Part 3: Cat

3093 Words
Untungnya perkelahian antara Faisal dengan Abra bisa dihentikan dikarenakan salah satu dari mereka yang tiba-tiba kabur setelah mengetahui banyaknya murid yang menonton mereka dan alasan Faisal kabur karena jika makin lama banyak kerumunan murid dipastikan akan ada guru yang menghampiri ke tempat ini. Abra memincingkan matanya menatap kepergian mereka dan merasa aneh saja padahal mereka bertengkar hanya sebentar saja. 'Adik tiri?'--Abra tau siapa yang lelaki yang usianya setahun lebih tahun lebih muda darinya itu. Dialah adik tirinya yang terlahir beda ibu dengannya. Anak dari selingkuhan ayahnya dan itu semakin membuat Abra emosi jika mencoba mengingat masa lalunya. Namun Abra alias Felix itu sadar, ia sekarang sedang menyamar dan harus menjaga dirinya. Felix meludah ke samping lalu menatap Dipta yang menatapnya juga. "Hmm btw makasih ya tapi lebih baik jangan nolongin gue." Dipta menghampiri Abra dan kini mereka telah berhadapan. Dipta menggaruk rambutnya karena kebingungan mendapat respon diam saja dari Abra tapi dia merasa tidak pamit pergi begitu saja setelah mendapat pertolongan dari Abra dan karena lelaki itu menolongnya membuat uangnya aman. "Bubar!" Suruh Dipta kepada murid-murid yang masih berdiri dan menatapnya ke arah mereka di sekitarnya. "Yahh gak asyik sudah bubar begitu saja." "Keren lho si murid baru tadi." "Iya nih, gak nyangka pintar banget geludnya." "Dilihat dari tampangnya memang pintar banget geludnya." "Tapi kayaknya bakalan jadi perusuh deh." "Tapi dia yang nolongin Dipta dari Faisal si preman sekolah kita." Banyak sekali komentar-komentar dari murid di sekitar mereka tentang kejadian yang baru saja terjadi disini. Tentu Dipta dan Abra mendengarnya. "Lo gak ada luka kan?" tanya Dipta yang tidak tau mau berbicara apa karena Abra hanya diam saja sambil menatap sekitar. Maklum saja Abra murid baru yang masih belum terlalu mengenal fasilitas di sekolah ini. Abra menggeleng saja lalu mulai melangkah pergi. "Lha malah pergi gitu aja, sebenernya denger ucapan gue gak sih?" Dipta masih bingung dan heran melihat sikap Abra yang begitu. "Apa mungkin sifatnya yang bodo amat ya?" Sedangkan Abra masih melangkah gontai dan sengaja berkeliling di area sekolah barunya ini. "Bagus." Hanya satu kata terlontar dari mulutnya saat menemukan tempat yang menurutnya bisa menenangkan emosinya yang seringkali tidak bisa terkontrol. "Cupu sekali." Abra teringat pertengkarannya dengan adik kelasnya yang mencoba membully salah satu seseorang yang dikenalinya. "Dipta. Gue masih ingat lo walau lo gak tau gue ini siapa." Abra menghembuskan napasnya, Abra alias Felix pernah berteman tak terlalu dekat dengan Dipta. Felix mengenal Dipta dari Jessi namun juga ia pernah bermain bersama dengan lelaki itu tanpa Jessi. Kini Felix berada di sebuah taman dan taman ini begitu sepi sekali suasananya. Lantas ia pun merogoh saku celananya mengambil ponselnya dan mulai melihat beberapa notifikasi yang masuk di ponselnya. Banyak murid sekelasnya dan beberapa murid yang berbeda kelas dengannya memintanya untuk menyimpan nomer mereka. Felix geleng-geleng kepala dan mengabaikan mereka semua. "Kok bisa ya gue satu sekolahan sama mereka." Mereka yang dimaksud Felix adalah Jessi dan Dipta. Felix berusaha menjauh namun Tuhan berkata lain dan menakdirkannya bertemu dengan mereka kembali. "Eh lo kok duduk disini?" Felix yang sedang merenung pun langsung menoleh ke asal suara seseorang yang suaranya mendekat ke arahnya. Ada dua gadis yang raut wajahnya seperti sedang menahan tawa. Felix mengernyitkan dahinya, tak paham apa yang mereka katakan padahal ia hanya duduk saja tapi dipermasalahkan oleh mereka. "Itu cat tempat duduknya belum kering deh." Seketika Felix melototkan matanya lalu melihat tangannya yang baru saja menyentuh tempat duduknya dan benar saja apa yang mereka katakan bahwa tempat yang didudukinya ini catnya masih belum kering sepenuhnya. Felix pun berdiri agak melompat dan melihat sekilas belakang tubuhnya yang terdapat beberapa bercak cat berwarna cokelat. 'Pantesan ini taman sepi, ternyata masih dicat. Anjng gue baru tau'---Batin Felix sambil menatap sekitar taman ini dan baru tau ada tulisan dilarang menempati taman ini beberapa hari ke depan dikarenakan masih proses perbaikan. Felix menatap ke arah mereka yang memberitahukannya tadi dan mereka tertawa terbahak-bahak menatapnya. "Lo anak baru ya?" "Eh ganteng banget." "Haha tapi lucu seragamnya ada bercaknya." Felix menatap mereka berdua tajam sehingga membuat mereka sedikit ada rasa takut menatapnya dan lari begitu saja meninggalkannya sendirian di taman ini. "Argh sial! Baru aja hari pertama sekolah disini. Nama apes mulu." Felix menendang kursi itu beberapa kali membuat kursi berbahan kayu yang dicat cokelat itu terdapat bercak telapak kaki sepatunya. Felix berdecak kesal lagi karena lupa kalau cat bangku itu belum kering dan malahan menendangnya. "Sepatu gue kena juga cuk." Umpat Felix yang makin kesal. Akhirnya Felix meminta tolong kepasa Balder melalui teleponnya dan menyuruh temannya datang ke tempat ini sebelum bel masuk sekolah berbunyi sebentar lagi. "Astaga lo kenapa?" Balder terkejut melihat seragam Felix dari belakang yang kotor karena cat. Felix menunjuk ke arah tulisan peringatan tadi yang diletakkan di badan pohon melalui sorotan matanya. Ia meraih hoodie miliknya yang dibawakan oleh Balder. "Hahaha gak biasanya lo b**o Lix." Balder tertawa keras membuat Felix mendengus dan menepuk pundak temannya. "Jangan manggil gue Felix." Felix takut jika ada yang tau nama aslinya Felix dan bisa menimbulkan suatu hal yang tidak diinginkannya. "Eh iya, gue lupa." "Di depan Jessi juga. Bahaya tau." "Iya ya gue lupa. Sorry." Balder sadar dan tidak melanjutkan tawanya yang lebar tadi. Ia menahan tawanya saja dan kalau bisa tidak menatap Felix yang pastinya dirinya akan tertawa lagi. "Terus lo pakai hoodie sampai nanti pulang sekolah tiba?" tanya Balder heran pada Felix dan sekarang mereka berdua tengah melangkah gontai menuju kelas mereka. Felix mengangguk. "Lo tau kan aturan sekolah disini?" Balder mencoba mengingatkan Felix tentang aturan sekolah disini yang melarang mengenakan hoodie atau jaket saat berada di dalam kelas. Felix mengangguk lagi tanpa berbicara separah kata apapun. Balder sudah biasa menyikapi sikap temannya yang malas sekali berbicara panjang lebar dan tipe orang yang tidak banyak omong namun lebih suka bertindak langsung. Balder menghela napasnya pelan melihat Felix berjalan masuk lebih dulu ke dalam kelas. Felix disambut oleh beberapa siswi yang mengaku menyukainya karena panasnya yang tampan tapi hanya dibalas dengan senyuman sekilas saja dari bibir Felix sedangkan sikap Felix itu berbanding dengan Balder yang menggoda balik ke para siswi yang menggodanya. Felix duduk di samping Jessi yang wajahnya masih tampak sebal. Ia mengabaikan gadis itu dan berusaha sebisa mungkin tidak mengakrabkan diri karena Felix sudah tau Jessi itu siapa di masa lalunya membuatnya tak ingin terlalu dekat. Meski sangat sulit dan entah bisa atau tidak mengabaikan Jessi yang sedari kecil dirinya perhatikan. Jessi duduk dengan posisi kepala yang tidur di atas buku yang menjadi bantalannya. Jessi juga sempat melirik Felix tapi buru-buru membuang pandangan ke arah lain. Felix mencoba menyibukkan diri dengan membaca pelajaran yang sebentar lagi akan dimulai. Tiba-tiba Jessi bangun dan duduk tegak tapi badannya agak dimiringkan ke arahnya. Felix terlonjak kaget saat kepala gadis itu tepat di depannya yang otomatis Felix memundurkan wajahnya. "Hehe kaget." Jessi pun tersenyum sampai matanya menyipit lalu raut wajahnya kembali kesal dan tidak lagi tubuhnya terlalu dimiringkan ke Felix. 'Kaget gue'--Felix merasakan jantungnya berdegup sangat kencang, apa yang dilakukan gadis itu tadi membuatnya terkejut sekali sebab Felix tadi mulai serius membaca buku pelajarannya. Namun Felix tetap bersikap biasa saja dan tidak merespon apa yang gadis itu lakukan tadi kepadanya. "Kaget ya tadi?" tanya Jessi pada Abra. Abra atau Felix berdehem saja. "Emm maaf tapi sengaja." Jessi terkekeh pelan dan gadis itu benar-benar sangat usil sekali kepada Abra. Mengetahui diabaikan oleh lelaki itu membuat Jessi tidak tinggal diam begitu saja. Ia ingin menarik perhatian Abra meski sepertinya agak sulit. Disisi lain, Felix sendiri agak menyesal juga duduk sebangku dengan Jessi kalau tau bakal begini dan diganggu terus oleh Jessi. Entahlah tadi mendadak mau saja diajak duduk sebangku oleh Jessi. Ia pikir Jessi tidak seheboh dulu ternyata semakin menjadi-jadi sifatnya. "Kenapa ya wajah lo ini enggak membosankan dan gue juga kayak gak asing gitu sih." Jessi menyipitkan matanya memperhatikan wajahnya Abra or Felix. Mata Felix seketika lurus dan tubuhnya menegang setelah mendengar ucapan Jessi baru saja. Jessi tersenyum lebar dan merasa Abra tidak mengabaikannya sekarang. Benar dugaannya, Abra menatapnya balik tapi Jessi merasa aneh karena ditatap tidak suka oleh lelaki itu. "Bisa diam tidak?" Suara Abra penuh penekanan dan merasa tidak nyaman saja mendengar ucapan Jessi yang mengatakan wajahnya itu seperti tidak asing. Jelas Abra or Felix paham langsung ucapan Jessi mengarah ke hal apa. "Enggak bisa," jawab Jessi asal dan merasa tidak takut sama sekali kepada Abra. Jessi menjulurkan lidahnya lalu cekikikan tidak jelas. Abra menghela napasnya karena Jessi sangat keras kepala sekali dan masih saja mengganggunya. "Jessi, kayaknya lo suka sama Felix?" Tebak Erma yang duduknya berada di belakang Jessi. "Ih enggak, gue cuman ganggu aja karena dia itu gemes banget. Bikin gereget." Jessi terkekeh pelan sambil kedua tangannya terkepal kuat karena saking gemesnya terhadap Abra. "Pertama kalinya ini lo ganggu cowok sampai segitunya, memang sih auranya Abra tidak ada yang mengalahkannya. Baru kali ini di kelas ada cowok tertampan." Erma juga ikutan terkekeh pelan. Cowok yang sebangku dengannya pun mendengus sebal. "Jadi gue jelek gitu? Padahal gue ganteng begini dan kece." "Lo ganteng? Ganteng dari ini nih." Erma menunjukkan lubang hidungnya saat teman sebangkunya tidak terima dirinya dikatakan jelek. Jessi tersenyum menatap temannya itu lalu menatap ke Felix lagi yang masih serius membaca buku pelajaran sejarah. "Serius amat baca bukunya. Eh iya ya lo pintar, tadi aja cepet ngerjain tugasnya." Gumam Jessi dan masih terdengar jelas oleh Felix. "Transfer otak lo dong ke gue, gue malas baca nih." Jessi terus berupaya mengajak Abra mengobrol tapi dihiraukan oleh lelaki itu. "Ya ampun kenapa sih gue dicuekin terus padahal ya disana banyak laki-laki yang ingin dekatin gue tapi lo malah cuekin gue. Harusnya lo bersyukur kek, deket sama cewek cantik dan imut kayak gue ini." Suara Jessi terdengar sudah geregetan sekali kepada Abra yang terus mengabaikannya. "Berisik," ucap Abra tanpa menoleh ke Jessi. "Ih." Jessi memanyukan bibirnya dan lelah sudah mengomeli Abra. Jessi pun meletakkan kembali kepalanya di atas meja dan bertepatan dengan itu suara guru menyapa murid kelas ini sudah terdengar berserta suara pantulan pantofelnya yang menggema di lantai kelas 11 IPS 1 tersebut. "Astaga." Jessi berdecak kesal dan mau tidak mau menegakkan tubuhnya kembali. "Lho kamu murid baru kan?" Mata guru itu terfokus pada muridnya yang masih mengenakan jaket di dalam kelas. "Iya, Bu."Jawab Abra. "Ngapain pakai jaket di kelas?" "Sakit." Di belakang sana, Balder ikut kesal mendengar alasan Felix yang mengatakan sakit padahal temannya itu baik-baik saja. 'Kebiasakan bilang sakit ini orang, sudah dibilang gak boleh bilang kek gitu kalau lagi kondisi badan sehat walafiat begini'---ucap Balder di dalam hatinya. "Sakit? Sakit apanya?" Dahi Jessi berkerut lantas memeriksa suhu badan Abra di dahi laki-laki itu sendiri. 'Haduh ini bocah'--Abra berdecak kesal di dalam hatinya dan tidak bisa melawan gadis itu. Rasanya tubuhnya seperti kaku ketika Jessi memeriksa suhu badannya di dahinya padahal ingin rasanya Abra menepis tangan mungil sialan itu tapi sungguh tidak bisa. "Enggak, Bu. Badannya sehat-sehat aja." Jessi menggelengkan badannya dan melapor ke guru tersebut bahwa kondisi Abra yang sebenernya masih dalam keadaan baik-baik saja. "Benarkah Abra?" Guru itu berjalan mendekati bangku mereka dan suasana di kelas seketika menjadi hening. Perhatian mereka semuanya tertuju ke arah bangkunya Jessi dan Abra. "Benar, Bu." Jawab Abra yang terpaksa harus jujur. "Kenapa beralasan sakit segala? Kamu tau kan, kita tidak boleh bicara asal-asalan. Kalau kamu dikasih sakit beneran gimana? Tubuh sehat begini kok berasalan sakit. Lepas itu jaketnya!" Perintah guru perempuan itu kepada Abra. Abra dengan rasa ogah-ogahannya melepaskan hoodienya secara perlahan. "Seragam lo kenapa tuh banyak bercak cat warna cokelat." "Eh bau cat." "Gue tadi sudah merasakan bau cat dan ternyata dari Abra lhoh." Itu beberapa komentar dari murid di kelas ini setelah Abra melepaskan jaketnya. "Cat?" Guru itu kebingungan lalu menatap punggung seragam Abra dan benar ucapan beberapa murid dari arah belakang bangku Abra yang mengatakan kalau seragam Abra bagian belakang terdapat beberapa bercak cat. "Buset." Jessi membungkam mulutnya sendiri dan ikut syok melihat seragam belakang Abra yang terkena cat. "Kamu habis darimana ini seragammu kena cat begitu banyaknya?" "Duduk di bangku taman yang masih diperbaiki Bu!" teriak Balder dari arah belakang dan banyak murid pun menertawai hal lucu yang menimpa Abra. "Lha kok bisa? Bukankah disana ada tulisan peringatannya." "Mungkin enggak dibaca sama dia, Bu." Tebak Jessi yang langsung diangguki oleh Abra. "Hadeh, pentingnya membaca ya anak-anak biar gak kayak begini." Abra alias Felix itu merasa sedikit malu ditertawai oleh teman-teman sekelasnya tapi ia berusaha bersikap biasa saja. Entahlah rasanya buat hari ini cukup sial baginya. "Hahaha kok bisa lho hahaha." Jessi tidak berhenti tertawa dan guru itu menegur beberapa murid yang masih menertawai Abra. "Ternyata b**o juga." Bisik Jessi sembari mengedipkan salah satunya matanya ketika Abra menolehkan pandangannya ke gadis itu. Abra menahan rasa sesalnya dan berulang kali menghela napasnya karena sikap Jessi sangat menguji emosinya siang-siang hari ini. ... Pulang sekolah pula Felix masih saja ditertawakan oleh Balder. Memang teman kurang ajar, bisa-bisanya tertawa senang di atas penderitaan temannya sendiri. "Untung jaket lo gak disita sama guru tadi." Balder menepuk pundak Felix dan sangat susah pula menghentikan tawanya. Jaket/Hoodie Felix hampir disita dan saat tau mengapa Felix mengenakan jaketnya membuat guru itu tak jadi menyita jaketnya. Felix hanya diam saja dan fokus berjalan sambil kedua tangannya dimasukkan kedalam saku jaketnya. Namun saat dirinya sudah berada di lapangan dan akan menuju ke gerbang sekolah, matanya tak sengaja menatap seseorang yang dikenalinya. "Napa Nyet?" Reflek Balder ikutan menghentikan langkah lebarnya lalu mengikuti arah tatapan Felix saat ini. Balder pun mengangguk paham tanpa Felix jelaskan. Disana Jessi sedang berbincang dengan seorang pria paruh baya yang tidak lain adalah papanya Jessi sendiri. "Bokapnya kan?" Balder sambil manggut-manggut dan memegangi dagunya. Lalu Felix melanjutkan jalannya lagi bersama Balder. Temannya dari kecil sampai sekarang dan memang rumah mereka berdekatan bahkan mereka saling menganggap saudara bukan lagi teman biasa. "Lix, gue pengen tato punggung deh." Balder duduk di halte bus dan mereka sedang menunggu bus sekolah datang. Mereka berdua sama-sama tidak mengendarai kendaraan meski juga di rumah ada kendaraan tapi itu keinginan Felix sendiri yang tidak mau mengendarai kendaraan ke sekolah dan lebih suka menaiki bus. "Jangan aneh-aneh!" Tegur Felix. "Pengen aja gitu kayaknya bagus, mau tato dugong." Felix menatap sinis ke temannya yang ada saja kelakuannya membuatnya mengelus d**a. "Kan gak kelihatan, beda lagi kalau tindik. Ngeri juga sih bayangin dulu dilepas tindik gue." Balder bergidik ngeri membayangkan dulunya pernah memadang tindik di lidahnya yang akhirnya ketahuan oleh gurunya. Dimana lidahnya berulumuran banyak darah yang pada akhirnya dibawakan menuju ke rumah sakit untuk ditangani secara medis dan diwaktu itu pula Balder tak bisa makan apa-apa karena sakit sakit yang diderita di bagian lidah. Walau Balder seperti itu orangnya tak membuat Felix mudah terpengaruh karena ia berpikir kedepan dampak buruknya seperti apa. "Jangan aneh-aneh!" Ulang Felix supaya temannya itu segera sadar. "Cuman tato doang kok kan dipunggung dan jelas tidak kelihatan." "Mikir, ada pelajaran renang wajib setiap semester." "Pakai seragam lah." "Sudah baca aturan?" Felix menunjukkan ponselnya yang disana terpampang jelas tulisan berisi aturan berenang yang dimana laki-laki diharuskan melepaskan bajunya atau biasa disebut bertelanjang d**a. "Halah kenapa harus cewek yang pakai baju, mereka harusnya pakai bikini kan? Enak aja cuman cowok doang yang disuruh nampilin susunya." Balder memperagakan bagian atas seorang perempuan dengan tangannya yakni mengayunkan kedua tangannya ke depan dan dilengkungkan. Felix mendelik mendengar ucapan temannya yang kelewat kotornya padahal mereka sedang berada di tempat umum dan mereka berdua ditatap aneh oleh orang-orang di sekitar halte bus. Felix menepis tangan Balder yang masih saja memperagakan milik perempuan sebesar apa di depan dadanya. "Hehe tapi gak semua cewek anunya besar sih." "Sudah!" Suruh Felix kepada Balder yang bicaranya mulai tak terarah. Posisi mereka sekarang lagi berdiri sebab mengalah dengan orang-orang yang lebih tua dari mereka untuk duduk. "Elah biasanya juga otak lo kotor. Sok alim deh lo." Balder tidak mau disalahkan sendirian dan menuduh temannya juga. "Bisa diam tidak?" "Punya Jessi besar kan?" "Aduh!" Balder berteriak begitu keras saat tulang kering kakinya ditendang kuat oleh Felix. "Anj pincang gue!" Eluh Balder sambil memegangi pinggiran halte bus dan sedikit membungkukkan badannya. Begitulah yang akan dilakukan oleh Felix jika temannya tak bisa diam dan terus berbicara rusuh apalagi menyangkut Jessi. Felix mengabaikan Balder yang kesakitan dan membiarkan Balder berjalan pincang sendirian setiba bus sekolah sudah tiba di depan halte. ... "Heh bocil." "Ih kakak ganggu adek aja." Sosok gadis keci berusia 10 tahun itu berdecak kesal karena merasa kehadiran kakaknya baru saja mengganggu kesibukannya. "Emang kamu lagi ngapain?" Jessi sudah sampai di rumah diantar pulang oleh papanya yang kebetulan pulang sore dan ia tak langsung masuk ke dalam rumah melainkan melihat adiknya yang entah sedang ada di latar rumah mereka sekarang. "Main t****k?" Jessi tertawa melihat bocah yang masih duduk dibangku sekolah dasar begitu lincahnya membuat video yang lagi trending di salah satu aplikasi yang tidak asing lagi bagi hampir semua orang. Alden menggelengka kepalanya melihat kedua putrinya yang entah ia tak tau sedang membicarakan apa dan ia lebih memilih masuk ke dalam rumah karena sudah tak sabar bertemu istrinya. Setiap hari dirinya merindukan sosok istrinya yang ia cintai dan merasa bersalah karena sering ditinggal sibuk bekerja walau Amanda tidak mempermasalahkannya. "Ih kakak jangan deket-deket nanti ikut ada divideo, ini hampir jadi tau." Arumi menggeser ponselnya supaya kakaknya tidak ikut berada di dalam videonya. "Overdosis, rumah sakit. Nyawamu melayang tetetetretetet." Arumi menggoyakan kedua tangannya dan menadi sesuai lagu yang lagi trending. "Njir orang mati karena overdosis ada lagunya." Jessi berkomentar dan tidak tau apa-apa pula terhadap aplikasi itu. "Ck, suara kakak kerekam ih." Arumi berdecak kesal lagi karena ketika rekaman videonya telah selesai, kakaknya ikut berbicara dan Arumi lupa menekan tombol berhenti sehingga suara kakaknya juga ikut di dalam video itu. Jessi tertawa terbahak-bahak mendengarnya lalu gadis itu diusir oleh adiknya. Jessi pun mengalah karena sudah mendengar suara mamanya yang memperingati dirinya untuk tidak menggoda adiknya terus-menerus. Jesai berlari cepat menuju kamarnya dan segera membersihkan tubuhnya. Jessi masih saja tertawa teringat adiknya tadi namun tawanya tiba-tiba memudar saat tidak sengaja pikirannya tertuju pada dua cowok yang membuatnya kesal hari ini yaitu Dipta dan Abra. "Ck, mereka gak asyik banget deh sumpah bikin kesel mulu." "Si Dipta yang kurang asyik dan gak nyimak apa yang gue ceritain. Ya satunya lagi si Abra, cuekin gue mulu. Argh sebel gue ini." Saking kesalnya, Jessi meletakan handuknya begitu saja di atas tempat handuk tanpa dijabarkan terlebih dahulu dan Jessi melangkah gontai sambil menyisir rambutnya menuju balkon kamarnya. "Ah enaknya, seger banget."Jessi merentangkan kedua tangannya, badannya yang tadi lengket kini sudah segar kembali. "Ih jangan-jangan mikirin cowok itu." Jessi memukup kepalanya sendiri saat sekelebat memori ketika dirinya mengaku bahwa wajah Abra begitu tampan dan tipe wajah yang tidak membosankan meski ditatap dalam waktu yang lama. "Apa-apaan sih gue malah mikirin itu cowok." ... Abra sama Felix sama aja ya guys, jangan pada bingung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD