Part 45: Memulai Latihan

2083 Words
Part 45 "Lo bener-bener gak sibuk kan?" tanya Dipta pada Anya. Saat ini mereka telah sampai pulang di rumahnya Delmon dan mereka tengah berada di dalam garasi rumah Delmon yang sangat luas sekali. Banyak kendaraan mewah berjejer rapi disini dan salah satunya milik Dipta sendiri. Tiap bulan Dipta selalu mendapat hadiah mewah dari Delmon dan Freya entah itu kendaraan, uang tunai, game dan lain sebagainya sebagai bentuk aspresiasi mereka kepada Dipta yanh selalu membawa nama baik keluarganya. Walau Dipta sebenernya ingin menolak karena merasa tidak enak dan sebagian harta yang diberikan kepadanya untuk disumbangkan ke anak-anak jalanan sekitarnya. "Enggak, sibuk ngapain juga." "Gue gak enak sama lo, selalu ngerepotin lo." Dipta membuka pintu mobil untuk Anya dan Anya bergegas masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu Dipta masuk ke dalam dan ia akan menyetir mobil kali ini. Sengaja Dipta tidak menggunakan sopir pribadinya sebab lebih nyaman keluar bersama temannya jika dia sendiri yang menyopir. "Sudah gak papa, agenda kita selanjutnya ke rumah si bocah songong itu kan?" "Iya, gue jemput dia. Dia pengen naik mobil mewah katanya." "Norak banget." "Hus Anya, jangan bilang begitu. Maklum lah Balder pengen naik mobil mewah, kita harus lihat latar belakang keluarganya dulu." "Tapi kenapa dia bisa sekolah di sekolahan kita? Dia aja gak pinter amat deh perasaan, kalau semisal dia pinter ya berarti pakai beasiswa."Anya mengernyitkan dahinya. "Dia jalur mandiri bukan beasiswa." "Berarti dia kaya dong? Uang spp tiap bulan aja jutaan kita." "Gue juga gak tau." Dipta mulai menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang dan tidak lupa menyapa beberapa pembantu di rumah Delmon dan Freya. "Apa dia berbohong ya? Mana mungkin dia anak yang gak punya." "Jangan dipikirin tentang bocah itu, bukankah lo bodo amatan sama seseorang yang gak lo sukai?" Dipta melirik Anya sekilas. "Eh iya bener kata lo, kenapa gue jadi bahas dia sih." Anya meruntuki dirinya sendiri. "Jangan-jangan lo mulai suka sama dia nih." "Heh enggak lah!" Anya menepik yang pundak Dipta dan benar-benar kesal jika ada yang menggodanya dikira dirinya menyukai Balder padahal ia sangat membenci laki-laki itu. "Nanti kalian jangan berantem mulu deh, tahan emosi lo itu." "Gak bisa gue, nanti gue tendang dia sampai kepental ratusan kilo meter." "Haha ada-ada aja deh lo. Nanti gue belajar bela dirinya langsung ke kakeknya di padepokan jadi lo jaga sikap lo ya An." "Eh bukan di rumahnya Balder?" tanya Anya yang baru tau nanti mereka juga akan ke padepokan bela diri. "Bukan, gue cuman jemput dia di rumah terus kita berangkat bareng ke padepokan." "Ck, pasti dia makin songong dan bisa leluasa ngejek gue. Mentang-mentang ada di rumah kakeknya nanti." "Sabar, jangan keburu emosi An." Dipta tertawa kecil melihat tingkah Anya sekarang. Diam-diam Anya menatap Dipta dan terpesona pada sosok laki-laki itu yang sedang menyopir mobilnya. Ini pertama kalinya Anya memiliki kesempatan langka merasakan bagaimana rasanya disopiri oleh seseorang yang dicintainya sejak lama. Anya melihat tangan Dipta yang lebih cantik dibanding tangannya. "Gue baru sadar, tangan lo lebih cantik dibanding tangan gue." "Lebih cantikan lo, lo kan cewek." "Kalau gue sama Jessi, lebih cantikan mana?" Dipta terdiam dan sulit menjawab pertanyaan ini sebab di sisi lain dirinya menjaga perasaan Anya supaya tidak sakit hati. Meski berteman, Dipta tau bahwa perempuan sangat sensitif hatinya jika sudah membahas soal fisik. "Lo sama Jessi sama-sama cantik. Di dunia ini tidak ada cewek jelek." "Ah pasti Jessi lebih cantik kan? Lebih sempurna di mata lo hehe." "Enggak, bagi gue itu lo dan Jessi sama saja cantiknya." Dipta tetap memilih jawaban paling aman dan tidak ingin membandingkan keduanya. Anya tersenyum lebar meski di dalam hatinya, ia sudah tau jawaban Dipta yang sebenernya namun laki-laki itu memilih menjawab semuanya cantik. Itu menandakan betap gentlenya sosok Dipta yang bisa menjaga hati seorang perempuan. Bagaimana tidak tersentuh hati Anya dan rasanya tidak rugi mencintai Dipta meski Anya tau cintanya ini bertepuk sebelah tangan. "Kita mampir beli jajan sama minuman dulu." Dipta memarkikan mobilnya di depan supermarket. Anya mengangguk. ... "Wah wah ini rumahnya Jessi." "Halo teman-teman!" Sapa Jessi pada ketiga temannya yang baru saja datang di rumahnya dan berdiri di depan teras rumahnya sambil memandangi sekitar rumahnya. "Halo juga Jessi." Erma, Rosita dan Husna menyapa Jessi balik dan melangkah bersama mendekati Jessi. "Ayo langsung ke tempat kita akan berlatih dance. Gue udah siapin tempatnya." "Lo habis pulang sekolah Jes? Masih pakai seragam." "Hehe iya, gue tadi habis main bentar sama Abra dan Balder." Jessi mengangguk dan memang Jessi masih belum sempat berganti pakaian. "Astaga apa enggak capek, kita nanti langsung berlatih?" "Enggak kok, tapi kita makan cemilan dulu ya. Kalian mau?" Tawar Jessi. "Mau dong, kalau makanan mah mana mungkin gue tolak." Husna mengangguk cepat dan tersenyum lebar. "Gue diet." Erma menggaruk tekuknya yang tidak gatal dan terlihat malu setelah mengatakan perihal dietnya. "Padahal badan lo udah body goals gini masih aja diet?" Jessi dan lainnya terkejut mendengar ucapan Erma. "Gue sebenernya gendutnya cepet. Beda sama kalian yang kurus dari lahir. Jadi gue harus jaga tubuh gue." "Enggak, jangan diet disini. Lo harus ikutan makan sampai kenyang." Jessi merangkul Erma dan mereka semua melangkah bersama menuju sebuah ruangan di lantai tiga rumahnya Jessi. "Lantai rumah lo ada berapa?" "Empat," jawab Jessi santai. "Buset banyak amat. Apa enggak capek naik turun tangga?" Tanya Rosita heran. "Enggak, ada liftnya. Kalau nanti kalian males naik turun tangga tinggal pakai lift aja." Jessi menunjukkan lift rumahnya yang berada paling ujung tiap ruangan. "Rumah lo kayak mall aja Jes." Erma geleng-geleng kepala melihat kemewahan yang ada di rumah Jessi. "Gak ada ruginya bokap gue kerja sama bareng bokapnya Jessi." Rosita terkekeh pelan. "Oh ya mana orang tua lo Jes?" tanya Husna penasaran sebab sedari tadi dirinya tidak menemukan keberadaan orang tuanya Jessi di rumah. "Bokap pulangnya malam kalau nyokap juga sibuk kerja soalnya banyak pesanan desain dan adik gue masih les," jawab Jessi yang sudah biasa ditinggal sendirian di rumah oleh keluarganya. "Berarti beberapa lukisan gaun yang terpajang di dinding itu semua, karya nyokap lo?" "Iya. Keren kan?" Jessi tersenyum dan merasa bangga karya-karya Amanda dipuji oleh teman-temannya. "Keren banget." Teman-temannya Jessi kompak bertepuk tangan. "Gue suka desain-desain gitu, kapan-kapan ajak kita ke kantornya nyokap lo dong. Gue pengen banget lihat nyokap lo lagi desain gitu." "Tentu saja gue bakal ajak kalau kalian pengen." Sesampainya di sebuah ruangan yang cukup luas bahkan tersedia kaca berukuran besar tertempel di dinding. "Eh gue suka lantai ini, ini tempat dance kah? Kok lo punya ruangan lebar kayak begini." Erma tersenyum dan merasa nyaman dengan lantai di ruangan ini bahkan ia langsung rebahan di tengah-tengah sambil kedua tangan dan kakinya diayunkan. "Lantai ini rasanya empuk dan gue vak khawatir terluka juga kalau gak pake alas kaki karena gue pernah dance di ruangan yang lantainya ini." Lanjut Erma. Lantai di ruangan ini memiliki nama yaitu lantai vinyl. Lantai ini dibuat dari polimer sintetik dan motif dari lantai yaitu motif kayu, bebatuan, bunga dan lain sebagainya membuat ruangan ini nampak modern. "Bukan ruangan dance, gue dan keluarga gue gak ada bakat menari. Ruangan ini rencananya mau dijadikan tempat gym gue cuman alat-alat olahraganya masih otw ke rumah gue." Jessi pun menjelaskan ruangan ini akan dijadikan apa. "Wah lo punya tempat khusus buat olahraga, gue aja cuman punya satu doang yang lari-lari itu dan dimarahi sama bokap karena harganya yang mehong." "Erma, lo yang mimpin pemanasannya sebelum dance. Eh ajarin dong biar badan bisa body goals yang tanpa diet berarti kasih tau olahraganya kayak gimana." Rosita duduk di sebelah Erma dan tiba-tiba ia tertarik berolahraga untuk membentuk tubuhnya menjadi body goals. "Tiap minggu datang aja ke rumah gue. Gue olahraga sama nyokap." "Oh lo suka olahraga juga karena nyokap?" "Haha bener, karena kebiasaan nonton nyokap suka olahraga dari dulu jadinya gue ikutan." "Gue tim rebahan." Husna mengangkat tangannya dan sangat mager sekali berolahraga. "Sebenarnya gue juga tim rebahan, gue olahraga di hari-hari tertentu dan pengen aja." Timpal Jessi. "Lo paling tinggi di antara kita," ucap Rosita yang memuji tinggi badan Jessi. "Keturunan papa." "Hidup lo sempurna banget, Jes. Dimulai dari fisik, ekonomi dan hampir semua yang gue lihat lo perfect banget." Rosita menatap Jessi heran. "Heh gak semua hidup orang itu kelihatan perfect di mata lo, pasti Jessi juga ada sesuatu yang membuatnya sedih dan semuanya gak ada yang namanya sempurna." "Bener, Husna. Mungkin kalian semua melihat hidupku gue sempurna banget tapi ada suatu hal yang buat gue masih kurang. Bukan gue gak bersyukur tapi ada seseorang yang tiap gue ingat dia, gue ah gue gak pengen nangis." "Jessi, jangan nangis." Erma memeluk Jessi dari samping dan mengusap punggung Jessi. Jessi tersenyum saja. "Rosita, orang tua kandung Jessi cerai dan Jessi tinggal sama ayah kandungnya dan ibu tirinya." Bisik Husna dan hanya Rosita yang mendengarnya. "Astaga gue baru tau." Rosita membekap mulutnya sendiri. Setelah hampir setengah jam mereka mengobrol dan menikmati makanan yang telah disedikan oleh pembantunya Jessi. Mereka berempat mulai melakukan pemanasan sebelum berlatih menari modern (dance) dan belum ada satu jam, Husna sudah tepar di tempatnya. "Gue remaja jompo guys." Napas Husna terdengar tidak beraturan sama seperti yang lain padahal ini baru pemanasan. "Astaga masih bentar doang lo ini." Erma berkacak pinggang melihat salah satu temannya yang sudah lemas. "Haha ayo Husna semangat!" Jessi tertawa lalu membantu Husna berdiri. "Capek sumpah huee." ... "Ini rumahnya Balder?" "Iya, dia kirim lokasi dan foto depan rumahnya." "Ah begitu." Anya mengangguk paham. Dipta dan Anya keluar dari mobil kemudian melangkah menuju rumahnya Balder. Suasana di sekitar rumah Balder lumayan ramai karena termasuk ada di wilayah kampung. Anya yang tak terbiasa dengan suasana ramainya tetangga membuatnya bingung sendiri sedangkan Dipta sudah terbiasa di lingkungan seperti ini. Dipta mengetuk pintu rumah Balder sambil memanggil Balder. Tidak lama pintu terbuka menampilkan sosok gadis mungil dan menatap mereka bingung. "Kalian artis? Mau bagi-bagi sembako?" "Ha?" Anya membuka mulutnya lebar dan bingung sendiri karena dianggap artis oleh gadis itu. "Pertama kalinya ada orang bilang gue artis. Wah gue emang secantik itu ternyata." Anya langsung tersenyum lebar dan mengibaskan rambutnya. Ia makin percaya diri karena disebut artis oleh gadis itu. "Kita bukan artis." Dipta pun menjawab sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Oh gitu, soalnya vibesnya kayak artis-artis. Gak ada kamera kan?" Gadis itu keluar dari rumah dan celingukan mencari kamera. "Enggak, kita hanya berdua saja kesini. Kita temannya Balder." "Eh gue lupa tadi ada yang manggil abang gue." Gadis itu menepuk dahinya pelan seketika teringat sesuatu. "Silakan masuk, abang masih di tempat kerja. Emang sudah janjian?" Gadis itu mempersilahkan mereka berdua masuk ke dalam rumahnya. Anya dan Dipta duduk di ruang tamu dan matanya menatap sekeliling dalam rumahnya Balder. "Gue kira orang berada, lo masih ingat ucapan gue tadi?" Bisik Anya dan Dipta pun menyuruhnya untuk tidak membahas soal itu disini. "Banyak amat pialanya." Gumam Anya ketika matanya salah fokus pada sebuah lemari kaca yang berisikan banyak sekali piala dari ukuran kecil sampai besar. "Gue sudah janjian sama abang lo. Abang lo kerja apa?" tanya Dipta berbasa-basi pada Belia. "Abang gue kerja di bengkel. Nama gue Belia dan kalian namanya siapa?" tanya Belia. 'Buset ada cogan lagi nih, kenapa abang gue punya teman cakep-cakep sih? Apa karena sekolahannya sekolahan wow ya?'---pikir Belia. "Gue Dipta dan ini Anya. Salam kenal ya." "Salam kenal juga." Belia merapikan rambutnya yang dirasa berantakkan. "Gak lama kan?" tanya Anya sambil menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Enggak, mungkin otw pulang. Coba kalian hubungi abang gue." "Udah, tapi belum dibalas." "Berarti udah otw pulang." "Oh gitu, lo sendirian di rumah?" tanya Dipta dan merasa rumah ini sangat sepi sekali. "Iya sendiri soalnya ibu sama bapak lagi di luar. Ibu nganter bapak kontrol." "Woy lama kah?" Seseorang datang dengan napasnya yang ngos-ngosan dan suaranya itu mengagetkan mereka bertiga. "Astaga abang!" Pekik Belia sembari menghampiri abangnya yang masih mengenakan seragam kerjanya. Tatapan Balder bertemu dengan mata Anya yang menatapnya tajam. "Lha lo ikut?" Balder menghampiri gadis itu yang menjadi musuh bebuyutannya setelah memberikan tas sekolahnya pada adiknya dan menyuruh adiknya balik ke kamarnya. Anya yang akan menyemprot kata-kata tajamnya namun segera ditahan oleh Dipta. "Sabar, jangan mudah kepancing emosi." Dipta menyuruh Anya mengatur napasnya supaya emosinya tidak jadi naik ke atas ubun-ubun. "Gue nungguin lo dari tadi." Dipta beranjak berdiri dan melihat Balder tengah melebar seragam kerjanya. "Eh sorry-sorry, gue tadi dipanggil bos karena ada kepentingan kerjaan. Ya sudah kita langsung pergi. Gue cuman lepas seragam kerja doang sama ambil jaket." Balder melipat asal wearpacknya alias baju seragam kerjanya dan menaruh di atas sofa yang nantinya akan dirapikan oleh adiknya. Saat Anya melewati Balder yang tengah mencari sepatu di rak sepatu terletak di dekat pintu, gadis itu sengaja mendorong Balder dengan kakinya sehingga membuat Balder terhuyung ke samping. "Anj!" ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD