BAB 004. AIRMATA PERPISAHAN

2142 Words
Jalan WR Supratman, Teluk Betung, bukanlah jalan utama di Kota Bandar Lampung, apalagi posisinya yang berada di pinggiran kota, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan itu. Desa Talang, sekali pun berada di Kotamadya, tetapi suasananya terasa bagaikan di pedesaan kawasan Kabupaten, meski tak banyak kendaraan melintas, tetapi banyak pejalan kaki yang lewat di sana. Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam, banyak yang berlalu lalang, bahkan di beberapa rumah masih ada orang-orang yang berkumpul bercengkrama antar tetangga, atau sekedar kumpul sesama teman, tak sedikit yang hingga larut bahkan sampai ada yang begadang. Suara deru motor terdengar memasuki halaman rumah Pakdhe Rusman, Budhe Yuni yang sangat hapal suara motor suaminya lalu membukakan pintu. Pakdhe Rusman memasukkan motornya ke dalam rumah. Deva yang merasakan sekujur tubuhnya sakit dan lelah memilih pamit untuk istirahat lebih dulu, di ruangan depan itu hanya tinggal Pakdhe Rusman dan istrinya yang terlihat masih berbincang. Pakdhe Rusman lalu menceritakan kepada istrinya apa yang dia dan Deva lalukan saat siang tadi berkunjung ke rumah salah seorang teman lama Pakdhe Rusman yang bernama Kang Danutirto Subagja, seorang lelaki yang berprofesi sebagai buruh bangunan, tetapi malam harinya mengajar ilmu silat kepada beberapa muda-mudi di Desa Sukarame Dua. Saat Pakdhe Rusman bercerita itulah, sebuah mobil memasuki halaman rumahnya, suami istri itu saling pandang, bertanya-tanya siapa kiranya pemilik mobil yang malam-malam begini bertamu. Pakdhe Rusman beranjak untuk membukakan pintu. “As Salaamu ‘alaikum, Rus.” Seorang lelaki setengah baya keluar dari dalam mobil, mengenakan kacamata, rambutnya yang tersisir rapi, di beberapa bagian mulai terlihat memutih serta memakai baju batik kualitas tinggi. Tentulah dia bukan orang biasa, dari wajahnya terlihat pancaran kewibawaan yang tidak biasa, nada suaranya saat mengucapkan salam terdengar menggetarkan. “Wa ‘alaikumus Salaam. Tak ada angin tak ada hujan, bagaimana bisa rumahku yang gubuk ini menerima tamu besar seorang pengusaha dari Kota Metro. Monggo melebet, Kang.” Pakdhe Rusman mempersilahkan tamunya masuk, tampak sekali kalau Pakdhe Rusman menaruh rasa hormat kepada lelaki yang gerak dan pakaiannya mencerminkan layaknya seorang ningrat. Budhe Yuni mencium tangan lelaki itu, lalu pamit ke dapur menyiapkan minuman untuk tamunya. Pakdhe Rusman dan lelaki itu duduk berhadapan. “Sudah lama ya, Rus, aku tak berkunjung kemari. Maafkan, karena aku memang sibuk mengurusi perkebunan sawit serta beberapa rumah makanku.” Lelaki itu melepaskan kacamatanya, meletakkan di meja. “Tentunya kedatangan Kang Jatmiko kemari benar-benar punya urusan penting. Apakah ada keperluan bisnis di Bandar Lampung lantas menyempatkan mampir ke sini, Kang?” tanya Pakdhe Rusman yang selanjutkan mengeluarkan bungkusan rokok dari sakunya dan menyulutnya. “Aku dari Kota Metro langsung kemari, karena aku bertujuan untuk menemuimu. Ada hal penting yang ingin kutanyakan. Dari keluarga Trah kita semua sudah kukunjungi, tinggal kamu dan Sukarta. Tetapi jika aku mendapatkan jawabannya darimu maka aku akan langsung kembali ke Kota Metro, tak perlu lagi menemui Sukarta.” Sikap dan kata-kata lelaki yang dipanggil Pakdhe Rusman dengan sapaan Kang Jatmiko itu benar-benar membuat Pakdhe Rusman bingung bercampur kaget, tentulah ini ada hal besar, karena seorang Sujatmiko Brajantara Mahaputra yang seorang pebisnis sibuk itu sampai menyempatkan mengunjungi semua keluarga Trah Brajantara Mahaputra yang tersebar di beberapa kota lainnya selain di Kotamadya Bandar Lampung ini. Pakdhe Rusman masih diam, dia menunggu. Budhe yuni masuk ke ruangan itu dan meletakkan dua gelas kopi di meja, Budhe Yuni sekali pun baru memasuki ruangan sangat bisa merasa ada hal begitu penting yang sedang dibicarakan antara suaminya dengan Kang Sujatmiko, dia pamit ke dalam. “Langsung saja aku ke intinya, apakah anakmu Anita menunjukkan gelagat aneh akhir-akhir ini?” Mendengar nama anaknya disebut oleh tamunya, Pakdhe Rusman tak bisa lagi membendung rasa penasarannya, “Maaf, Kang Jatmiko. Ada apa dengan anakku sebenarnya?” “Baik, aku akan langsung berterus terang saja. Apakah anakmu Anita mewarisi Ajian Brajamusti?” Mendengar pertanyaan yang tak terduga itu membuat jantung Pakdhe Rusman berdetak kencang, Pikiran Pakdhe Rusman langsung paham maksud tujuan dari saudaranya itu, seketika timbul sedikit rasa kecurigaannya, namun karena memang anaknya tidak memiliki Ajian Brajamusti maka tanpa perlu mengarang cerita Pakdhe Rusman mengatakan dengan jujur, “Tidak mungkin anakku memiliki Ajian Brajamusti itu. Dia seorang perempuan, sudah menjadi ketentuan tak terbantahkan bahwa Ajian Brajamusti tak mungkin menurun kepadanya. Lain halnya dengan Kholil, dia mewarisinya, tetapi karena dia tak berniat mendalami, maka Ajian Brajamustinya sampai saat ini hanya berada di tingkatan paling dasar, tetapi aku sudah mewanti-wantinya untuk sebisa mungkin menghindari perkelahian. Aku sadar, meski tingkatannya dasar tetapi sekali pukul pastilah Kholil akan membuat lawan berkelahinya pingsan.” Kang Sujatmiko mendengarkan penuturan saudaranya itu sambil mengangguk-anggukkan kepala, “Kalau dia tidak memilikinya, maka tinggal satu orang lagi yang mungkin memilikinya, yaitu Ayu, putri satu-satunya Sukarta.” “Tidak, Kang Jatmiko. Aku jaminannya, Ayu juga tak memiliki Ajian Brajamusti. Kalau dia memilikinya tentu aku akan tahu, toh jarak rumahku cuma beda desa saja, lagipula Ayu sering berkunjung ke sini, Karta pun tak pernah ada bercerita kalau anaknya menunjukkan tanda-tanda sebagai pewaris Ajian Brajamusti.” Terlihat ekspresi kekecewaan dalam diamnya Kang Jatmiko. Dia tahu bahwa saudaranya itu tak berdusta, meski dia tetap punya keyakinan bahwa pasti ada yang terlewat, karena tak mungkin dia mau bersusah payah mengunjungi semua keluarga besarnya kalau dia sendiri tidak yakin dengan apa yang kini terpendam dalam pikirannya. Setelah meneguk beberapa kali kopinya, Kang Jatmiko berdiri untuk berpamitan. “Aku yakin ucapanmu jujur, tetapi jika benar ada di antara Anita atau Ayu yang secara tiba-tiba menunjukkan ciri-ciri mewarisi Ajian itu, aku sangat berharap kamu tidak menyembunyikannya, karena aku hanya berniat melindunginya, sebab jika itu benar maka Ayu atau anakmu Anita, dalam bahaya besar.” “Bahaya besar apa, Kang?” kejar Pakdhe Rusman. “Aku tak bisa bicara sekarang, kecuali terbukti salah satu dari Ayu dan Anita mewarisi Ajian itu. Aku pamit sekarang, sampaikan salam pada Sukarta, maaf aku tak bisa mampir ke rumahnya.” Kang Sujatmiko berjalan keluar rumah, diikuti Pakdhe Rusman di belakangnya. Pakdhe Rusman tetap berdiri di pintu sampai mobil yang membawa Kang Sujatmiko menjauh dan tak tampak lagi. Lalu dia masuk kembali ke dalam rumah, menghempaskan punggungnya di kursi kayu, menghisap dalam-dalam rokoknya. Pikirannya terbang entah ke mana. “Ada keperluan apa Kang Sujatmiko kemari, Mas?” Tahu-tahu terdengar suara Budhe Yuni membuyarkan lamunan Pakdhe Rusman. “Memang sudah saatnya, Yun. Tak bisa ditunda lagi, besok Deva harus berangkat ke Pagelaran, Pringsewu, untuk menemui Bapak. Kakeknya Deva.” “Apa kedatangan Kang Jatmiko ada hubungannya dengan Deva, Mas?” Rasa penasaran ikut merasuk dalam pikiran Budhe Yuni. “Kang Jatmiko memang tadi tak menyinggung soal Deva, tetapi dia menanyakan tentang anak kita, Anita, dan Ayu, putrinya Sukarta. Apakah salah satu dari mereka mewarisi Ajian Brajamusti? Maka kujawab saja sejujurnya kalau hal itu mustahil, lagi pula memang mereka berdua tak menunjukkan pertanda telah memiliki Ajian Brajamusti.” “Lalu kenapa tak Mas ceritakan perihal keanehan Deva? Bukankah walau Deva seorang keturunan laki-laki, Deva tak mungkin mewarisi Ajian itu karena sudah terputus pada ibunya, Dinda Shofia? Mungkin keanehan ini yang sedang di cari oleh Kang Jatmiko.” “Aku juga tadinya mau menceritakan perihal Deva, tetapi aku tahan. Lagi pula Kang Jatmiko takkan menduga sampai sejauh itu, baginya Ajian Brajamusti sudah terputus di Shofia. Hal yang membuatku waspada, adalah karena Kang Jatmiko tak menjelaskan apa yang melatarinya mempertanyakan itu? Dari mana dia bisa tahu tentang Pewaris Ajian Brajamusti tingkat Akhir yang nantinya akan dimiliki oleh keturunan Trah Brajantara Mahaputra dengan cara diluar kebiasaan? Dulu Bapak menceritakan itu hanya pada kami bertiga. Aku, Sukarta dan Shofia. Baik keturunan dari Eyang Dyah Wulandari, termasuk Kang Sujatmiko, putra dari Paklek Rengganis, maupun keturunan Trah lainnya dari Eyang Siti Padmasasti. Aku sendiri heran, kenapa rahasia itu hanya di sampaikan Eyang Gunapathi pada Bapak, seakan Bapak adalah anaknya yang paling spesial. Setahuku Eyang Gunapathi tak pernah membeda-bedakan perlakuannya terhadap anak-anaknya dari kedua istrinya itu.” Setelah menjelaskan hal itu, untuk kesekian kalinya telinga Pakdhe Rusman yang awas menangkap suara gerakan seseorang dari balik jendela. Secepat kilat Pakdhe Rusman berlari membuka pintu untuk menangkap basah sosok asing yang telah mencuri dengar pembicaraannya itu, ini adalah kali kedua dia memergoki sosok itu. Pakdhe Rusman yang merasa kesal atas kegagalannya tempo hari berharap malam ini bisa menangkapnya. Tetapi sosok itu memiliki kecepatan berlari yang luar biasa, sosok itu kembali lolos, meski pun tadi Pakdhe Rusman sempat melemparkan belatinya dan mengenai sosok itu, ada suara orang menahan sakit terdengar, tetapi sosok itu tak berhenti dan terus berlari. “Astaghfirullaah, takdir macam apa sebenarnya yang akan dilalui Deva, keponakanku itu? Kedatangan Kang Sujatmiko jauh-jauh dari Kota Metro tentulah menjadi pertanda bahwa ini adalah sebuah masalah serius yang besar, apalagi sampai dua kali rumahku di satroni sosok bayangan yang memiliki Ajian Saipi Angin.” === Deva mengemasi beberapa lembar pakaiannya, dibantu dua orang sepupunya, Ayu dan Anita. “Sarapan dulu, Deva. Mobil Travelnya toh datang jam 09.00, sekarang masih jam 08.00,” suara Budhe Yuni dari arah dapur. “Yuk. Kita sarapan dulu, Ibu sudah memanggil tuh.” Anita menarik lengan Ayu dan Deva menuju dapur. Hari ini Budhe Yuni tak berjualan ke Pasar Kangkung, entah apa alasannya. Di Dapur, Deva, Ayu dan Anita tampak menikmati masakan Budhe Yuni, yang bagi Ayu, Anita maupun Deva sudah tahu tentang kelezatannya, Budhe Yuni memang pandai memasak. Usai sarapan Deva ke ruang depan, didapatinya Pakdhe Rusman, Pakdhe Karta dan Budhe Ratih sudah duduk di sana. Suasana pagi ini sangat terasa berbeda bagi Deva, dia merasa sangat spesial di mata dua keluarga yang Deva cintai itu. “Duduk di sini, Deva. Pakdhe mau bicara sedikit sama kamu.” Pakdhe Rusman menarik sebuah kursi kayu yang tadi letaknya rapat dengan meja kayu. “Iya, Pakdhe,” jawab Deva, dengan sopan Deva duduk dan menunggu apa kiranya yang akan dibicarakan Pakdhe Rusman. “Semalam, Keponakan Mbah Sastro, Kakekmu, datang dari Kota Metro. Tampaknya dia tahu dan mencari, siapa di antara keturunan Trah Brajantara Mahaputra yang ditakdirkan muncul dari jalan di luar kebiasaan, yang nantinya akan mewarisi Ajian Brajamusti sampai tinggkatan terakhir. Dia menduga pewaris itu kalau bukan Ayu, ya Anita. Dia tak berpikir kalau itu justru menurun padamu, karena dia percaya bahwa Ajian Brajamusti sudah putus dan hilang di Ibumu, Shofia. Secepatnya kamu harus bertemu dan menyempurnakan Ajian Brajamusti ke tingkatan tertinggi, kalau kamu berhasil menguasainya maka selain kamu akan aman dari pihak-pihak yang tak menyukai keberadaanmu, kamu juga akan menjadi Pimpinan tertinggi Trah Brajantara Mahaputra, menjadi pelindung seluruh Trah dari ancaman Trah lain yang mengusik dan mengganggu semua keturunan Trah kita ini. Itu sebabnya Pakdhe memintamu berangkat ke Pagelaran hari ini juga, semakin cepat semakin baik. Agar lekas terkuak siapa yang berniat membunuhmu dan apa tujuan mereka melakukan itu. Saat ini cuma Mbahmu, Mbah Sastro itulah pemilik Ajian Brajamusti tingkat paling tinggi di antara yang lain, di tingkatan keenam, dan Mbah Sastro tak punya niatan menyempurnakannya ke tahapan terakhir, lagi pula mengingat usianya yang sudah lanjut, tak ada perlunya menurut Mbah Sastro menyempurnakan ilmunya. Tetapi dulu Eyang Gunapathi pernah menceritakan satu hal, bahwa akan terlahir dari keturunannya seorang pewaris Brajamusti yang mencapai tingkatan akhir dengan cara yang tidak biasa. Kami semua tak menduga kalau seseorang yang diramalkan Eyang Gunapathi itu ternyata adalah kamu, Deva, putra dari adik kami, Shofia. Bersungguh-sungguhlah nanti di sana kamu belajar banyak hal dari Mbah Sastro, harapan dari semua keturunan Trah Brajantara Mahaputra ada padamu, jika kamu berhasil maka kamulah yang akan di daulat menjadi pelindung Trah Brajantara Mahaputra.” Pakdhe Rusman bangkit dari duduk dan meraih pundak Deva untuk berdiri, lalu memeluknya, tak kuasa airmata membasahi pipi Pakdhenya yang kini ada dipelukan Deva usai menjelaskan banyak hal sebagai pesan terakhir sebelum keberangkatan Deva ke Pagelaran, Pringsewu. Semua yang ada di ruangan itu tanpa terkecuali ikut meneteskan airmata, antara bahagia dan sedih, juga sedikit rasa kekhawatiran menyelusup dalam relung hati mereka. Bahagia karena ternyata sosok yang dinantikan itu adalah saudara dekat mereka sendiri, keturunan dari Mbah Sastro, sedih karena akan berpisah dari Deva, putra satu-satunya dari pasangan Shofia dan Masruri, untuk jangka waktu yang tak bisa ditentukan, serta sedikit kekhawatiran jika Deva gagal menyempurnakan Ajian Brajamusti, atau orang-orang yang menginginkan kematiannya lebih dulu membunuhnya sebelum Ajian Brajamusti Deva sempurna. Suara klakson dari mobil travel yang sudah di pesan oleh Pakdhe Rusman menyadarkan semua yang ada di ruangan itu bahwa sebentar lagi Deva akan pergi. Satu persatu mereka memeluk Deva, seraya membisikkan kata-kata perpisahan. Sebelum naik ke dalam mobil travel Pakdhe Rusman dan Pakdhe Karta memberikan masing-masing sebuah amplop kepada Deva, yang isinya pastilah sejumlah uang. “Travel itu sudah kami bayar dan akan membawamu sampai tepat di depan rumah Mbah Sastro, simpan baik-baik uang dari kami itu untuk bekalmu selama berada di Pagelaran, Pringsewu. Sebuah perjalanan panjang menantimu, Deva. Kamu mengemban tugas berat yang harus kamu tunaikan, kami di sini menunggumu kembali, untuk melihatmu pulang dalam keadaan sehat wal afiat. Sekarang berangkatlah, sampaikan salam kami pada Mbah Sastro.” Sekali lagi Pakdhe Rusman memeluk keponakannya itu. Deva memasuki mobil travel, mobil pun melesat meninggalkan halaman rumah Pakdhe Rusman. Deva menengok ke kaca belakang, dilihatnya lambaian tangan-tangan mereka melepas kepergiannya dengan segunung amanat yang kini diemban di bahunya. Mobil travel terus melaju semakin jauh dan menghilang di ujung jalan, perlahan meninggalkan Kota Bandar Lampung, Kota kelahiran Deva, menuju Desa Pagelaran, Pringsewu. ===
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD