Part 40: Rasa Tak Terima

2028 Words
Ketika Abra dan Jessi akan balik menuju ke kelas mereka, tak disangka di tengah perjalanan bertemu segerombolan murid berandalan yang ditakuti oleh banyak siswa maupun siswi di sekolahan bahkan mereka berjalan saja, banyak yang bersembunyi seperti takut menjadi korban bullyan oleh mereka. "Oh ini yang sok jagoan." Jessi panik lalu menoleh, menatap Abra yang memasang muka tak bersahabat dan kedua tangannya mengepal begitu erat. "Bukannya lo sendiri yang sok jagoan dan sok paling wow di sekolahan ini." Jessi melangkah maju dan Abra di belakang Jessi saat ini. "Iya emang, gue paling jagoan disini dan paling berkuasa." "Idih berkuasa apaan, sekolahan ini bukan milik lo." Jessi berdecih sinis. "Gue salah satu donatur di sekolah ini, mungkin kalau tidak ada aturan konyol ya gue bisa beli ini sekolahan berserta muridnya." "Si paling sok bisa beli sekolahan, hey lo gak tau gue siapa. Bokap gue juga donatur di sekolahan ini ya dan menempati nomor 1." Jessi berkacak pinggang menatap Faisal yang selalu membuatnya naik pitam. Jessi ditarik oleh Abra dan menyuruh Jessi untuk tidak ikut campur dengan urusannya. Ia takut Jessi bermasalah juga karenanya. "Lawan cewek?" Abra tersenyum miring dan berusaha bersikap tenang menghadapi seseorang yang dibencinya. "Gue gak peduli itu cowok apa cewek kalau memang musuh gue ya gue hajar." Kini Abra dan Faisal saling berhadapan dan menatap tajam satu sama lain. "Hajar aja bos!" teriak teman-temannya Faisal yang mendukung Faisal supaya segera memberi pelajaran kepada Abra yang telah beraninya mengalahkannya beberapa waktu yang lalu. "Jangan berantem!" Pekik Jessi yang mencemaskan Abra dan takutnya Abra kewalahan karena lawan lebih banyak ketimbang dirinya yang sendirian. "Huss, ini masalah laki. Lo gak usah ikut campur." "Gue aduin lo ke om Asher." Ancam Jessi sembari mengeluarkan ponselnya dari saku roknya. "Main ancam-ancam ya lo." Faisal kesal mendengar nama ayahnya disebutkan lalu menuju temannya untuk mendekati Jessi dan mengamankan ponselnya Jessi. Namun belum sampai mendekati Jessi, Abra langsung memberikan bokeman mentah hingga temannya Faisal itu terhuyung ke samping memegangi pipinya. Hanya satu kali pukulan sudah membuat ujung bibir laki-laki itu berdarah dan Jessi membekap mulutnya karena pertama kalinya melihat Abra memukul seseorang secara langsung di depannya. "s**t!" Umpat Javas, teman Faisal dan dibantu berdiri oleh teman-temannya yang lain. "Kalian sentuh dia, lewati gue dulu." Abra menantang mereka jika ada yang berani menyentuh Jessi dan ia akan maju lebih dulu mematahkan tulang mereka. "Woah woah hebat ya." Faisal bertepuk tangan dan seberapa detik kemudian teman-temannya menyerang Abra dan itu sudah terbaca oleh Abra sendiri. Perkelahian satu lawan lima orang itu pun dimulai dan Jessi merekam diam-diam dari belakang. Ia sengaja lebih jelas merekam Faisal lalu dikirim ke orang tua Faisal. Memang ini pertama kalinya Jessi melapor langsung ke orang tuanha Faisal setelah kemarin sebab selama ini Jessi tak pernah memergoki Dipta yang dibully Faisal namun Jessi sendiri tau kalau Dipta menjadi korban bullyan Jessi karena teman-temannya sekelasnya pernah mengirimkan sebuah video rekaman Dipta dibully habis-habisan oleh Faisal dan teman-temannya. Jessi memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku roknya dan disisi lain dirinya tidak tenang melihat pertengkaran mereka yang semakin memanas. Walau Abra tak terluka sama sekali dan nampak terlatih melawan mereka tetap saja Jessi tidak tenang. "Ruang guru juga jauh dari sini." "Anj!" Faisal meludah ke samping saat tak sengaja merasakan asinnya darah diujung bibirnya. Teman-teman Faisal sudah terkapar di atas lantai koridor sedangkan Faisal sendiri masih berusaha mengalahkan Abra yang jauh lebih ahli bela diri. "Arghh!" Faisal berteriak kesal dan teman-temannya memegangi tubuhnya dirasa pertengkaran ini sudah cukup bagi mereka. Jessi memegangi ujung seragam Abra dari belakang dan merasa takut sekali saat tau keadaan Faisal dan teman-temannya yang begitu kacau akibat dari perkelahian ini. "Sudah Bra" Lirih Jessi. "Bos, sudah! Kita kalah lawan dia yang lebih jago berantem." "Jago apanya? Gue lebih jago dari dia, lepasin gue!" Faisal tak terima kekalahan padahal wajah dan bagian tubuhnya yang lain sudah terluka. Untuk berdiri saja Faisal hampir jatuh jika tidak dipegangi olej teman-temannya dari samping dan belakang. "Kita harus terima kekalahan ini. Percuma Sal!" "Terima saja. Loser." Abra memilih berjalan ke arah lain dan menggandeng Jessi. Ia paham, Jessi mencemaskannya sekarang. "Lo yang loser bukan gue!" Faisal mendorong teman-temannya dengan sekuat tenaganya dan ketika akan menyusul Abra, Faisal sudah jatuh lebih dulu. "Aakhhh sial sialan anj!" Faisal mengumpati Abra berulang kali sambil memegangi salah satu kakinya yang sakit sebab digendong ditendang kuat oleh Abra tadi. Tak hanya Faisal yang merasakan sakit, melainkan teman-temannya juga ada yang kesulitan berjalan. "Kayaknya Abra bukan orang sembarangan." Salah satu dari mereka sadar bahwa Abra bukan tandingan mereka karena ahli dalam beladiri. "Gue juga bisa gelud bahkan mengalahkan kalian! Jangan berani-beraninya lo memuji dia di depan gue!" Faisal menarik kerah salah satu temannya yang sedari tadi secara terang-terangan memuji kemampuan bela dirinya Abra di depannya, Pipin. "Iya, Sal." Pipin mengangguk takut dan dia didorpng Faisal hingga terjatuh ke belakang. "Mulut lo dikunci deh, Faisal lebih hebat dari dia." Javas menatap tajam pada Pipin. Faisal kembali berdiri dibantu oleh teman-temannya. "Cari cara apapun buat kalahin dia!" Perintah Faisal pada teman-temannya. "Lebih baik kita menyerang kelemahannya saja, Sal." Terlintas dipikiran Javas sebuah ide muncul disana. "Apa?" tanya Faisal. "Ingat apa yang Abra ucapkam tadi waktu gue habis dipukul dia karena mau rebut hpnya Jessi?" Mereka semua mengangguk dan mengingat ucapan Abra tadi. "Memangnya kenapa?" tanya Faisal lagi dan butuh kejelasan yang pasti. "Secara tidak langsung Jessi itu kelemahan dia, Pak Bos." Javas tersenyum lebar sejenak sebelum mengaduh kesakitan karena ujung bibirnya yang terluka. "Oh jadi kita menyerang tuh cewek?" Faisal mulai paham arah obrolan Javas. "Benar sekali, Bos." "Ide bagus, lo selalu bisa diandelin apapun urusan gue." "Iya dong." "Nanti lo dapat bonusan dan buat yang lain, carilah ide juga biar sama-sama dapat bonus dari gue." ... "Lo gak papa kan?" Jessi menghentikan langkahnya saat sudah berada diposisi jauh dari Faisal dan teman-temannya. Jessi berdiri depan sambil memeriksa tubuh Abra. Apakaah ada yang terluka atau tidak. "Gue gak papa." "Tangan lo merah begini." Jessi memegangi kedua tangan Abra yang memerah. "Nanti juga hilang sendiri." "Ah tetep aja gue khawatir. Lain kali jangan berantem kayak begini, gue takutnya lo bermasalah sama mereka terus." "Gue harus diam gitu lihat lo mau disentuh sama mereka?" "Emm." Jessi terdiam dan Abra melanjutkan jalannya. "Jadi dia mengorbankan diri buat lindungi gue? Tapi kan kalau gue diapain sama Faisal, gue bisa ngadu ke papa dan papa bisa bertindak tegas mereka." Gumam Jessi dan mulai berjalan itupun sedikit berlari karena ketinggalan jauh dari Abra. Ketika mereka melewati perpustakaan, mereka bertemu dua orang yang baru saja keluar dari perpustakaan dan salah satunya membawa laptop. "Anya, Dipta." Jessi menyapa mereka dan mereka berdua malah tampak panik. "Tutup layarnya." Anya yang sadar kalau layarnya Dipta yang menampilkan foto tadi masih menyala segera menurunkan layar laptop Dipta dan Dipta membeku di tempatnya berdiri. Abra memincingkan matanya menatap mereka berdua yang aneh sekali sebab raut wajah Anya dan Dipta begitu panik seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Namun Abra tidak peduli oleh urusan mereka dan ia hanya menunggu Jessi saja yang sekedar menyapa mereka. "Kalian habis ngapain dari perpus?" tanya Jessu penasaran pada mereka. "Mengerjakan tugas," jawab Dipta sedangkan Anya menjawab yang lain. "Cari WiFi." Perbedaan jawaban itu membuat Jessi tertawa renyah. "Oalah iya deh gue paham, emang tugas apa sampai bawa laptop segala. Soalnya dari kemarin, gue gak ada yang disuruh ngerjain pakai latpop dan kebetulan guru semua mapel kelas kita sama juga kan." "Oh ini, tugas kerajinan dan setelah mengerjakan disuruh buat laporan." Tentu Dipta sudah memikirkan jawaban yang tepat dan untung saja ada tugas yang menyuruhnya membawa laptop walau tugas itu dikumpulkan besok lusa. Sedangkan Anya sendiri yang masih panik tak kepikiran menjawab pertanyaan Jessi tadi dan syukurlah Dipta bida mengatasinya. "Eh iya, gue kayaknya belum." Jessi baru ingat ada tugas yang kurang alias belum dikerjakan yaitu membuat laporan. Jessi melirik Abra dan mencolek lengan laki-laki itu. "Sudah gue kerjain semuanya." "Emang gak butuh bantuan dari gue ya?" tanya Jessi heran. "Gak ada, laporannya mudah." "Oh begitu, emm itu tugas dikumpulkan hari apa?" "Btw, kita pergi dulu soalnya ada urusan tugas yang lain." Pamit Anya sembari menarik lengan Dipta supaya buru-buru pergi dari sini. "Lha hey kalian!" Panggil Jessi berulang kali pada mereka tapi mereka sudah pergi lebih dulu. "Malah pergi." Gerutu Jessi. "Dikumpulkan besok." Jessi kembali menatap Abra yang baru menjawab pertanyaannya tadi. "Gue bawa laptop berarti ya." "Gak usah." "Kok gak usah?" "Tinggal minjem murid lain aja. Bawaan lo jadi berat kalau bawa laptop." "Enggak kok, besok gak bawa banyak barang juga." Jessi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Abra menghembuskan napasnya karena Jessi masih keras kepala padahal ia memberi saran supaya Jessi tidak kesusahan besoknya. "Tenang aja gue sudah biasa bawa banyak barang kok." Abra menggelengkan kepalanya dan tidak menyetujui Jessi membawa laptop. "Beneran lho." Jessi malah diacuhkan oleh Abra membuat Jessi kesal. Sesampainya di kelas, Abra menghampiri sang ketua kelas yang kebetulan bangkunya ada di depan dekat pintu kelas lalu Balder menghampirinya juga sambil berlari dari bangkunya. "Kertas buat daftar lomba." Pinta Abra pada ketua kelas yang sedang mencatat murid-murid yang ikut lomba. "Eh lo darimana aja sih? Terus seragam lo kenapa berantakan?" tanya Balder memperhatikan penampilan Abra yang jauh berbeda sekarang dibanding sebelum keluar dari kelas tadi. "Abra habis berantem." Jessi menjawab cepat dan jawabannya itu mampu membuat orang-orang yang tak sengaja mendengarnya langsung syok. Tatapan mereka pun tertuju pada Abra yang tengah sibuk sendiri membaca daftar para murid di kelas ini yang mengikuti lomba minggu depan. "Woah habis berantem rupaya, sama siapa? Sama anak kemarin kah? Si adek kelas kurang ajar itu." Balder berdecak kagum pada temannya mengetahui tak ada luka pula di tubuh Abra itu menandakan temannya memenangkan perkelahiannya. "Gak cuman sama mereka tapi sama Faisal juga. Mereka pada tepar semua dan Abra yang menang. Keren sih tapi gue panik dan khawatir banget." "Oh ada big bos mereka juga. Tenang aja Jes, dia pasti menang lawan anak bau kencur itu." "Haha anak bau kencur, emang mereka jamu apa." Jessi terkekeh pelan begitu juga dengan yang lain. "Anak mama anak mama mana mungkin jago kelahi. Palingan nangis dan ngadu ke ortu masing-masing," ucap Balder sambil mencebikkan bibirnya, meledek para adik kelas yang pernah dirinya hajar juga. "Jessi." Panggil Abra pada Jessi. "Apa?" Suara Jessi yang tadinya semangat kini berubah drastis saat tau Abra memegang sebuah kertas pendaftaran lomba minggu depan. Balder sendiri juga ikut melihat nama-nama seluruh murid sekolah ini yang mengikuti lomba dan memang tinggal kelas mereka yang masih ada yang kosong menandakan membutuhkan murid lagi yang mengikuti lomba untuk minggu depan. Entah mengapa Balder tak sengaja membuka lembaran kertas yang bertuliskan kelas 11 IPS 4 dan matanya tertuju pada satu nama yang membuatnha penasaran. "Dia ikut lomba Voli." Gumam Balder dan terkejut sekali karena baru tau orang tersebut mengikuti lomba voli. Kertas yang dipegang tiba-tiba diambil lagi oleh Abra dan Abra menyerahkannya ke Jessi. "Astaga." Ingin marah rasanya tapi mengetahui siapa yang mengambil kertas yang masih dibaca olehnya pun diurungkan. Balder memilih bergabung ke murid lain yang sedang bergosip ria entah membahas apa. "Dibilangin gue gak bisa dance." Jessi menggelengkan kepalanya cepat. "Jadi lo gak ikut lomba apapun?" tanya Yuli, ketua kelas mereka. "Enggak." "Gegara tadi kah?" "Masih saja nanya." Jessi memasang muka kesal. "Ikut dance sama kita aja Jes, kurang satu soalnya." Tiba-tiba Erma menghampiri Jessi setelah mengetahui Jessi masih belum mendaftarkan diri mengikuti lomba manapun. "Tuh ikut lomba dance, kurang satu doang anggotanya." Yuli ikut menyahut. "Sulit sumpah, badan gue kaku semua." Jessi merengek. "Gue ajarin lah, masih ada waktu cukup buat latihan," ujar Erma sambil tersenyum lebar. Jessi melirik Abra yang menatapnya juga. Tatapannya menunjuk untuk segera mengiyakan ajakan dari temannya. "Iya deh gue asal Abra juga ikut lomba." Seketika raut wajah Abra berubah menjadi bingung. "Kok jadi gue ikutan kena?" "Eh ada lagi yang kosong dan lo juga ikut eskul renang. Ikut lomba renang aja." Yuli memberikan lembaran kertas lagi kepada Abra sambil tangannya menunjuk tulisan aturan lomba renang. "Nah bagus tuh, ikutan juga gih!" Jessi menepuk pundak Abra beberapa kali. Abra diam saja dan tak merespon sama sekali seraya lembaran itu dikembalikan kepada sang ketua kelas mereka. "Iya, iya dia ikut." Jessi mendaftarkan Abra ikut lomba renang. "Jes." "Pokoknya lo juga harus ikut wle!" Jessi menjulurkan lidahnya, meledek Abra setelah menuliskan nama Abra di lembaran kertas tersebut lalu kabur dari hadapan Abra. "Hadeh." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD