Cerpen 1: Summer in My Love - Part 3

827 Words
“Duh… Jes… jangan marah, dong!” pinta Kesha, merapatkan kedua tangannya di depan Jessy. "Gue marah total! Titik !" koarnya galak. Kesha  hanya lemas mendengar pengakuan temannya itu. dia paham perasaan Jessy yang ingin sekali masuk HI. Tapi… Kesha sendiri mulai ragu untuk meninggalkan STIE Matahari… dia ingin lulus dengan nilai tertinggi dan memuaskan serta dapat melanjutkan S2 manajemen di universitas H di Amerika.  "Sorry, Jess…" Kesha tertelungkup di mejanya. Pandangan matanya kosong ke arah pintu keluar kelas. "Aku ingin lulus di sini…. Dan lanjut ke Universitas H…. " ungkap Kesha tanpa emosi sama sekali yang terdengar dari nada suaranya. "Otakmu udah gila, ya ?" wajah Jessy tiba-tiba muncul tepat di depan wajah Kesha, matanya melotot tajam bak serigala kelaparan mengincar buruannya yang lepas. "Maaf, Jess…" erang Kesha penuh nada penyesalan, dia menegakkan badannya, lalu membuang muka dari pelototan Jessy yang makin menjadi-jadi. "Apa ? Kau pikir itu bisa menyelesaikan masalah ?" protesnya sangar. "Maaf…." ucap Kesha untuk kesekian kalinya. Kali ini dia memandang Jessy, matanya terlihat nanar. "Aku tahu, aku jahat karena mengkhianatimu…. Menghancurkan rencana kita… tapi…" ia terdiam sesaat, lidahnya kelu untuk melanjutkan kata-katanya.Kedua matanya dikerjapkan kuat-kuat sesaat, menghindari pandangan Jessy, kemudian membuang muka kedua kalinya dari Jessy. "Ya! Kau jahat! Nenek sihir !" Jessy berdiri tepat di hadapan Kesha, berkacak pinggang seakan memarahi anak kecil yang bermain di tengah jalan raya. "Teganya kau menyia-nyiakan usaha kita berdua selama ini? Belajar bersama sampai harus begadang hanya untuk mengulang semua pelajaran SMA? Dan kau sampai harus diopname selama seminggu gara-gara kelelahan belajar? Dan! Siapa yang stres di awal semester gara-gara kuliah di sini? Kau!” tudingnya meledak. “Kau sinting! Tapi, apa, hah ?  Kalau kau mau bilang, kalau sudah cinta mati pada ekonomi? Lalau kau kini nggak tertarik menjadi programmer? Please, deh!" Jessy merentangkan kedua telapak tangannya di depan Kesha, mendengus kesal lalu memutar badannya membelakangi temannya itu, dan berkata lagi, "aku yakin kau hanya sekedar takut kalau gagal lagi di ujian bulan depan… " Jessy kembali berkacak pinggang, menggeleng sembari tersenyum kecut. "Dengar dulu alasanku… kumohon…" pinta Kesha, memelas. Nampak ia terlihat begitu letih, berusaha meyakinkan Jessy. Tahu betul bahwa ia keliru memberitahunya dengan cara seperti ini. Harusnya dia punya rencana cadangan berlapis. Ia tak tega sebenarnya ini terjadi. Mereka teman baik, bahkan sahabat sejati sejak pertama kali kenalan. Namun, Kesha sudah menetapkan hatinya. Dan menambatkan pilihannya pada apa yang telah dijalaninya. Hal yang selalu dianggapnya sial. Harusnya bukan  kata ‘sial’ yang terlontar dari pikirannya,  namun ‘terima kasih’. Tak ada orang yang sial di dunia ini, hanya belum beruntung saja atau itu bukan hal yang terbaik untuk seseorang, akan tetapi hal itu tak disadarinya sedari awal . Itu yang dipikir ulang oleh Kesha beberapa hari belakangan ini. “Baik! Tapi aku tak ingin dengar alasan konyol!” Jessy akhirnya melunak pada ekspresi Kesha yang begitu bermuram durja. Tak seharusnya ia menghakimi Kesha tanpa mendengar alasannya. “Trims, Jess….” Kesha tersenyum tulus. Dan selama 30 menit Kesha menceritakan hal yang membuat hatinya gundah dan tersentuh pada nasib seorang buruh. Jessy yang mendengarkan hanya mengerutkan kening lalu sesekali disertai dengan ucapan “Oh…” dan  “Ya…” Jessy mengangguk tanda mengerti. “Kenapa kau tak menceritakan hal itu padaku? Aku tidak akan marah….” Kata Jessy lembut. “Aku takut kau akan marah seperti tadi… kau tahu aku tak pandai bicara hal semacam ini… tapi aku janji akan tetap membantumu belajar untuk persiapan ujian masuk bulan depan.”   Kesha tersenyum ceria. Dan merasa lega, bahwa Jessy akhirnya paham pada apa yang dia putuskan pada hidupnya. “Hei! Kalian belum pulang?” suara cowok yang sangat dielu-elukan oleh Kesha akhir-akhir ini tanpa peringatan berkumandang di kelasnya. Oh… tidak…. Cowok itu juga salah satu alasan kenapa Kesha tertarik pada ekonomi. Cowok yang mencuri hatinya sejak 2 minggu lalu di perpustakaan… “Oh! Yuda? Ngapain?” tanya Jessy. Kesha tahu betul kalau Jessy akrab dengan Yuda sejak OSPEK dulu. Tapi, dia tak memberitahu siapa pun  kalau dia suka pada Yuda. Termasuk Jessy. Mungkin Jessy bakal ngamuk lagi kalau tahu dia menyembunyikan hal itu dari Jessy. “Ini. Tugas kalian buat minggu depan. Aku yang diminta untuk mengkopinya.” Yuda menyerahkan dua rangkap salinan fotokopi  itu pada Jessy. Matanya melirik Kesha sedetik dan itu membuat wajah Kesha merona. Cowok itu berbakat di bidang ekonomi dan menjadi teladan di mata Kesha selain dia menyukai cowok tampan itu. Dan satu hal penting dari cowok itu. setiap kali Kesha menghirup wangi tubuh Yuda, maka Kesha serasa berada di suatu tempat, di mana ada sungai yang mengalir jernih, pepohonan mepel yang tumbuh rindang, dan Kesha tidur terlentang di tepi sungai yang jenih itu sambil memejamkan mata, serta hanya mendengar suara-suara alam bagai simfoni yang jalin menjalin membentuk alunan indah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD