Tragedi Malam Pertama

1081 Words
    Lenguh panjang terdengar dari mulut Mas Bram. Ritual sakral tanda bahwa aku telah menjadi istri, tunai sudah. Malam pengantin yang sangat menegangkan. Setiap gadis pasti akan takut menghadapi malam pertamanya. Tetapi, tentu tak setakut diriku!      Ini bukan soal belah duren dan rasa pedih yang ditimbulkan oleh robeknya himen atau selaput dara sebagai tanda hilangnya keperawanan. Akan tetapi, ini tentang kesalahan dan dosa masa lalu yang harus kupertanggungjawabkan dan kuterima konsekuensinya.     Aku duduk bersandar pada dinding. Gemetar, tanganku meremas selimut kuat-kuat. Setelah yakin tak menemukan setetes pun darah di atas sprei ranjang pengantin kami yang berwarna putih bersih, mata elang Mas Bram menatapku tajam, tak ubahnya harimau terluka yang meradang dan siap kalap karena rasa sakit yang tengah ditanggungnya.      Aku langsung mengkeret. Tubuhku menggigil karena takut. Keringat dingin deras mengucur dari segenap lubang pori.      “Arimbi!” Terdengar berat suaranya, menahan emosi. “Apa artinya ini, Imbi?!” tanyanya dengan nada tinggi. Sorot matanya tajam, menguliti. Aku tercekat, lidah pun terasa kelu. “Jawab!” bentaknya kemudian dengan bola mata yang mendelik hebat. “Kau jawab sekarang, atau kudatangi kamar orangtuamu sekarang juga?!”      “Ja … jangan, Mas. Kumohon.”     Sekonyong-konyong, kutubruk tubuh suamiku. Kupeluk erat dengan air mata yang terus bercucuran. Namun, alih-alih hatinya melunak, dia justru menghempaskan dengan kasar, hingga aku terjengkang kembali ke atas ranjang.     “Persekongkolan apa ini, Imbi? Kalian menjebakku?”     “Ti … tidak, Mas!” Aku menggeleng cepat-cepat. “Ba… Bapak dan Ibu tidak tahu tentang ini. Se… semuanya murni kesalahanku sendiri.”     Mas Bram terdiam. Dia menatapku penuh telisik dengan kening yang mengernyit. Entah, apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin tengah mempertimbangkan, akankah memercayaiku atau tidak.     "Lalu, mengapa kau menerima perjodohan kita ini? Mengapa kau tak membatalkannya saja? Mengapa kau tak menceritakan sebelumnya? Mengapa kau beri aku sisa? Mengapa kau tak menikah saja dengan orang yang telah mengambil kegadisanmu itu? Mengapa?!” Mas Bram seperti orang kesetanan, mencecarku tanpa jeda. Napasnya memburu, naik turun, karena amarah. Lalu …     "Aah …!”     Prang!      Ditinjunya kaca cermin besar yang terpasang di dinding, tak jauh dari tempat tidur kami. Benda pipih itu pun pecah, berhamburan di lantai. Aku terlonjak kaget dan makin ketakutan. Kutatap ngeri jari-jari tangannya yang mengucurkan darah.      “Ma … maaf, Mas. A … aku bersalah,” kataku kemudian, lirih.     “Kau tahu, Imbi, kuterima perjodohan ini, bukan karena aku jatuh cinta kepadamu. Sama sekali tidak! Melainkan karena rasa hormat serta kepatuhanku kepada orangtua.”     Aku kian tergugu. Rasa bersalah bercampur penyesalan semakin kuat menguasai hati. Seraut wajah Malik pun berkelebat di dalam benak. Perasaan muak dan juga marah kepadanya membuncah di dalam d**a. Andai saja waktu bisa diputar ulang, sudah barang tentu akan kuhindari laki-laki itu sejak awal mula bertemu. Tak akan sudi aku mengenal, apalagi didekatinya.     “Selama ini, aku tidak pernah dekat dengan gadis lain. Bukan karena tidak ada yang menyukaiku. Bukan pula karena tak ada yang bisa memikatku!”     Aku tak menyahut. Dalam hati, percaya dan tak sedikit pun ragu dengan apa yang dikatakannya itu. Tentu saja, ada banyak gadis-gadis yang akan menyukainya. Sebab, laki-laki yang sejak sore tadi telah resmi menjadi suamiku tersebut memang tidak jelek. Meski bukan orang yang murah senyum, dan cenderung terkesan angkuh, sebenarnya dia cukup tampan dan menarik. Wajahnya tirus dengan garis-garis wajah yang tegas. Ditambah dengan intelektualnya yang di atas rata-rata.     "Apa kau tau. Imbi, apa sebabnya?” tayanya, tiba-tiba. Aku tersentak dan gelagapan.     “Semata karena aku ingin menjaga semuanya Imbi! Agar tidak menimbulkan masalah di kemudian harinya. Sebab aku mengerti betul, apa artinya perjodohan. Tapi ternyata, apa yang kudapat sekarang?!”     “Aku mohon maaf, Mas, karena tak bisa menjaga diri. Aku menyesal sekali. Kumohon ampunilah aku.”     “Siapa yang melakukannya, Imbi? Siapa yang telah mencurinya dariku? Atau jangan-jangan, kau serahkan kehormatanmu dengan suka-suka? Murahan sekali!”      Tangisku kian menjadi. Napas pun terasa sesak, sebab ingus yang memenuhi rongga hidung.      “Aku tanya, siapa?!” bentak Mas Bram lagi.     “Ma … Malik, Mas,” jawabku, takut-takut.     “Pacarmu?” sergahnya cepat.      Aku mengangguk, “Du … dulu.”     “Lalu, mengapa kau tak menikah saja dengannya? Mengapa kau malah meneruskan perjodohan kita?"     “Se … semula, aku kira Malik akan benar-benar menikahiku, seperti janjinya. Di … dia … adalah kakak tingkat di kampus. Ka … kami …”     “Kalian saling jatuh cinta, lalu pacaran, begitu?” sambar Mas Bram, memotong.      Aku tak menjawab, hanya mengangguk kecil dengan pandangan yang masih menunduk dalam-dalam.      “Apa sejak semula kau tak mengatakan padanya, bahwa kau sudah terikat perjodohan? Atau jangan … jangan, kau memang tidak ingin dia tahu?”     “Ta … tau,” sahutku segera.     “Ooo … jadi, meski sudah tahu, bahwa kau sudah dijodohkan, tetap saja dia mendekati dan merayumu? Bagus! Benar-benar bagus kelakuannya!” tukas Mas Bram, sarkas.      Aku tak menyahut. Aku memang bersalah. Karena itu, sebaiknya tak perlu membantah ataupun menyanggah. Mas Bram sedang benar-benar kecewa dan terluka, apa pun yang keluar dari mulutku, pastilah hanya akan membuat emosinya semakin meluap-luap.      ‘Lalu, bagaimana bisa kau sampai kehilangan kegadisanmu? Jika kalian memang saling mencintai, bukankah seharusnya justru saling menjaga? Bukan malah merusak seperti ini!”     “Malik bilang, hanya dengan melakukan itu, hubungan kami bisa berhasil.”     “Ooo … jadi, perbuatan rendah itu rencananya akan kalian jadikan senjata untuk menggagalkan perjodohan kita?” sambar Mas Bram lagi. “Kalau memang seperti itu yang kalian rencanakan, lalu mengapa kau tak menikah dengannya? Mengapa kau tak menolak perjodohan ini sejak awal, jika memang tak mau?”     “Te … ternyata, setelah wisuda, Ma … Malik pulang ke Lampung, dan tidak ada kabar berita lagi. Padahal, dia bilang, akan segera menghubungiku, sesampainya di kampung halaman. Dia juga bilang, akan segera datang bersama kedua orang tuanya kemari untuk melamar. Namun ternyata …” “Kau kan bisa mengubunginya duluan. Sekarang zaman modern. Dengan tekhnologi, segalanya sudah sedemikian mudahnya.”      “A … aku sudah berusaha menghubuginya, Mas. Te … tetapi, nomornya sudah tidak aktif, dan aku tidak tahu di mana alamatnya.”     "Ckckck … semula kukira kau adalah gadis yang pintar dan cerdas, Imbi. Tak kusangka, dengan mudahnya bisa termakan rayuan manis penuh tipu daya seperti itu. Dan lihatlah, karena kebodohanmu itu, aku yang tak punya salah apa-apa padamu harus menelan akibatnya! Tega sekali kau!” “Ma … maaf, Mas.”     Hening. Mas Bram tak lagi berkata-kata. Setelah mengenakan kembali pakaiannya, dihampirinya kursi goyang yang berada di sudut kamar.      “Baiklah, Imbi, aku maafkan pengkhianatan ini. Tetapi, besok pagi, akan kuserahkan kembali kau kepada orangtuamu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD