6. Emosi

2536 Words
Keputusanku tepat sekali dengan meminjam mobil mamaku untuk mengajak Adis ke mall. Aku ingat sekali gimana Nino cerita soal Adis yang suka sekali pakai celana pendek. Repot kalo aku bonceng pakai motor. Lagipula, mengajak putri seorang konglomerat selevel Adis, tentu tidak bisa sembarangan. Deretan mobil di garasi rumahnya aja, tidak ada mobil murah. Paling yang paling murah ya mobil Honda Jazz milik Nino, yang sama persis dengan yang mamaku punya. Jadi masih amanlah ya?. “Bang stel music ya?, sepi” pintanya menjeda fokusku menyetir mobil. Aku mengangguk. Beruntung aku sudah lancar nyetir, karena permintaan papa. Guna sekali sekarang. Lalu Adis nyanyi nyanyi dengan mode riang mengikuti lagu lagu yang di putar di sebuah stasiun radio. Jadi tidak sepi dan bosan. Beneran deh, pembawaan Adis itu menyenangkan sekali. Hidupnya seperti senang trus. Ya pasti senang sih, punya keluarga hangat, punya orang tua yang pengertian dan sangat perhatian. Belum kenyataan papanya yang kaya raya. Rasanya apa yang di inginkan sebagian besar remaja atau anak anak, pasti berharap sekali jadi Adis. “Mesti banget ya Honda Jazz valet parking?” ejeknya begitu sampai loby mall dekat rumahnya. Aku tertawa. Lagi lagi aku ingat perkataan Nino tentang Adis, yang tidak suka panas panasan menyusuri parkiran mobil di mall. Dan maunya di perlakukan seperti ratu kecil. Setelah itu dia merangkul lenganku menyusuri mall menuju bioskop dengan wajah yang senyam senyum trus. Happy sepertinya putri Sumarin. Apalagi saat aku setuju untuk kami langsung nonton dan tidak makan dulu. Tapi aku juga happy kok. Siapa yang tidak bangga saat berhasil mengajak pergi gadis secantik Adis. Yang buat repot justru saat kami harus mengantri tiket film Doraemon the movie yang dia ributkan trus. Aku turuti lagi kemauannya, walaupun kemungkinan besar, aku akan merasa suntuk menonton film anak anak. “Kenapa?” tanyaku saat dia menoleh mengadah menatapku. Dia menggeleng lalu menatap ke depan lagi. Apa karena aku peluk tubuhnya dari belakang ya?. “Ngeri gue kalo gak peluk elo gini. Takut kesenggol orang dan gak maksud modus” jelasku takut dia salah faham. “Gue suka kok, selow bang…” jawabnya tanpa menoleh dan malah memperbaiki pelukan tanganku di pinggangnya. Aku tertawa dalam hati. Pasti malu kalo dia menoleh menatapku. Dan sensasinya luar biasa. Gak tau ya, tiba tiba ada perasaan yang tidak bisa aku jelaskan dengan posisi kami yang seperti ini. Bukan pacarku, tapi kok yang aku suka dan pastinya deg degan. Lalu rasa bangga bisa pergi berdua dengan Adis, perlahan menguap, waktu aku temukan banyak pasang mata yang melihat ke arah kami, tapi lalu menatap ke kaki panjang Adis yang memakai celana pendek. Akhirnya aku mengerti kenapa Nino bawel sekali pakaian yang harus Adis pakai saat pergi dengannya, karena memang menyebalkan menemukan tatapan mata itu seperti menyeringai mengejek. Atau mungkin dulu itu, sudah ada rasa cemburu yang aku rasakan pada Adis?. Soalnya, mendadak aku marah dan tidak suka aja. Sampai kemudian antrian itu tiba saatnya untuk kami memilih posisi duduk di dalam bioskop. Aku biarkan dia memilih dan bagianku membayar tiket bioskop kami. Setelah itu baru aku mengajaknya membeli cemilan dan minum yang dia tanggapi dengan senang hati. Setelah itu kami duduk di sofa ruang tunggu bioskop sampai teaternya siap. “Jauh amat duduknya Dis?” gurauku karena dia seperti memberi jarak ketika kami duduk berduaan. “Deket deket banget juga buat apa?, nanti abang jatuh cinta sama gue yang keceh” jawabnya. Aku tertawa, karena tau bukan itu alasan sebenarnya. Pasti karena dia risih. Kalo pun sebelumnya membiarkan aku memeluk tubuhnya, mungkin karena terpaksa. Atau mungkin karena Nino dan sepupu lelakinya terbiasa melakukan hal sama, untuk melindunginya supaya tidak di senggol orang yang ikutan mengantri. Atau mungkin takut aku macam macam ya, atau modus?. Habisnya masa dia pilih bangku di pinggir dekat lalu lalang orang. Jadi ribet karena harus berkali kali berdiri untuk membiarkan orang masuk ke bagian dalam bangku bioskop yang mereka pilih. “Ogah amat, nanti elo sosot gue” jawabnya saat aku protes. Aku jadi tertawa. Sebegitunya takut dan menjaga jarak aman. Aku berani taruhan, kalo gadis lain yang pergi nonton denganku, tidak mungkin bersikap seperti Adis sekarang ini. Tegang sekali Adis tuh. Duduk aja tidak berani bersandar di bangku bioskop. Awalnya aku biarkan, karena dia sibuk juga menatap orang orang yang mengambil tempat duduk dalam bioskop. “Kalo pergi sama abang gue, pasti ngomel lihat gue sibuk nonton orang cari bangku. Kalo pergi sama mereka mah, apa aja di bawelin. Eh sama bang Reno gak terlalu sih, kalo sama bang Nino, ampun dah bang, kaya pergi sama bapak bapak kolot” keluhnya. Aku tertawa. Saat lampu bioskop mulai mati, baru aku tegur supaya dia nyaman nonton, lalu memijat keningku, menyadari banyaknya anak anak yang menonton film ini. Tapi lalu aku tertawa sendiri. Yang menemaniku nonton saat ini pun anak anak. Saat aku sentuh bahunya tadi, rasanya aku tidak merasakan adanya tali BRA. Kalo tali tanktop atau kaos kutang mungkin ya?, karena permukaannya agak lebar. Bertambah alasan untuk aku tidak macam macam pada Adis, kasihan masih terlalu kecil. Tubuh bongsornya beneran berbanding terbalik pada sikap dan kelakuannya. Sudah duduk bersandar pun, dia tetap terlihat gelisah dan tegang. Menurutku ya… “Gak enak nontonnya” keluhnya berbisik sebelum film mulai. “Ya udah sandaran di bahu gue, anggap aja gue Nino” kataku kasihan. Dia diam. “Kalo gak yakin nonton sama gue, harusnya kita ke game center aja, yang banyak orang” kataku lama lama kesel juga dengan sikap canggungnya. Yakan aku sudah izin juga pada orang tuanya, yakali bakalan aku acak acak anak orang, yang orang tuanya aku janjikan tanggung jawabku pada anak gadisnya yang aku bawa pergi?. “Sinian!!” pintaku memaksa dengan menarik lengannya. Harus berani maju dan membuktikan kalo aku bukan lelaki yang akan berbuat jahat. Akhirnya dia menurut dengan memeluk lenganku lalu bersandar di bahuku. “Ini baru enak…” desisnya lalu tertawa pelan. Aku ikutan tertawa. Satu hal yang aku kemudian sadari. Sikap keterbukaan dan blak blakan kedua orang Nino dan Adis, membuat mereka yang jadi anak, ikut bersikap terbuka juga. Nino ceplas ceplos sekalikan kalo bicara?, mau hal apa pun yang terkadang orang risih untuk membicarakan, baik Nino atau Adis, pasti akan mereka ungkapkan kalo memang perlu. Seperti tadi yang dia bilang takut aku sosot saat aku protes soal pilihan bangku bioskop. Seperti tidak ingin ada ganjalan dalam sebuah komunikasi, apa pun jadi di ungkapkan dengan jujur. Dan memang setelah itu kekakuan antara kami berdua jadi mencair. Santai aja dia nonton bioskop sambil makan popcorn yang aku belikan minumannya juga. Aku jadi ikutan dan mulai menikmati acara nonton bersama kami. “Kasihan ya bang jadi Jaiko adenya Giant tuh” komennya. “Kenapa emang?” apa pentingnya mengomentari tokoh kartun?. “Gara gara jadi ade Giant yang bangor dan tukang bully teman temannya, Jaiko kena imbasnya. Dia jadi di sebelin sama teman temannya. Persis gue gak sih?, punya abang b******k, jadi gue di benci juga sama cewek yang jadi korban kebrengsekan abang gue. Sialan banget tuh dua abang bangke gue” omelnya ada aja kalo berhubungan dengan kedua abangnya. Aku sampai hampir terbahak dan dia cengar cengir. “Terus karena punya abang yang komuknya gak keceh, jadi kena imbas juga. Komuk dia jadi ikutan gak keceh. Sama kaya gue bagian ini” katanya lagi. “Sama dari mana?” tanyaku karena Adis keceh. “Yakan dua abang bangke gue, komuknya ganteng versi internasional, bukan standart SNI lagi, jadi gue juga kebawa keceh level internasional juga. Masa beda?, kan kita abang ade, sama abang ade sepupuan” jawabnya. Aku mengangguk sambil tertawa pelan. Boleh juga, dan benar sekali. “Tapi papa bilang, punya anak cewek, mau komuknya gak keceh, apalagi komuknya keceh, tetap aja sama sama repot. Kalo kurang keceh takut di bully orang apa gak laku sama laki, kalo punya komuk keceh, malah takut di brengsekin laki. Segitu beratnya jadi orang tua yang punya anak perempuan, masalah komuk aja penting amat di khawatirin. Beda sama punya anak laki yang cukup di awasin, di empanin sama di sekolahin. Ke anak perempuan, tentu gak segampang itu. Menjaga itu lebih berat dari pada bikinnya bang, itu yang papa bilang” jelasnya. Benar juga sih. Jadi aku mengangguk membenarkan kata katanya. “Makanya gue selalu berusaha nurut sama yang papa mama gue bilang. Kasihan bang, kalo gue bangor jadi anak perempuan. Walaupun mesti banget juga gue nurut sama dua abang bangke gue, yang di tugasin ikut ngawal dan jagain gue. Padahal akhlak mereka berbanding terbalik sama apa yang selalu mereka bilang trus sama gue. Kesel kadang, larang gue macam macam, biar jadi anak perempuan berakhlak solehah, merekanya penjahat perang” keluhnya ngomel lagi. Aku terbahak kali ini, sampai dia memukul bahuku pelan supaya aku diam. “Tapi lalu mama bilang, dua abang bangke gue begitu, karena itu proses mereka mencari dan mengenali perempuan yang mungkin nantinya jadi pasangan mereka. Terkesan di biarkan untuk bersikap tetap b******k sama cewek cewek sih, tapi daripada mereka b******k di umur mereka yang sudah dewasa, malah nanti repot” katanya lagi. “Kenapa mesti repot Dis?, laki bangor wajar kali” komenku. Dia mengangguk. “Abang tau gak, kenapa anak kecil nulis pakai pensil dan orang dewasa atau beranjak dewasa nulis pakai pulpen?” tanyanya jauh dari komentarku. Aku jadi menggeleng menatapnya. “Filosofinya eyang kung bilang, supaya apa yang anak kecil tulis bisa di hapus saat dia salah nulis, sama artinya, saat kita kecil, gak apa kita melakukan kesalahan, karena masih kecil, jadi bisa di perbaiki di bawah arahan orang tua atau guru. Seperti tulisan pensil yang akan buat buku bersih lagi setelah di hapus pakai penghapus yang bagus. Kalo sudah dewasa, tentu saat kita melakukan kesalahan, tidak bisa di hapus dan terkadang tidak bisa di perbaiki lagi, karena sekalipun di perbaiki tetap akan menyisakan bekas yang akan kita ingat trus. Waktunya gak ada lagi bukan untuk memperbaiki diri?, karena saat kita dewasa, saat kita melukakan kesalahan, kita di tuntut bertanggung jawab pada perbuatan kita sendiri. Orang tua kalo pun ada, tetap tidak bisa membantu memperbaiki kesalahan itu, selain memberikan support dan dukungan untuk bertanggung jawab pada kesalahan yang si anak buat. Persis kalo kita menulis pakai pulpen, tidak bisa di hapus saat salah tulis. Mau pakai tipe X sekalipun, tetap akan meninggalkan bekas kotor di buku. Seperti catatan criminal seorang penjahat. Eyang kung bilang begitu” jelas Adis. PIntar bukan?, bocah kelas satu SMP loh. Walaupun hasil mengutip apa yang orang tua atau eyangnya katakana. Tapi untuk bocah seumuran Adis dulu, kalo dia tidak mengerti maksud eyangnya, tentu akan di anggap sepintas lalu. Karena dia mengerti maksudnya, jadi bisa menjelaskan padaku. “Nah bang Nino sama bang Reno di biarkan mungkin karena filosofi yang eyang bilang ke papa dan mama juga. Mumpung mereka masih belum dewasa, jadi kalo pun melakukan kesalahan, orang tua masih bisa ikut campur memperbaiki. Ya tentu untuk kesalahan yang gak berat. Dan supaya tidak melakukan kesalahan berat, mama dan papa tetap mengawasi dan mengarahkan supaya dua abang gue gak berbuat kesalahan berat. Papa bilang lagi, seperti menggenggam pasir menghadapi dua abang bangke gue. Terlalu longgar jangan, karena takut malah pasirnya lolos dari sela tangan, terlalu ketat pun jangan, karena takut pasirnya malah mencuat dari arah yang tidak terduga, lalu buat semua malah lebih berantakan. Jadi abang jangan mikir papa dan mama gue, santai santai aja, bang Nino di rumah Noninya trus. Tetap mereka awasin kok bang Nino. Hanya dengan mode santuy, supaya bang Nino gak main belakang. Repot kalo Noninya tiba tiba MBA, masa iya mereka jadi pengantin sunat yang kecil kecil udah nikahan” katanya lagi. Aku terbahak lagi. “Abang sih ketawa mulu” keluhnya cemberut. Langsung diam dong aku, takut juga dia ngambek. Tapi lalu aku menyesal saat aku sadari, Adis malah menangis gara gara adegan terakhir perpisahan Doraemon dan Nobita, lupa aku juga. Pokoknya dia mewek. Sampai aku panik, takut di sangka berbuat macam macam sampai dia menangis, oleh orang sekitar kami dalam bioskop. Bagian kaosku aja sampai basah oleh airmatanya. Jadi gemes akunya, mendapati hidungnya saja yang memerah gara gara dia mengelap wajahnya dengan tissue yang dia bawa. Lalu kami ke toilet dulu, setelahnya aku ajak dia makan, karena dia belum makan. Tapi bersikeras menolak karena takut Nino dan abang sepupunya sudah bangun tidur kalo kami pulang terlalu sore. “Nino urusan gue. Lagian bokap elo aja kasih izin, urusannya sama Nino apaan?” omelku kesal. Selalu Nino yang dia khawatirkan. Sama sekali aku tidak takut kalo harus berhadapan dengan Nino. Sekali lagi, aku tidak punya niat tidak baik pada Adis, dan kedua orang tuanya pun mengizinkan aku mengajak Adis pergi berdua. Adisnya juga tidak menunjukan sikap murahan kok. Aman dong harusnya. Yang tidak aman justru saat harus bertemu Omen di mall. “Bang Omen…” desis Adis sampai melepaskan rangkulanku di bahunya. Mati aku!!, itu yang aku pikirkan saat itu. Omen jelas beda dengan Nino. Sudah sejak dia tau aku dekat dengan Adis selalu mengingatkan aku untuk tidak macam macam pada Adis, terlepas Adis itu adik kesayangan Nino. Saat itu pun, dia bisa tersenyum menjawab sapaan riang Adis, kenapa sama aku wajahnya angker nian?. Auranya seram, mengalahkan aura ramah om Prass, yang papanya Adis. Sampai aku grogi sendiri menghadapi tatapan Omen ke arahku. “Abang lagi apa?” tanya Adis. “Nyusul bunda gue, elo ngapain sama Roland?” tanyanya lebih ke arahku. Hadeh…centeng tuh dari dulu bakatnya udah terlihat jadi centeng perawan atau cewek cewek. Tentu saja Omen mengizinkan aku membawa Adis makan dulu sebelum dia menyuruhku mengantar Adis pulang sampai rumah. Itu harus dan perintah dari Omen yang harus aku laksanakan. Obi atau Nino, dan Rengga aja takut melawan Omen urusan keselamatan cewek cewek yang dekat dengan mereka. Apalagi aku yang notabenya Adis masih ABG banget. Yang buat aku kesal, justru saat Adis perlu sekali mencium pipi Omen saat aku suruh pamit pada Omen. Sampai saat kami akhirnya makan di sebuah restoran Jepang pilihannya, masih aja tanya tanya soal Omen. Sampai aku jadi kesal sendiri. Habisnya cengar cengir gitu. “Selow Dis, gue gak masalah kok kalo elo suka Omen. Kali dia bisa banyak ketawa, kalo dekat elo kaya gue” komenku menyerah sendiri. Itu pun aku hati hati sekali ngomongnya, gak tau ya, ada sisi lain dari diriku yang seakan tidak rela, kala aku harus bicara seperti itu pada Adis. “Kalo gue sukanya sama abang gimana?” tanyanya menjawab kata kataku. Di luar dugaan bukan?. Tapi saat itu, aku menyadari Adis terlalu kecil untuk bicara soal cinta cintaan. Bego memang aku saat itu. Aku seakan lupa, rasa suka, sayang sampai cinta itu tidak bisa di sangkut pautkan dengan umur, agama, ras, sampai kepribadian seseorang. Kalo udah suka, sayang atau cinta, bisa menyentuh dasar hati siapa pun. Jadi berandai andai lagi akunya. Seandainya dulu, aku menanggapi pertanyaan Adis dengan mengajaknya pacaran, pasti tidak akan seperti ini akhir kisah kami kala itu. Mungkin kami masih bersama, persis seperti teman temanku dengan cinta pertama mereka. Memang tidak selalu berjalan mulus hubungan pacaran teman temanku, tapi minimal mereka tetap sama sama, bukan seperti aku dan Adis, yang terpaksa berpisah karena sebuah kesalahfahaman yang tidak pernah Adis katakan sejujurnya padaku, dan aku tidak cukup mengerti dengan perubahan sikap yang dia tunjukan. Bodoh…emosi memang selalu berhasil mengacaukan semua. Di hari hari selanjutnya kala itu pun, aku sempat emosi atau baper tepatnya, saat Adis justru pergi berdua juga dengan Omen…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD