“Maafkan aku.”
Dia itu bodoh atau apa, aku benar-benar kesal, mencoba untuk menahan diri agar tidak melemparkan kata-kata menyakitkan kepadanya. Dia merogoh-rogoh tasnya lalu menyodorkan beberapa tisu ke arahku pada akhirnya setelah beberapa kali terlihat ragu-ragu untuk menempelkan nya di wajahku atau memberikannya padaku. Pada akhirnya ia memberikannya padaku, tisu darinya ku sentuhkan ke wajahku mecoba untuk membersihkannya.
“kau masih mengingatku?,”ia membuka suaranya, suaranya sangat halus menyenangkan untuk di dengar namun kekesalan karena cipratan ini tak bisa meruntuhkan kekesalanku padanya.Dia terlihat sangat terkejut dan takut, aku tidak tahu kenapa dia terlihat takut padaku. Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku untuk mengatakan sesuatu. “kau mau membunuhku?.”
Pertanyaannya membuatku hampir saja tertawa dengan keras, aku menahan diri untuk tidak melakukan hal itu, aku tahu kenapa dia takut padaku, ini akan menjadi sangat mudah beruntung sekali kau Tristan. ujung bibirku tertarik, hampir saja akan tertawa karenanya. Ia menarik diri dariku, merasa tersinggung dengan senyumanku, aku menaruh tisu di dekat botolnya lalu mulai mencondongkan tubuh ke arah nya untuk membisikan sesatu.
“aku memang mau membunuhmu.”
Tubuhnya menegang, rekasi wajahnya terlihat lucu, anehnya aku terhibur dengan sikapnya itu. aku menarik diri untuk melihatnya secara keseluruhan, dia menarik. Sikapnya menarik penuh perhatianku. Tiba-tiba saja ia bangkit berdiri ingin pergi dari sisiku, spontan aku menarik coatnya, menahan kepergiannya, alasan pertama karena aku ingin membicarakan sesuatu dan alasan kedua, anehnya aku tak ingin dia pergi secepat itu.
"Kau mau kemana? Duduklah dulu. Aku tidak akan membunuhmu sekarang. Kau tidak akan bisa kemana-mana. Seseorang akan menarikmu lagi jika kau mencoba kabur. Kita harus bicara."
Matanya mengedar ke segala arah, memastikan apa yang ku katakan, aku hanya memandangi wajahnya dan memperhatikan sikapnya. Ketika mata kami bertemu ia langsung menatap ke arah lain.
"Apa yang mau kau bicarakan? Jika ini masalah tentang kejadian waktu itu, aku minta maaf telah melihat semuanya. Aku tidak akan bicara dengan siapa-siapa."Aku memberanikan diri untuk menyinggung masalah itu. Sepertinya dia tidak seperti dugaanku, ia bukan wanita pemalu yang irit bicara, wajahnya terlihat suka ragu-ragu dan bimbang namun sifatnya tidak seperti dugaanku. Dia benarbenar takut karena telah melihat apa yang aku lakukan di pelabuhan, dia terlalu banyak menonton film rupanya.
"Tidak masalah jika kau mengatakannya pada siapapun, semuanya bisa di selesaikan,"Lagi-lagi dia terlihat sangat terkejut, membuatku ingin bermain-main dengan rasa takutnya. Jika hal itu yang paling di takutinya maka aku akan bermain di sana, membuatnya tak bisa berkutik dan mau tidak mau dia akan mengikuti apa yang kuinginkan, yaitu bermain peran. "Ada hal yang harus kau lakukan jika kau tidak mau.. mati lebih cepat sebagai saksi mata."
"Aku tidak berniat terlibat lebih jauh."Ketegangannya adalah hiburan bagiku.
"Keuntungannya adalah kau akan hidup lebih lama."kami mulai untuk bernegosiasi.
"Sepertinya tidak terdengar bagus."Keningnya mengerut, mencoba memahami apa yang baru saja ku katakan. Ia terdengar tidak setuju dan tidak akan setuju dengan gagasan ini, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku ingin segera membawanya pergi dari sini menuju San Farnsisco. Ia terlihat ingin menjauh dariku.
"Apa maksudmu?."gumamnya, suaranya terdengar lirih. Mataku berlaih mata anak buah Sam yang kini mendekati kami, berdiri tepat di belakang Ana. Ana memerhatikanku, perlahan-lahan kepalanya berputar ke arah belakang tubuhnya. Hal itu membuat anak buah Sam yang berdiri di belakangnya langsung menempelkan sapu tangan yang di olesi obat bius ke indra penciumannya. Matanya mengerjap beberapa kali, lalu perlahanp-lahan terpejam. Tubuhnya hampir saja terjatuh dengan cepat aku berdiri dan menahan tubuhnya dengan memegangi pinggangnya, tubuhnya terlalu enteng berapa berat badannya, apa dia kekurangan makan. Aku menggendongnya dan membawanya pergi keluar dari Klub untuk segera menuju San Fransisco.
**
Malam itu aku membawanya terbang bersama denganku menuju San Fransisco menggunakan jet pribadi, Ana terbaring di kasur yang berada di dalam kamar jet ini dengan kondisi tak sadarkan diri. Aku duduk di kursi meja kerja yang berada di dalam kamar itu. Sesekali melirik ke arahnya, lalu berkutat lagi dengan pekerjaanku. Sesampainya di sana waktu sudah sanhat larut, kakek dan nenekku sudah tertidur memudahkanku untuk membawa masuk Ana yang tidak sadarkan diri dan membuat kecurigaan. Aku membaringkannya di kamar tamu, karena terlalu jauh pergi menuju kamarku di lantai atas dan aku akan melewati ruang kerja kakek, dia akan bertanya-tanya hal-hal bahkan bisa jadi curiga karena Ana datang dalam keadaan seperti ini. Ia tidak akan bisa kabur mengingat kamar ini berada tepat di pinggir laut. Waktu terasa cepat berlalu, aku bersiap untuk berpakaian ketika menuju lantai atas kakek dan nenekku keluar dari kamar, menyapaku dengan senyum lebar di wajah mereka. Aku memeluk nenek dan kakek bergantian sebagai sapaan. “aku harus segera bersiap.”aku tidak ingin ada introgasi pagi ini.
“kami akan menunggumu di sana. Bersama dengan wanita itu.”ucap Liliy, alisku terangkat, mereka pergi dari hadapanku menuju taman di halaman belakang rumah sementara aku pergi menuju kamarku di lantai 2. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk bersiap-siap, Di atas ranjangku sudah ada kotak berisi gaun untuk Ana menghadiri pesta kebun, aku membawanya lalu turun ke lantai bawah untuk melihat Ana. Apakah wanita itu sudah bangun atau belum. Tanpa mengetuk dahulu aku bergegas masuk ke dalam dan melihatnya tengah kebingungan membuat keningku mengerut.
"Kau membawaku ke San Fransisco untuk apa? Kau mau membunuhku!." Lagi-lagi dia mengatakan itu.
"Ya. Tapi tidak sekarang. Mandilah dan pakai itu. Cepat."aku butuh dia siap sekarang tapi wanita itu terlalu mengulur-ngulur waktu dan memperhambatku.
"Aku tidak mau. Untuk apa aku mandi jika kau ingin membunuhku. Bersih ketika mati tidak akan membuat perasaanku lebih baik agar aku merasa damai dalam kematian."Kejengkelanku terbit, walau perkataannya membuatku selalu ingin tertawa, ketakutannya menghiburku. Dia memang lucu.
"Jika kau tidak mau mandi sendiri, aku akan memaksamu, menyuruh orang untuk melakukannya dengan cepat."
"Apa kau sudah gila! Aku belum mati tidak perlu seseorang untuk memandikanku."Dia memeluk tubuhku sendiri menggunakan kedua tanganku, menatapku dengan ekspresi horror.
"Kalau begitu cepat, jika dalam 10 menit kau tidak kunjung siap. Aku akan menyeret mu keluar."
"Kau tahu wanita mandi lebih lama di bandingkan pria bagaimana bisa kau memberikanku waktu hanya 10 menit."Aku menahan diri untuk tidak memutar kedua bola mataku, dia menjadi sangat merepotkan. Aku ingin sekali menyeretnya masuk ke dalam toilet dan mulai mengguyurnya dengan air. Kapan dia berhenti bicara dan menurut.
"Cepat lakukan 15 menit. Tidak lebih."