Part 34: Pertemuan Tak Terduga

2109 Words
"Balder, tadi lo gak ikut kumpul kan?" Jessi memincingkan matanya menatap Balder ketika baru ingat tadi saat adanya absensi club basket, Balder tidak hadir. "Hehe enggak, gue lagi pengen ke kantin. Habisnya ngapain sih kumpul waktu istirahat kan bisa pulang sekolah nanti." Balder menyeruput es s**u rasa cokelat kesukaannya. Mereka bertiga tengah berada di kantin dan kurang beberapa menit lagi bel masuk ke dalam kelas berbunyi. "Cuman sebentar doang aja, itu diabsen. Jangan males buat ikut kumpul." Jessi mendengus sebal dan kebetulan juga Jessi adalah seorang kapten tim basket putri. "Iya deh, maaf hari ini tidak datang. Kapan-kapan gue datang." "Enak banget ya lo ngomong gitu." Jessi berkacak pinggang. "Iya gue usahain datang kalau ada kumpul kayak gitu." Balder langsung menunduk dan takut kalau Jessi marah. Sangat berbeda sekali sikapnya saat dirinya berhadapan dengan Anya yang sama-sama ikutan mereog bareng. Abra menatap Balder heran sebab segitu patuhnya Balder pada Jessi. 'Apa Balder suka sama Jessi?'--pikiran Abra malah tak karuan. "Abra." Jessi menepuk tangan Abra dan Abra terkejut. "Apa?" "Lo ikut eskul apa? Besok terakhir pilih eskul dan bisa dihukum kalau enggak pilih satupun eskul sekolah ini." "Renang," jawab Abra santai. "Renang? Beneran ikut renang?" Jessi syok sembari menutup mulutnya yang terbuka lebar. "Dia sebenarnya gak bisa renang tapi sok-sokan ikutan renang." Balder menyahut dan mendapat hadiah lemparan kacang dari Abra. "Gak bisa renang tapi nekat ikut eskul renang?" Jessi menoleh, menatap Abra yang memilih menyimak obrolan mereka sambil memakan cemilannya. "Abra suka mencoba hal-hal baru." "Ah begitu tapi gak papa sih, gak mungkin tenggelam kan dia tinggi." Jessi menyengir kuda. "Bisa tenggelam kalau kaki tenggelam." "Gue tolongin lah." "Bisa renang lo?" tanya Balder penasaran. "Enggak bisa."Jessi menggeleng. "Sama aja kalian nanti tenggelam hadeh." "Karena gue gak mau biarin dia tenggelam sendirian jadi gue temenin." "Ditemani sampai ke dunia lain maksudnya." Balder menyahut sambil tertawa. "Lo nanti masuk kerja, Bra?" tanya Balder pada temannya. "Gue nanti gak bisa, mau bantu bapak yang lagi ada pesenan di rumah orang. Izinin gue," jawab Abra yang baru memberitahukan Balder bahwa dirinya tak bisa bekerja nanti sore sebab ada kesibukkan lain yang ia utamakan lebih dulu. "Mau kemana Bra?" tanya Jessi mulai kepo. "Kepo." "Iya, gue lagi kepo nih. Kasih tau dong." Jessi mengerjapkan matanya beberapa kali. Abra menggeleng. "Oke gue nanti sampaiin izin ke Pak Amin. Gue nanti juga lembur kayaknya, ada kerjaan tambahan dari Pak Amin." "Enak ya bekerja gitu?" tanya Jessi pada mereka dan tentu yang menjawab pertanyaannya adalah Balder. "Ada enaknya dan ada gak enaknya. Gue udah kerja dari SMP, kalau memilih sih lebih pilih bekerja dibanding sekolah. Gue bener-bener gak bisa bidang akademik," ujar Balder. "Harus sekolah dong Balder, penting buat masa depan juga ilmunya. Kerja boleh tapi jangan lupakan sama ilmu." "Iya selama ada yang biayain, gue bakal terus sekolah." "Kuliah nantinya?" "Enggak tau sih." "Kalau Abra gimana?" Jessi menghembuskan napasnya karena laki-laki tidak ikut nrimbung obrolannya bersama Balder dan sibuk memainkan ponselnya. "Hmm?" "Lo lihat apa sih?" Jessi berusaha meraih ponselnya Abra dan Abra berhasil menghindar lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Gak lihat apa-apa." "Lo punya sosmed? Makanya sibuk sendiri sama hp." "Gue sudah bilang ke lo kalau gue gak punya sosmed," jawab Abra sejujurnya dan tadi ia sedang memantau sebuah berita terkini yaitu tentang ayahnya dan keluarga kecilnya sudah tiba di Indonesia. "Dia gak punya sosmed, mungkin main game." Balder pun ikutan memberi alasan kepada Jessi dan membantu Abra supaya tidak dicurigai oleh Jessi. Balder sendiri juga tau apa yang selalu dilihat Abra sampai seserius itu karena mereka sudah lama bersama. "Oh main game, main tebak kata dan gamenya buat orang jenius-jenius kan?" Tebak Jessi. Abra mengangguk dan terpaksa membohongi Jessi. Ia melirik Balder dan Balder mengacungkan jempolnya ke arahnya tanpa diketahui oleh Jessi. "Sudah ketebak sih gamenya pasti kayak gitu. Bikin pusing kepala dan ngantuk." "Gue cariin ternyata lo ada disini, Jes." Jessi menoleh dan tersenyum lebar mengetahui temannya menghampirinya di kantin lalu duduk di sebelahnya. "Ck, kenapa malah ikutan gabung disini." Balder menggerutu dan tentu didengar oleh Anya. "Kenapa? Masalah buat lo?" Anya tersenyum miring menatap Balder. "Iya, masalah buat gue." Mereka pun saling menatap tajam. "Hadeh masih saja berantem kalian ini." Jessi menghela napasnya pelan melihat mereka berdua tidak ada yang mengalah. "Jes, nanti lo ke rumahnya Dipta gak?" tanya Anya pada Jessi. "Emang dia sudah pulang?" "Nanti sore pulang kayaknya, ke rumahnya Dipta gak?" "Emm oke, bareng ya." "Siap, nanti gue jemput." Anya mengangguk mantap. "Lo mau ke rumahnya si cupu itu kan?" "Dia punya nama ya, namanya Dipta bukan cupu." Anya mendelik menatap Balder yang memanggil Dipta itu cupu. "Iya itu cowok mata empat." Balder terkekeh pelan. "Iya, di rumah omnya. Rumahnya Dipta sendiri masih dibangun soalnya." "Wih udah punya rumah aja tuh si cupu." Balder bertepuk tangan. "Iri kan lo? Ngatain cupu segala, dia gak cupu ya. Gak semua cowok berkaca mata itu cupu, dia lebih keren dari lo." Anya tak rela saja ada orang yang menghina Dipta. "Tapi gue lebih jago gelud daripada ngandelin dilindungi orang." Balder menjulurkan lidahnya. "Eh iya kapan Balder mau ngajarin Dipta bela diri?" tanya Jessi baru ingat perjanjian mereka sebelumnya. "Kalau itu sih gampang, nanti gue infoin." Balder menjetikkan jarinya lalu ia melirik Anya yang syok mendengar Jessi mengatakan bahwa Dipta akan belajar bela diri. " Yang bener lo nyuruh dia ngajarin Dipta bela diri? Selain dia yang lebih paham ilmu bela diri kan banyak." Anya menatap Jessi tak percaya. "Mumpung Dipta sendiri mau, soalnya seinget gue dulu Om Delmon pernah manggil guru bela diri bodyguardnya buat ngajarin Dipta tapi Diptanya malah kabur dan mengurung diri di dalam kamar seharian." Jessi menceritakan alasan mengapa menunjuk Balder saja yang mengajarkan bela diri kepada Dipta. "Anjir ngakak gue." Balder tertawa terbahak-bahak mendengar cerita dari Jessi. "Biasa aja kali." Anya melirik Balder begitu sinis dan Balder pun melakukan hal yang sama. "Emm jangan cerita tentang tadi ke siapapun, ntar Dipta bisa ngambek ke gue. Katanya aib dia." Jessi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Padahal seru belajar bela diri, biar gak asal nonjok orang berujung mematahkan tulangnya sendiri." "Emang lo sejago apa?" tanya Anya dengan nada suaranya yang terdengar meremehkan Balder sambil bersedekap d**a. "Oh lo pengen tau? Lo lawan gue aja, paling udah nyerah dari awal." Balder tersenyum miring. "Oke kita tanding, gimana?" "Sorry, tandingan gue bukan sama cewek. Gue gak bisa mukul cewek." "Ya sudah, lo sama Abra. Kalian berdua tanding." Anya menunjuk Balder dan Abra. "Gue?" Abra yang sedari tadi diam dan menyimak saja kini mendongakkan wajahnya, menunjuk dirinya sendiri saat mendengar namanya disebutkan. "Kita gak bisa tanding, energi kita sama." Balder menolaknya. "Ilih takut kan lo? Bilang aja deh kalau takut sama Abra, Abra kemarin bisa lawan orang banyak." "Sampai kapan pun gue gak mau lawan temen gue sendiri, Abra sudah gue anggap adek gue sendiri." Balder merangkul Abra yang duduk di sebelahnya dan Abra segera melepaskan rangkulan dari temannya. "Gak sudi gue jadi adek lo." "Tetep aja lo adik gue, gue lebih tua dari lo." Balder tersenyum lebar sedangkan Abra memasang muka tak sukanya dianggap adik oleh Balder. "Ihh gemoy kalian adik kakak, cocok juga." Jessi memekik gemas melihat persahabatan Abra dan Balder. "Gue tetep gak mau ya, ntar gue cari lawan yang lain. Atau gue cari masalah ke orang deh disini," ujar Balder dan ia enggan sskali melawan temannya sendiri. Abra langsung menatap Balder tajam sebab mereka berdua sudah berjanji untuk tidak mencari masalah ke orang lain di sekolah ini. "Oke, gue tunggu lo bisa nunjukkin kalau lo jago berantem. Kalau bisa orang yang lo lawan banyak dan lo sendirian." Anya tersenyum penuh arti. "Tapi gue tadi sempat lihat kalau Balder bisa lawan teman-temannya Faisal," ucap Jessi yang masih teringat kejadian beberapa menit yang lalu. "Gue kan belum lihat sendiri, gue pengen tau dan gak mau denger dari orang lain," balas Anya dan tatapannya tertuju pada Balder. "Remehin gue, bener-bener deh lo." Balder menggeleng kepalanya lalu menyilakan rambutnya ke belakang. "Kalian ini gak selesai-selesai geludnya, damai dong." Jessi lelah sendiri melihat mereka yang terus saja berantem hanya karena masalah sepele saja bisa dibesar-besarkan. "Gak bisa," jawab Balder dan Anya kompak. "Ck, ngapain ikutan omongan gue." Balder mendengus sebal. Jessi pun malas menanggapi mereka dan ia menoleh, menatap Abra yang kembali fokus pada ponselnya sampai tak menyimak obrolan mereka padahal suara mereka terdengar berisik. 'Sebenernya Abra lagi lihat apaan sih?'--Pikiran Jessi bertanya-tanya dan ia meninggikan lehernya berusaha melirik layar ponselnya Abra. 'Itu logo berita kan? Dia baca berita?' Jessi hanya berhasil melihat layar ponsel Abra dan ada logo berita berserta tulisannya saja. Jessi tak bisa membaca tulisan itu begitu jelas karena Abra keburu bergerak dan Jessi yang takut ketahuan pun membuang pandangannya ke arah lain. Jessi mengingat-ingat logo berita itu dan nantinya akan dicari sendiri berita apa yang lagi viral berita yang dilihat oleh Abra. Sepulang dari sekolah, Abra bergegas mandi dan bersiap-siap membantu bapaknya bekerja. Abra mengenakan kaos polos berwarna hitam, celana jeans panjang berwarna hitam dan tak lupa mengenakan kemeja flanel lengan panjang bermotif kotak catur abu dan hitam. "Sudah siap-siap kamu?" tanya Seno yang saat ini berada di ambang pintu kamar putranya. "Sudah, Pak." Abra masih bercermin sambil menyisir rambutnya supaya rapih walau nanti terkena angin di jalanan. "Ayo berangkat, takut telat bapak." "Iya, Pak." Mereka berdua berangkat dengan mengendarai motor dan gerobak bakso milik Seno direkatkan ke bagian belakang motor. Abra yang mengendarai motornya sedangkan Seno menghadap ke belakang sambil memegangi gerobaknya. Sesampainya di rumah seseorang yang sedang mengadakan ulang tahun dan suasana cukup ramai sekali. Ternyata tak hanya menyewa gerobak bakso milik Seno sana melainkan banyak gerobak dagangan kaki lima yang lain. Disana juga telah disediakan tempatnya masing-masing dan Seno menemukan tempat gerobaknya diletakkan karena sudah ada tulisannya. Rumah yang mengadakan pesta ulang tahun ini memilik halaman depan yang sangat luas sehingga gerobak berjumlah 7 masih muat. Ada aneka beragam jenis minuman dan makanan. "Ambil meja yang sudah disediakan disana, Bra!" Suruh Seno pada putranya sambil menunjuk beberapa meja yang tak jauh dari tempat mereka stand by. "Oke, Pak." Abra menganggu dan segera mengambil meja dan dibantu pula oleh panitia penyelenggara ulang tahun disini. "Orang yang lagi ulang tahun yang mana Pak?" tanya Abra bingung pada Seno. "Belum muncul ke permukaan." Abra tertawa sejenak mendengar jawaban Seno. "Ditata nanti tinggal kasih kuah ke orangnya aja." Seno mulai mengisi bakso ke dalam semua mangkuk yang ia sediakan dan ditata serapih mungkin oleh Abra di atas meja. Abra menghembuskan napasnya seraya memperhatikan sekitar rumah ini. Udara disini memang sangatlah sejuk karena banyak tanaman hijau dan latar halaman juga beralaskan rumput-rumput hijau yang segar dipandang. "Untung gak mendung." Gumam Abra mendongakkan wajahnya ke atas dan menatap langit yang cerah di sore hari ini. "Iya enggak lah, pasti ada pawang hujannya. Ini acara di luar. Itu meja kursi baru buat tamu baru ditata." Abra mengangguk paham dan di acara penting seperti ini yang tentu menghabiskan banyak uang pastinya ada pawang hujannya jika diadakan di luar ruangan. Walau mitos tetap saja harus dihormati salah satu budaya tamah air kita. "Memang orangnya kerja dimana?" tanya Abra penasaran. "Bapak kurang tau sih Nak, orangnya tertutup kalau masalah kerjaan dan ngobrol sama bapak itu cuman tentang kegiatan sehari-hari dia di luar kerjaannya." "Ouh gitu." "Bapak baru mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Awalnya dia baru pulang dari luar kota terus beli bakso makan dan dirasa enak dilidahnya akhirnya jadi langganan jadi setiap pulang kerja hampir tiap hari beli." "Syukurlah Pak ada langganan." "Iya, bapak senang banget ada yang mau langganan dagangan bapak ini." Saat acara sudah dimulai, Abra memperhatikan dari kejauhan dan disana ada panggung berukuran tak terlalu besar maupun kecil. Awalnya Abra merasa terhibur pula oleh pembukaan acara ini yang cukup menarik perhatiannya namun senyumannya seketika luntur sewaktu pembawa acara itu menyebutkan nama salah satu tamu spesial di acara ulang tahun tersebut. Seno reflek menoleh ke Abra dan benar-benar syok juga karena ia tidak tau apa-apa bahwa seseorang yang ulang tahun di hari ini adalah karyawan ayahnya Abra. "Pulang lah Bra." Seno menepuk Abra dan sangat tau betul apa yang dirasakan oleh putranya sekarang. "Tidak, Pak. Tidak apa." Abra memilih memandang ke arah lain saja dan enggan melihat acara ulang tahun itu. "Maaf, bapak tidak tau kalau yang ultah ternyata karyawan ayahmu." "Enggak papa, Pak. Abra biasa saja." "Jangan berbohong, bapak tau perasaanmu sekarang. Duduklah." Seno menarik kursi plastik dan menyuruh Abra duduk dikursi tersebut. Wajah Abra berubah drastis, dari yang antusias melihat acaranya yang menurutnya menarik kini menjadi datar sekali. Suasana hati Abra memburuk namun dipaksa harus ramah di tempat ini karena ia melayani orang yang memesan bakso ayahnya. Seno menatap Abra yang ia suruh untuk tak terlalu memperdulikan acara ini dan jika tidak kuat menahan rasa emosinya diperbolehkan pulang, meninggalkannya namun Abra tak mau meninggalkan Seno dan membiarkan melakukan apapun sendirian disini. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD