Part 27: Kerja Kelompok

3022 Words
Di hari minggu ini, sosok gadis cantik berambut sebahu dan poninya yang menambah kesan imut di wajahnya sekarang sedang bernyanyi sambil melakukan gerakan tarian asal. "Yuhuu." Ada handuk dipundaknya dan tangannya sedang membawa pelindung rambut berbahan plastik itu sebagai mic-nya bernyanyi. Gadis itu menyalakan sebuah lagu kesukaannya dan lagu itu membangkitkan suasananya agar menjadi lebih semangat dibanding dengan sebelum-sebelumnya. Masih mengenakan piyama berwarna merah muda disertai motif gambar harimau berdiri di atas kasur yang menjadi panggung dadakannya. Ia membayangkan dirinya bisa konser sendiri dan sesekali tangannya pula mengarah ke bantal serta guling yang ditata rapi di pinggir kasur. Menganggap mereka adalah fansnya dan menyuruh ikut serta bernyanyi bersamanya. "Yuhu ahaayyy bruh." Musik yang makin menggelegar suaranya sehingga tak dapat mendengar jelas kalau sedari tadi pintu kamarnya diketuk berulang kali oleh seseorang dari luar kamarnya dan makin lama gadis itu mendengar namun tak kunjung dibukakan pintu kamarnya. "Jessi! Jessi buka pintunya!" "Jessi!" "Ya ampun Jessi!" Teriak seorang yang sudah frustasi sekali karena suaranya tak kunjung direspon oleh Jessi. Gadis yang sedang asyik di kamarnya sendiri itu ialah Jessi. Jessi menggeram kesal karena merasa terganggu mendengar suara pembantunya di luar kamarnya bahkan pintu kamarnya digendor-gendor begitu kuat. "Ck, mereka ganggu gue aja yang lagi suasana hati bagus begini." Jessi turun dari kasurnya lalu mematikan speakernya yang menyambung ke ponselnya melalui bluetooth yang dinyalakan. "Apa sih, Bi?" Jessi membuka pintunya dan menatap pembantunya tidak suka. Bukan tidak suka orangnya tapi tidak suka aktivitasnya diganggu oleh orang lain. "Nona Jessi nyetel musiknya jangan terlalu keras." "Kenapa kalian protes kan ini rumahku." Jessi mendengus sebal. "Tuan yang menyuruh kita untuk menyuruh Nona Jessi memelankan volume musiknya." "Hadeh kenapa sih papa gak kerja aja di luar atau kemana gitu. Bikin risih aja kalau di rumah." "Maaf ya Nona Jessi, saya pamit dulu dan hanya itu saja pesan yang saya sampaikan dari Tuan Alden." Pamit pembantunya ke tempat kerjanya. "Lama-lama pengen tinggal di rumah sendiri deh kayaknya lebih bebas." Gumam Jessi. "Tapi gue gak bisa ngapa-ngapa emm apa nyewa salah satu pembantu di rumah buat kerja di rumah gue. Rumah? Gue belum punya sih tapi ada duit tabungan yang bisa buat beli rumah eh pasti rumah gede dong. Gue gak suka rumah kecil tapi kalau rumah besar bisa jadi pemborosan soalnya yang tinggal cuman gue doang. Ah kok banyak sekali hambatan sih buat tinggal sendiri." Jessi menutup pintu kamarnya kembali dan tidak lupa menguncinya juga. Jessi menyenderkan tubuh bagian belakangnya di dinding kamarnya sambil kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana piyamanya. Jessi sangat berpikir keras mengenai tinggal di rumah sendiri dan menghindari papanya yang seringkali meroastingnya. "Apartemen?" Jessi menjetikkan jarinya, raut mukanya langsung berubah menjadi sumringah. "Eh gue kok tiba-tiba takut tinggal di apartemen. Mana sendirian lagi, gak enak juga sih dan gue tetep pengen cari solusi biar bisa bebas dari keluarga." "Rasanya pengen memberontak." Jessi pergi ke kamar mandi dan tadi ia sengaja tidak ikut sarapan pagi karena masih marah kepada papanya. Selesai mandi, Jessi memilih baju sambil bernyanyi dan rambutnya masih dililit karena basah sehabis keramas. "Mau pakai baju yang bagus soalnya nanti mau ketemu sama Abra." "Ah iya, di rumah ada Papa. Sebelum dia ke rumah gue, gue harus stand by di depan rumah." Setelah mengenakan pakaian yang dipilih yaitu kaos oblong kebesaran berwarna putih dan tak lupa mengenakan celana pendek berbahan jeans. Jessi meraih arlojinya yang diletakkan diam atas meja rias lalu Jessi merias wajahnya tak terlalu tebal supaya wajahnya tidak terlihat pucat. Jessi menyisir rambutnya namun matanya fokus pada ponselnya, menunggu pemberitahuan dari Abra. "Nah sudah cantik." Terakhir, memuji dirinya sendiri sambil mengedipkan matanya. "Sekarang waktunya mengambil beberapa alat." Jessi beberapa kali melirik ponselnya, kali ini melihat catatan yang dikirimkan oleh Abra kemarin malam dan Abra mengirimkan alat-alat yang kira-kira bakal digunakan sewaktu kerja kelompok nanti. Jessi memiliki loker khusus di kamarnya tapi di ruangan lain, di ruangan itu banyak sekali barang-barang yang tidak terpakai dan masih tersimpan begitu rapih karena pembantunya selalu membersihkan ruangan tersebut. "Nah beres." Jessi membawa wadah berukur tak terlalu besar maupun kecil, turun ke bawah di lantai satu dan nantinya kerja kelompok akan dirinya lakukan di halaman belakang rumahnya. "Kakak baru bangun?" Di tangga, Jessi bertemu adiknya yang tangannya tengah memeluk buku gambar dan menatap Jessi heran. "Heem." Jessi mengangguk dan melanjutkan jalannya. 'Gak ngamuk lagi'--ucap Arumi di dalam hatinya. "Haduh Non, Nona Jessi mau kemana? Sini bibi bawain." Seorang pembantu menyadari Jessi yang sedang kesusahan membawa barang berisi alat-alat yang akan digunakan untuk mengerjakan tugas kelompok prakarya. "Gak usah, Bi. Aku bisa sendiri." Jessi menggeleng, menolak tawaran bantuan dari pembantunya dan ia tetap melanjutkan jalannya menuju halaman belakang rumahnya. Setelah berada di halaman belakang rumahnya, Jessi meletakkan barang-barang yang dibawanya dari kamarnya di gazebo lalu ia duduk sebentar disana. Jessi melihat ponselnya lagi dan memeriksa apakah ada pesan dari laki-laki itu atau tidak. Ternyata Abra belum juga membalas pesannya dari tadi pagi membuat Jessi tidak tenang. "Apa jangan-jangan dia memang gak mau kerja kelompok karena takut sama papa gegara kemarin ya? Kalau memang takut ke rumah gue, kenapa gak bilang aja kan gue bisa ke rumahnya atau kita ketemu dimana gitu. Tetap saja tugas ini, harus dikerjakan bersama." Jessi mencebikkan bibirnya. "Apa gue telepon aja?" Jessi pun menekan tombol memanggil ke Abra dan berharap sekali laki-laki itu bisa datang ke rumahnya. "Kok dimatiin sih? Berarti dia buka hp, tapi kenapa gak kesini dari tadi." Jessi menggigit ujung kukunya kemudian berlari kecil menuhu depan rumahnya. Jessi mendelik melihat papanya ada di halaman depan rumahnya dan sedang melihat air terjun yang masih diperbaiki agar lebih bagus lagi. Ada beberapa orang di halaman depan rumahnya termasuk tukang bangunan, papanya dan ada beberapa tukang kebun yang tengah membersihkan halaman depan rumahnya. "Duh kenapa papa disana?" "Kan kasian nanti Abra kalau dibentak sama papa lagi." "Enggak, gak boleh dibentak lagi. Gue gak takut lagian gue kan lagi mengerjakan tugas dan itu tugasnya berdua. Kalau gak dibolehin, ya biar papa aja yang buatin dan kalau gak mau juga, bilang ke guru kalau papa jahat. Tidak mengizinkan mengerjakan tugas bersama Abra. Nah itu aja." Jessi pun duduk di kursi yang terletak di latar rumahnya. Cuaca hari ini sangat panas sekali dan menyengat dikulit sosok gadis yang sedang menunggu kedatangan seseorang di rumahnya. "Ah ini beneran jadi kelompok apa enggak ya? Masak Abra ingkar janji dan bohongin gue sih." Jessi memikirkan Abra dan apa yang sedang laki-laki itu lakukan sekarang sehingga membuat Abra tak kunjung datang ke rumahnya. Terlalu cemas memikirkan Abra sampai-sampai tak sadar ada papanya berdiri di depannya. "Sedang ngapain kamu duduk disini?" Jessi mendongak, menatap papanya yang menatapnya tajam. "Nunggu temen." "Siapa? Dipta lagi sakit, Anya?" "Bukan." "Terus siapa?" tanya Alden dengan nada suaranya yang penuh penekanan di setiap kata yang diucapkannya. Jessi terdiam dan malas sekali menjawab pertanyaan dari papanya. 'Papa kepo banget sih'---batin Jessi. "Tidak mau menjawab?" Jessi memejamlan matanya dan bernapas pelan sebelum menjawab pertanyaan dari papanya. "Abra." "Bocah kemarin itu?" "Iya, Pa."Jessi mengangguk. "Kamu lupa ya apa yang papa bilang kemarin malam kalau papa tidak setuju kamu berteman sama anak berandalan seperti dia. Papa tidak mau kamu terpengaruh hal buruk berada di sampingnya. Kamu ini sudah besar harusnya tau mana teman yang baik dan tidak." "Papa melihat dia dari penampilannya bukan dari sikapnya. Papa tidak boleh menjelekkan seenak jidat sendiri, papa belum mengenal betul siapa Abra." "Kamu pikir papa diam saja dan tidak mencari tau dia siapa?" "Maksud papa apa?" tanya Jessi seraya mengernyitkan dahinya karena tak paham apa yang diucapkan oleh papanya. "Hadeh, kamu tetap lamban ya dan susah menangkap apa yang papa bicarakan. Papa sudah mencari sekolah Abra yang dulu dan banyak informasi mengatakan kalau Abra ini salah satu murid bermasalah, suka tawuran, balap liar, pemabuk dan perokok. Kamu sebut dia baik? Mana baiknya?" Jessi tentu syok sekali, inikah yang dimaksud Abra yang membenarkan ucapan papanya kemarin? Ia tidak percaya kalau Abra senakal itu dulu. "Itu kan masa lalu, Pa. Papa jangan bahas masa lalu orang." "Dari masa lalu, bisa mengetahui dia itu siapa, bagaimana. Dia bahkan membuat anak orang lain hampir meninggal dan itu beberapa kali. Anak langganan BK dan polisi. Apa disebut teman baik? Yang ada kamu terpengaruh hal buruk dari dirinya." "Tapi selama aku main bareng sama dia, dia gak begitu kok Pa." "Orang awalnya itu dari sikap baik, Jessi. Lama-kelamaan sikap asli seseorang itu muncul. Kamu bener-bener susah dinasehati ya, papa itu begini karena papa khawatir sama kamu. Papa tidak mau anak-anak papa menjadi anak yang bermasalah dan merusak nama baik orang tua sendiri. Ingat Jessi, papa ini pengusaha dan sering wara wiri di televisi kalau nama kamu buruk, papa juga ikut buruk karena dianggap gagal mendidik anaknya padahal anaknya sendiri yang susah dinasehati." "Masa lalu seseorang memanglah buruk tapi belum tentu masa depan seseorang juga buruk. Justru dari masa lalu yang buruk, kita bisa merubah diri menjadi lebih baik dari sebelumnya." "Kamu jangan sok menggurui papa ya, Jessi. Papa lebih tau daripada dirimu." "Ada apa-apa ini ramai-ramai, meributkan apa lagi?" Amanda datang dan menengahi perdebatan antara ayah dan anak di latar rumah. Amanda berdiri si samping suaminya dan mereka bingung. "Tapi aku tetap membantah papa, aku yakin dia cowok baik dan bukan seperti apa yang papa pikirkan." Jessi meraih ponselnya dan tepat saat itu juga seseorang mengirimkan pesan kepadanya. "Mas, meributkan apa?" tanya Amanda pada sang suami yang sedang menahan emosinya dan wanita itu mengusap pundak Alden. "Bahas yang kemarin." "Sudahlah mas, jangan terlalu mengekang Jessi dan biarlah dia berteman dengan siapapun. Aku juga melihat kalau laki-laki itu anak yang baik dan bukan seperti yang kamu bilang. Memang benar penampilannya seperti anak berandalan tapi kita jangan menilai dari penampilan dan lihatlah apa yang dia lakukan. Kemarin laki-laki itu menolong ponakan temanku dan juga anak kita, seharusnya kita bertema kasih dan bukan mencemoohnya." "Kamu sama aja seperti Jessi. Aku begini juga karena takut kejadian yang lalu keulang lagi. Hal yang menyakitkan ketika orang tua kehilangan anaknya." Terdengar suara helaan napas Alden yang begitu berat membuat Amanda berada di posisi yang serba salah. "Temanku bentar lagi sampai, jangan sampai ada yang mengusirnya." Jessi menatap kedua orang tuanya lalu melengos pergi dari hadapan mereka. Jessi memilih menunggu di depan gerbang dan duduk di pos satpam saja. "Iya Jessi, nanti mama siapkan cemilan untuk kalian." Amanda tersenyum simpul menatap Jessi walau Jessi menatapnya datar. Mungkin kecewa karena Amanda memihak Alden padahal Amanda berusaha semaksimal mungkin menengahi mereka supaya tidak berdebat lagi. Amanda menggandeng Alden dan masuk ke dalam rumah. Di depan gerbang pula Jessi tidak menunggu lama, sosok yang ditunggunya sedari tadi akhirnya telah datang dan Jessi memekik kegirangan. "Abra, Abra kok lama. Gue nunggu dari tadi lho." Jessi naik ke motornya Abra. "Gue masih nganter bokap ke rumah lama bokap." "Oalah, gak bilang ih kan gue jadi cemas dari tadi." Abra memarkirkan motornya di depan latar rumah Jessi lalu Jessi memanggil tukang kebun rumahnya dan memberikan kunci motor Abra agar motor Abra di masukkan ke dalam bagasi khusis motor. "Sorry, gue buru-buru tadi." Saat Jessi dan Abra melangkah bersama memasuki rumah milik keluarga Barnard, ternyata Alden masih berada di lantai satu. Alden duduk di ruang tamu sambil tangannya membawa tab dan sepertinya tengah serius menatap tab-nya. Abra menghentikan langkahnya walau Jessi menarik tangannya. "Gak usah kasih salam ke bokap, bokap udah jahat sama lo." Abra tersenyum tipis sambil menggeleng dan tetap memberikan salam hormatnya kepada Alden meski Alden mengabaikannya. "Om, saya izin datang kesini untuk mengerjakan tugas kelompok." Abra bermaksud ingin mencium tamgan Alden namun Alden mengabaikannya sehingga Jessi menarik tangan Abra begitu kuat. "Sudah, Bra. Biarin aja." Abra pun pasrah tangannya ditarik kuat oleh Jessi. Mata Abra berkeliling memperhatikan sekitar rumah Jessi terutama perabotan Jessi yang tampak mewah sekali. Abra jadi teringat sewaktu dirinya masih tinggal bersama orang tua kandungnya, dulu dirinya pernah dilempari perabotan-perabotan rumah hanya karena malas belajar padahal ia sudah belajar seharian dan ingin mengambil jatah libur belajar supaya tidak pening kepalanya. Rasa trauma oleh masa lalunya masih ada dan terasa sekali sakit hatinya. Namun Abra tidak ingin terlalu berlarut dalam kesedihan yang berujung dirinya bisa menyakiti diri sendiri. Abra berusaha mendamaikan rasa bencinya terhadap masa lalu walau itu sangat susah sekali. "Abra, lo kenapa? Wajah lo kelihatan sedih banget?" Abra langsung fokus menatap wajahnya Jessi yang memasang raut wajah kebingunan menatapnya. "Enggak, enggak papa." Abra menggeleng dan baru sadar kalau sudah berada di halaman belakang rumahnya jessi. Halaman belakang rumahnya Jessi ini, terdapat rerumputan berwarna hijau nan segar dipandang, lalu ada beberapa pohon buah mangga dan jambu biji, ada tempat duduk yang biasa dinamai gazebo, ada juga beberapa hewan peliharaan kesayangan Arumi yaitu kura-kura, kelinci, burung hantu namun hewan-hewan ini sedang dalam tahap pemindahan ke tempat lain yang khusus untuk hewan peliharaan saja. Jessi tersenyum lebar sambil menggandeng tangannya Abra dan menuju gazebo yang dipilihnya tadi. Disana sudah ada beberapa alat yang kira-kira dibutuhkan oleh mereka. "Ada yang kurang gak?" tanya Jessi saat melihat Abra yang sedang memeriksa alat-alat prakarya yang telah ia siapkan. "Enggak, udah cukup." Abra menggeleng lalu mengangguk setelah selesai memeriksa alat-alat yang dibutuhkannya. "Emang mau buat apa sih? Lo belum bilang." "Buat tirai cendela tapi gak udah panjang-panjang ukurannya nanti ke bawah." "Bahan-bahannya?" "Tirai dari bahan bungkus makanan, lo ada gak sampah yang isinya cuman makanan ringan, snack gitu?" "Ada, tapi kayak gimana cara buatnya?" "Nanti gue ajarin." "Ya udah kita cari dulu bahan-bahannya barengan." "Oke." Abra meletakkan tas sekolahnya di gazebo dan melepaskan jaketnya juga. Abra mengenakan kaos putih polos dan celana jeans panjangnya sampai sebatas lutut saja. Pakaiannya memang terlihat simple tapi tidak menutupi betapa kerennya dirinya itu sekarang. "Wah baju kita samaan padahal kita gak janjian." Jessi bertepuk tangan sebentar. "Iya." Abra mengangguk. "Kita cari bibi dulu biar dibantuin. Soalnya yang tau sampah itu mereka sih, di kamar gue ada dua tempat sampah yang satu kering dan basah tapi biasanya gue taruh di depan kamar kalau yang basah paling sering gue langsung buang ke tempat sampah dapur sih. Paling seringnya lagi yang buangin ya bibi hehe." Abra mendengarkan sambil memperhatikan gadis itu yang sedang semangat menjelaskan kepadanya. "Pasti bakal mudah dapat bungkus jajannya." Abra sudah menebak bakal semudah itu mendapatkan bungkus jajannya milik Jessi karena Jessi sendiri suka makan. "Tau aja deh hehe. Kayaknya nanti gue mau beli jajan juga karena stok jajan habis dan sekalian jenguk Dipta." "Gue juga ikut, jemput temen gue pulang." "Emang dia gak pulang sendiri." "Emm sebenernya bisa saja dia pulang sendiri tapi kalau dia terlanjur nyaman sama suatu tempat sangat susah diajak pulang." Abra bingung mau menjelaskan dan sedikit cemas saja kalau temannya dibilang norak walau memang temannya itu begitu. Tapi ia merasa kasian kalau Balder dikata aneh oleh teman-temannya Jessi yang hidupnya berbeda dengan Balder yang berada dari keluarga tidak mampu. Abra juga menebak temannya sangat senang sekali bisa merasakan apa yang diimpikannya. "Kayak anak kecil temen lo, tapi Arumi juga gitu sih. Waktu keluarga pergi ke wahana eh dia suka ketinggalan padahal yang lain udah pada naik mobil. Hadeh bocab satu itu." Jessi tertawa menceritakan adiknya juga dan Abra tersenyum tipis. Abra merasa lega saja Jessi tidak seperti kemarin, dadanya terasa sesak mendengar suara tangisannya Jessi dan ia berusaha membuat gadis itu terus nyaman, tenang dan bahagia melakukan apa saja yang disukainya. Ketika mereka baru turun dari tangga, mereka bertemu Arumi yang kemana-mana sering membawa buku gambarnya. "Wah ada kak Abra." Arumi menyengir kuda melihat sosok laki-laki berparas tampan yang jarang ia temui di sekolahannya. "Astaga ketemu lagi sama bocah ini." Jessi berdecak kesal. "Kan kita satu rumah, Kak. Hadeh ketemu kakak teros." Jessi dan Arumi saling menatap dengan matanya yang sama-sama mendelik. Adik kakak ini sering berantem setiap bertemu namun akan saling merindukan jika berjauhan. "Halo kakak Abra." Arumi melambaikan tangannya ke arah Abra. Abra yang akan mengangkat tangannya malah tubuhnya didekap dari samping oleh Jessi beserta kedua tangannya. "Hai juga Arumi," balas Abra sambil mengangguk samar. "Ih kakak malah main peluk-peluk." Arumi mendengus sebal melihat tingkah kakaknya. "Biarin wle, jangan deket-deker Abra dan dia gak boleh balas lambaian tangan dari lo. Bye!" Jessi menjulurkan lidahnya dan menggerlingkan matanya. Jessi menggeret Abra agar segera pergi dari hadapan Arumi. "Idih idih." Begitulah tanggapan dari Arumi sambil menggelengkan kepalanya. ... "Ini pakaian ganti gue?" tanya Balder pada Dipta saat setelah mandi, ada baju dan celana panjang training di atas kasurnya. "Pengawal gue yang siapin tadi dna itu perintah dari om gue. Nanti sarapan juga diantar. Itu pakaiannya cukup muat ditubuh lo?" tanya Dipta memastikan. "Muat aja sih gue." Balder mengangguk lalu menatap Anya yang sedari tadi menatapnya dan raut wajahnya juga begitu datar sekali. "Jujur ya gue gak nyaman lo tatap terus." Balder menghampiri Anya dan Anya masih tetap duduk santai di pinggir kasurnya Dipta. "Haduh jangan perang lagi." Dipta bukannya tambah sembuh, malah makin stress melihat mereka yang tak kunjung akur. Padahal Dipta sendiri juga tidak menyukai Balder karena tingkahnya yang terlalu berlebihan membuatnga tidak nyaman namun ia tipe orang yang malas berdebat dan memilih diam saja jika tidak menyukai seseorang. "Terserah gue natap orang kayak gimana, gue punya mata dan kegunaanya buat melihat. Ini mata milik gue jadi lo gak usah ikut campur." Anya menatap Balder tajam sambil menunjuk laki-laki itu. "Gak usah sambil nunjuk-nunjuk bisa kan?" "Tangan-tangan gue." "Lo kalau bukan cewek, udah gue hajar duluan deh." Balder benar-benar marah dan berulang kali tangannya terangkat ke atas namun segera dirinya tahan. Karena kalau soal fisik, ia hanya ingin melawan sesama pria bukan wanita. "Gue gak takut." "Balder, sudah ya. Lo balik duduk di kasur lo aja. Gue pinjemin laptop." Dipta yang tidak ingin suasana makin memanas akhirnya mempunyai ide, ia meraih laptopnya yang berada di meja nakas samping kasurnya lalu diberikan kepada Balder. "Gue gak bisa main laptop." "Nanti gue ke sana. Sekarang balik ke tempat lo." "Hmm ya." Raut wajah Balder menjadi malas semenjak adanya Anya disini. Mengetahui Baldet telah kembali ke tempatnya, Dipta melirik Anya yang juga sama-sama sedang emosi. "Sudah, Nya. Redakan emosi lo, maklumi aja sama sikapnya yang kayak begitu." "Tapi gue gak terima, seenaknya aja dia disini padahal ini ruangan milik lo." "Sabarin aja, lagian bentar lagi dia juga pulang dari sini." "Kalau di sekolah kan pasti ketemu sama itu bocah secara dia temennya Abra dan Abra lagi deket sama Jessi." Dipta tak bisa berkata apa-apa lagi dan ia mengusap wajahnya pelan. 'Nasib gue gini amat' ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD