun, umumnya epilepsi bermula pada usia anak-anak, atau malah mulai pada saat usia lebih dari 60 tahun. Epilepsi merupakan penyakit saraf yang paling banyak terjadi. Berdasarkan data WHO tahun 2018, sekitar 50 juta penduduk di dunia mengalami gangguan ini. Diagnosis epilepsi dapat ditetapkan setelah dokter melakukan pemeriksaan fisik, terutama kondisi saraf pasien, serta serangkaian tes untuk memastikan kondisi yang abnormal pada otak. Setelah epilepsi terdiagnosis, penting untuk memulai pengobatan secepatnya, dengan pengaturan pola makan dan pemberian obat. Pemberian obat secara tepat dapat menstabilkan aktivitas listrik dalam otak, serta dapat mengendalikan kejang pada penderita epilepsi. Obat untuk menangani epilepsi adalah obat jenis antiepilepsi. Epilepsi yang terjadi pada penderita di tempat-tempat yang tidak terduga, dapat membuat penderita berisiko menderita cedera atau patah tulang akibat terjatuh saat kejang. Selain bahaya cedera, penderita epilepsi dapat mengalami komplikasi seperti epileptikus dan kematian mendadak. ***   Setelah memiliki pengalaman di dunia keperawatan saat berdinas di Rumah Sakit Umum Daerah Subang. Di akhir tahun 2015 ini aku mempunyai pengalaman baru, yaitu mulai menjadi Bicil, Bidan Cilik. Beberapa dokter koas juga menyebut kami dengan panggilan Debi, Dede Bidan. Usia 18 tahun memang terlihat sangat muda untuk menjadi seorang Bidan. Di Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang ini aku pertama kali bertugas di ruang IGD VK. IGD arah singkatan dari Instalasi Gawat Darurat, sedangkan VK sendiri singkatan dari  Verlos Kamer yang artinya ruang bersalin. Jadi, IGD VK adalah ruangan pertama yang didatangi para pasien dengan keluhan seputar kandungan. Dari penyakit kista, miom, keguguran, kehamilan yang bermasalah, melahirkan atau ibu nifas yang bermasalah akan masuk ke sini dulu sebelum mendapatkan perawatan. Selama beberapa hari di sini, banyak pasien yang datang dengan beragam keluhan. Pasien yang masih kuingat sampai sekarang adalah ibu nifas dengan keluhan yang jahitan vaginanya robek. Pagi itu aku berniat puasa. Malamnya, aku sudah makan sahur dengan ketoprak. Usai dinas malam, pagi-pagi buta IGD kedatangan pasien dengan banyak darah yang keluar dari organ kewanitaannya. "Dianamnesa dulu, Neng," ujar salah satu bidan senior. Anamnesis atau anamnesa adalah teknik pemeriksaan medis pertama yang dilakukan secara langsung atau melalui orang yang lebih akrab dengan kondisi kesehatan pasien melalui wawancara antara dokter atau ahli kesehatan lainnya. Anamnesa bertujuan untuk mengumpulkan data tentang masalah kesehatan dan medis pasien sehingga mereka dapat mengidentifikasi perkiraan diagnosis atau masalah medis yang dihadapi pasien. Anamnesis adalah komunikasi aktif atau dialog antara dokter, staf medis, dan pasien, sehingga komunikasi aktif adalah bentuk komunikasi yang melampaui komunikasi empatik. "Apa keluhannya, Bu?" tanyaku seraya membawa catatan kecil di tangan. "Ini, Bu Bidan. Saya dua hari yang lalu melahirkan di puskesmas. Karena robek, terus dijahit. Tapi, jahitannya sekarang robek lagi." Aku mencatat semua keluhan pasien. Setelah lengkap, tangan ini mulai menutup tirai-tirak pembatas tempat tidur pasien guna menutupi privasi pasien. "Dilepas dulu celana dalamnya, ya, Bu." Aku berjalan ke rak penyimpanan diapers dan alas yang biasa digunakan untuk melahirkan. Kami biasa menyebutnya dengan underpad. Pasien itu membuka celana dalamnya dan kembali berbaring dengan alas yang sudah kusiapkan. Aku melihat begitu banyak darah yang keluar dari sana. "Astaghfirullah... tunggu bentar, ya, Bu." Karena merasa itu adalah sudah bukan wewenanganku lagi. Akhirnya aku memanggil bidan senior untuk memeriksa pasien. Usai melakukan inspeksi. Inspeksi adalah proses pemeriksaan dengan metode pengamatan atau observasi menggunakan pancaindra untuk mendeteksi masalah kesehatan pasien yang sedang sakit. Benar saja, bidan senior itu terkejut mendapati luka robekan yang amat parah. Daging itu benar-benar koyak sehingga darah pun mengalir begitu deras. Aku benar-benar merasa ngolu dan mual. Sarapanku pagi ini adalah melihat darah yang begitu banyak. "Neng, siapin alat untuk heckting, ya." Heckting adalah menjahit luka yaitu dengan tindakan mendekatkan tepi-tepi luka dan mempertahankan dengan benang atau jahitan sampai terjadi kontinuitas jaringan. 3.5 Sebelum dilakukannya tindakan medis, keluarga pasien harus menandatangani surat persetujuan tindakan medis. Saat itu aku mengambil dan menyiapkan heckting set yang berisi: Bak instrumen. Pinset cirugis. Pinset anatomis. Gunting angkat jahit. Needle holder atau nald voeder. Gunting operasi lurus (tajam/tajam atau tajam tumpul). hecting nald atau jarum jahit. Dan Catgut chromik, atau benang heckting. Usai meletakkan heckting set di dekat bidan. Aku berdiri tepat di samping kirinya. "Neng, ambil lampu sorot, ya. Siapin di sini." Dengan sigap aku pun menuruti instruksi sang bidan. Dan segera mengarahkan lampu tersebut ke lokasi yang akan dilakukan penjahitan. Aku melihat bidan senior melakukan anastesi lokal pada daerah kewanitaan ibu berusia tiga puluh tahun itu.  Anestesi lokal (bius lokal) merupakan prosedur pemberian obat-obatan yang dapat memblokir sementara rasa nyeri dan sensasi pada area tubuh tertentu selama operasi. Prosedur ini akan membuat area tubuh mati rasa. Pasien akan tetap sadar dan mungkin merasakan sedikit tekanan selama operasi dilakukan, namun tidak akan merasa nyeri sama sekali. "Tarik napas, ya, Bu... jangan tegang." Bidan memberikan aba-aba. "Aw... aduh sakit, Bu!" "Sebentar, kok, sakitnya. Tahan, ya... sebentar lagi, kok. Ini biar nggak sakit pas dijahit." Beberapa saat kemudian, obat bius itu bekerja. Lalu, bidan senior langsung melakukan tindakan dengan menjahit perineum yang telah koyak parah. Perineum sendiri adalah otot, kulit, dan jaringan yang ada di antara kelamin dan a**s. "Ya Allah, ini, kok, yang robek sampai mau ke a**s!" Bidan itu merasa prihatin melihat luka pasien. "Aduh, iya, Bu Bidan. Kemarin juga pas buang air besar sampai lewat lubang yang di depan." Mendengar ucapan pasien, kami semua para petugas kesehatan yang menangani pun ikut bergidik. "Siapa yang jahit, Bu? Bidan di puskesmas?" tanya bidan senior. "Iya, Bu Bidan." "Ini bidannya nggak benar! Seharusnya kalau luka seperti itu tidak boleh dijahit sendiri. Harusnya dia rujuk ke rumah sakit. Bahkan saya juga sudah tidak berwenang melakukan hal ini, Bu." Kebetulan di sana juga ada dokter yang menyaksikan. Lalu, beliau angkat bicara. "Udah nggak apa-apa. Tanggung, selesaikan aja. Insya Allah nggak apa-apa." "Neng Septi, arahkan lampunya ke sini, ya. Ini kurang jelas." Sambil mengarahkan senter, aku terus menahan mual. Darah di sana terlihat begitu banyak. Selain karena puasa, sebenarnya sejak kecil aku takut pada darah. Bahkan, aku pernah pingsan ketika menyaksikan sapi kurban disembelih saat di sekolah dulu. Usai mendekatkan senter ke bidan senior, kepalaku semakin pusing saja. Aku takut pingsan. Aku berusaha menjauhkan diri dari hadapan pasien. Aku tidak mau pingsan di sini. Namun, baru saja kaki ini mundur beberapa langkah ke belakang. Aku terjatuh dan tidak sadarkan diri. Ya, hanya itu yang bisa kuingat. Atas alasan itulah aku selalu ingat dengan pasien tersebut. Karena aku pingsan untuk pertama kalinya di hadapan pasien. Rasanya sangat malu dan menurunkan wibawaku sebagai petugas kesehatan. *** Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD