BAB 05 - Back to New York

2068 Words
Ana sangat terkejut dengan permintaanku, apakah dia menjadi panik sekarang karena ekspresinya terlihat cukup mengkhawatirkan. Ia tampak bingung, gelisah dan takut, sepertinya tinggal denganku membuatku lebih takut di bandingkan menghadapi kakek yang seharusnya membutnya lebih merasa takut di bandingkan menghadapiku. Aku memutar tubuhku lagi untuk bersiap dan meminta Phil untuk menyiapkan penerbangan karena kami akan pergi sekarang, sesegera mungkin ada hal yang harus ku kerjakan besok dan tak sabaran untuk melihat isi emailku. Aku tidak akan melakukan hal buruk, aku sudah berjanji dan aku selalu menepati janjiku, untuk tidak membunuhnya sebagai saksi mata atas apa yang sudah ku lakukan di gedung tua itu. “jangan main-main denganku.”perkataannya membuat langkahku terhenti, aku tahu ia cukup konyol untuk mengancamku dengan kata-kata itu yang seharusnya lebih cocok bila aku yang mengatakannya. Dia membuatku hampir saja tertawa beberapa kali. Pergerakan tanganku di gagang pintu juga terhenti, aku kembali menoleh padanya sudut bibirku tertarik membentuk seringaian tipis, ekspresinya saat ini benar-benar lucu. Rasa takutnya yang berlebihan membuatku ingin tertawa. Ketakutannya menghiburku, masalahnya siapapun akan tertawa jika melihat ekspresinya seperti ini.   "Nona Wren. Seharusnya aku yang berkata begitu." Kedua tangannya bersedekap menatapku dengan tatapan sengit. Dia sangat keras kepala, mencoba untuk menentangku membuatku bersemangat menunjukkan jika dia tidak akan mungkin bisa membuatku menurutinya, menaklukannya diam-diam aku ingin membuatny menurut. Wanita ini cukup merepotkanku. “Aku menolak hal itu! aku sudah membantumu tadi dengan aktingku yang luar biasa, ini tidak akan berlanjut lagi.”akting luar biasa dia bilang, dia bahkan tidak bisa mengelabuiku, bahkan aku ragu kakekku juga percaya. Melihatnya menyombongkan diri, hanya menunjukkan betapa konyolnya dia. “tutup mulutmu sekarang.”aku tidak ingin bermain-main.   “kau mengancamku!.”dia tidak menyerah, ia mencoba untuk tetap melawan walau naylinya sudah sedikit menciut, kenapa tidak diam saja Ana dan menurutiku. Dia seharusnya menurunkan sedikit volumenya dan berbicara nanti saja, aku mulai khawatir, sudah pasti kakek mulai mengintai kami sekarang. Mataku melirik ke arah dinding ketika mendengar sesuatu, seseorang di balik ruang sebelah sudah pasti sedang mencoba untuk mencengar pembicaraan kami. Aku mendekati dinding dan menatapnya, mencoba menajamkan indra pendengaranku. “Bukan. Tapi dinding ini punya telinga.”Aku mengetuk dinding itu tiga kali ketukan dengan keras lalu suara-suara ribut terdengar, sudah ku duga ada orang yang mencoba mendengar pembicaraan kami, ini bukan kamarku dimana tidak akan ada yang bisa mendengar apapun dari dalam kamarku. Ana terlihat sangat terkejut. Aku ahrap ia menjaga perkataannya mulai sekarang. “Luar biasa rumah ini aku sangat menyukainya.”dia membuatku kedua bola mataku berputar. “Ayo pergi.” ** Kami pamit sekenanya, aku harus kembali dengan segera, rasa penasaran untuk melihat isi dari emailku. Keinginan itu menggerogotiku dengan rasa haus yang tak terbendung. Ana tidak mengatakan apapun, ia bersikap jauh lebih baik dengan diamnya membuatku tenang. Ia mencoba menyibukkan dirinya sendiri, tampak bosan namun aku tidak akan ikut campur dalam kebosanannya, ada hal yang harus ku urus. Pada akhirnya aku memilih untuk membuka emailku nanti di Apartemen karena ada yang harus ku lakukan, Phil memberikan informasi mengenai apa yang terjadi di pesta kebun. Sesekali aku melihat ke arah Ana, ia tak tertidur walau matanya sudah ingin terpejam, dia berusaha untuk tetap terjaga. Seperti terlalu takut untuk kembali kehilangan kesadaran, ia tidak percaya padaku dan aku tidak berniat untuk berusaha meyakinkannya lebih jauh. Biarkan ia dengan pemikirannya sendiri. Bahkan ketika kami berada di dalam mobil ia tak mengatakan apapun, ketika mobil berhenti ia lagi-lagi terkejut. Kemungkinan ia berpikir aku akan membawanya ke suatu tempat dan dia pasrah jika hal itu terjadi, aneh sekali melihatnya terkejut ketika aku membawanya pulang menuju apartemennya. “hebat sekali. Tahu apa lagi kau tentangku?.”Dia benar-benar terkejut untuk hal sekecil ini, seharusnya aku berbasa-basi untuk bertanya tentang alamat rumahnya agar dia tidak seterkejut ini, namun bukan benar-benar memulangkannya. Aku ingin ia tahu jika dunianya sudah ku persempit sekarang.   “kau benar-benar mau tahu?.”sebelas alisnya terqangkat tinggi. Menangkap keraguan nya membuatku ingin memamerkan sejauh apa aku tahu siapa dia. Ana Wren, kau akan sangat terkejut jika tahu berapa banyak yang ku ketahui tentang dirimu. “kau tahu berapa ukuran sepatuku?.” “41.”kedua matanya membesar, membulat terlihat sangat terkejut membuatku merasa lucu. “itu tidak membuatku takjub.”perkataannya jelas-jelas sangat meragukan. Berbanding terbalik dengan apa yang ekspresinya tunjukkan. Ana Wren bukan hanya keras kepala, susah di atur, ia juga memiliki gengsi. Tetapi ekspresinya tidak bisa berbohong. Ia mengambil tasnya sebelum membuka pintu mobil, keluar dari dalam mobil dengan cepat. “aku akan menjemputmu nanti. Siapkan semua pakaian yang harus dibawa.”perkataannku membuat gerakan tangannya terhenti, ekspresinya terlihat masam menunjukkan betapa tidak sukanya ia dengan perintahku. “Aku belum menyetujuinya.”seraya menutup pintu mobil hingga menimbulkan suara keras. Dia memutar kedua bola matanya di hadapanku, secara terang-terangan mengabaikan perkataanku dan menentang perintahku. Dia tidak takut padaku dan aku merasa tidak senang dengan sikapnya, baru kali ini seseorang tidak takut padaku walau ia tahu siapa aku sebenarnya. Ana Wren adalah wanita yang menguji kesabaranku. “aku rasa kau tidak akan suka jika aku memaksa nona Wren. Kau tahu betul apa yang akan aku lakukan! Kau membuka matamu dan kau berada di San Fransisco, bagaimana jika kali kedua kau sudah berada di dalam peti mati!.”ekspresiku mengeras aku merasakan kejengkelan yang laur biasa, melihatnya dengan snatai menghadapi kemarahanku membuat ku menggila. Ancamanku barusan sepertinya tidak membuatnya takut, ia menganggapnya seolah aku baru saja melemparkan lelucon ke arahnya, sikapnya menyinggungku. “Ha! Pastikan peti mati yang bagus dengan ukiran bunga di sepanjang sisinya. Aku mau yang berbeda karena yang akan membunuhku adalah seoarang mafia.”aku hanya menatapnya sampai wanita itu masuk ke dalam gedung, aku meminta Phil untuk melajukan mobilnya. Ana Wren, nama itu akan terukir jelas di pikiranku, dia satu-satunya wanita yang berani menentangku dan membuatku sekesal ini. “kau mendengarnya, carikan benda itu yang sama persis.”gumamku dengan suara lirih, Phil menatapku dari balik kaca spion, lalu mengatakan hal itu seraya menekan earphone di telinganya. Aku akan menunjukkan pada Ana jika membuatku kesal adalah kesalahan terburuk. Pandanganku beralih pada jendela di sebelahku, pikiranku beralih dari Ana Wren ke arah hal lebih jauh mengenai apa yang harus ku lakukan setelah ini. Aku akan menunggu di Apartemenku sementara suruhan Phil yang akan menjemput Ana dan membawanya menuju Apartemenku. Aku akan menunggunya di sana dengan kejutan dan harapannya tadi yang akan ku kabulkan. Jika tak bisa membawanya dengan cara lembut, cara lain akan dilakukan tergantung bagaimana Ana bersikap. Jika ia menurut semaunya akan menjadi lebih mudah, tapi aku meragukan hal itu. ** Aku masuk ke dalam kamar dan melihat peti mati sudah tersedia di dalam, dengan Ana Wren yang baru saja tiba dan sudah berbaring di dalam peti pati. Peti mati yang sama persis seperti apa yang dia requestnya. Berwarna putih dengan ukiran bunga di setiap sisinya. Phil membawakanku kursi yang berada tepat menghadap ke arah peti mati dimana Ana Wren berada. Menunggunya terbangun, diam-diam merasa penasaran dengan reaksi yang akan Ana tunjukkan. Ku rasa ekspresinya akan sangat menghiburku. “bangunkan dia.” Phil menyodorkan botol kecil wewangian ke arah hidung Ana, tidak sampai mengenainya hanya agar wanita itu menghirupnya dan tersadar setelah menghirup aroma tersebut. Phil menjauh setelahnya ia mengangguk memberitahuku jika Ana sudah bangun. Dia bangkit terduduk, tampak kebingungan ketika pandangan kami bertemu aku berkata.  “kau menyukai nya? Berukiran bunga.”  “kau benar-benar pria baik!.”aku tahu itu hanya ejekan, ia mendengus sebal, ucapnya penuh dengan penekanan pada setiap kata-katanya, kejengkelan dan rasa kesal di wajahnya membuatku senang. Aku menahan diri untuk tidak terlihat bahagia dan menunjukkan betapa senangnya aku karenanya. “terima kasih atas pujiannya.”pandangannya berputar melihat setiap pemandangan yang berada di dalam kamar ini, aku hanya memerhatikannya dan menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya.   “dimana aku sekarang?.”yang jelas bukan di Apartemennya. “Apartemenku.”Kepala Ana berputar menjadi menghadap ke arahku, memerhatikanku dari atas hingga bawah, ekspresinya tampak datar, menilai. Penasaran dengan apa yang tengah ia pikirkan saat ini. katakanlah sesuatu Ana, aku ingin mendengar apa yang sedang kau pikirkan sekarang. “Aku kan belum setuju.” Ia menolak untuk pindah kemari, aku sudah memikirkannya cukup lama. Bukan tanpa alasan aku mengizinkannya untuk tinggal di sini, bukan karena aku cukup baik untuk menampungnya, pertama karena aku masih memerlukan kehadirannya untuk berada di sekitarku, kakek akan memantau kami berdua dan jika kami berdua tidak terlihat seperti pasnagan pada umumnya, kakek akan tahu jika kami hanya bersandiwara. Akan lebih meyakinkan jika Ana tinggal di sini, di Apartemenku, bersama denganku agar kakek bisa percaya. Aku mengenal kakek dengan baik, ia tidak hanya akan bersikap biasa, cukup tahu jika aku berbohong, kemungkinan besar akan ada efek terhadap Ana. “kau akan aman di sini, jika kakekku tahu kita hanya berakting. Aku yakin kau tidak ingin melihatnya marah.”Tiba-tiba saja ia meringis, apa yang Ana pikirkan membuatku penasaran. Ia terlalu ekspresif, dia membuatku ingin bisa membaca pikirannya.   “Apa dia akan menondongkan pistolnya ke arahku?.” “tidak. Tapi dia akan menempelkannya di keningmu!.”Ana menghela nafas gusar, ia mencoba untuk keluar dari dalam peti tersebut. Ana mencoba untuk bangkit berdiri, aku membantunya untuk keluar dari sana. Setelah keluar dari dalam peti tersebut, ia mengamatinya lagi lebih detail melihat setiap ukiran dan bentuk peti tersebut, tampak terkesima dengan peti yang kusiapkan untuknya. “kau membelinya hanya untuk membungkamku dengan kesombonganmu itu, lalu kini apa yang akan kau lakukan dengan peti ini?.”ia melemparkan ejekan padaku secara terang-terangan. Aku ingin menunjukkan padanya jika aku bisa melakukan sesuatu dan hal yang bisa ku lakukan lebih dari yang ia bayangkan. Aku tidak berniat untuk menyimpannya di dalam Apartemenku, aku akan meminta Phil untuk menarunya di tempat lain atau melelangnya. Niatku memang untuk membungkam Ana. “membuangnya mungkin. Aku tidak punya ruang untuk menyimpannya.” “jangan dibuang. Aku tahu tempat penyimpanannya. Biarkan ini menjadi milikku. Aku sudah tidur di dalamnya, jadi ini untukku saja.”keningku mengerut, alisku bertaut bingung. Dari semua yang ia inginkan dariku, dia malah meminta peti mati. Aku tak habis pikir dengan keinginannya dan minatnya pada sesuatu. Apakah aku salah memilih seorang wanita untuk menjadi partner dalam sandiwara ini. “kau memiliki selera yang aneh terhadap peti mati.”bibirnya membentuk senyum lebar, tampak senang hanya dengan hadiah peti mati. Aku tak habis pikir dengan keinginannya itu. Baiklah terserah dengan apa yang dia inginkan, lagi pula tidak ada yang ingin ku lakukan dengan peti itu. “Pindahkan ini ke gudang dulu,”ujarku Tristan pada dua orang penjaga kemanan yang tengah berdiri di depan pintu kamar yang terbuka. “kau harus tidur di atas tempat tidur, jika barang ini tetap di sini kau akan kembali ke dalamnya.” “Tunggu, aku akan tidur di sini!.”Ana menunjuk ke arah kasur, kamar ini adalah kamar yang akan ia tempati saat tinggal bersamaku di Apartemen ini. Kamar ini berada di lantai 2 sementara kamarku berada di lantai 1, aku akan tetap memiliki batasan dan memberikannya privasi. Aku menghargai rasa nyamannya ketika tinggal di sini bersama denganku. Aku sadar ini mengejutkan, bukan hanya aku yang di untungkan, ia juga di untungkan dalam banyak hal, salah satu yang terpenting ia akan merasa aman. “Apa kau berharap akan tidur denganku?.” Reaksinya membuatku hampir tertawa. Ia jelas berpikir sangat jauh. “dalam mimpimu!.” Aku menggelengkan kepalaku, kedua tanganku terlipat di depan d**a, menatapnya dengan angkuh. Tatapannya membuatku muak. Kejengkelannya adalah hiburan untukku.   “itu pasti akan menjadi mimpi buruk!.”ucapku membuatnya semakin jengkel. “Bisa kita berbicara serius sekarang! Ada hal-hal yang harus kita bahas. Ini menyangkut tentang kehidupanku!.”ia menunjuk dirinya sendiri, kini ia meminta untuk berbicara dengan serius. Aku memang berencana untuk melakukannya sejak kami berada di San Fransisco. “aku memang menunggumu bangun untuk membahas itu, ayo ke bawah dan ku tunjukkan sesuatu!.”Aku membalikan tubuh memunggunginya untuk pergi menuju lantai bawah, tempat bagi kita berdua untuk berbicara dengan serius, petinya mulai di bereskan. Ana berjalan di belakangku mengikutiku turun. “kau tidak akan menunjukkan pistol untuk membunuhku kan?.”Lagi-lagi, Ana Wren dia adalah wanita yang lucu. Sudah beberapa kali ia membuktikan betapa ia menghiburku karena perkataannya dan leluconnya. Dia menganggapku mafia, aku tidak keberatan jika hal itu bisa membuatnya menurutiku, membuatnya takut karena ancaman kematian. “Masih takut tentang kematian nona Wren! Kau baru saja bangun dari peti mati kenapa masih merasa takut!.” Sesampainya di bawah aku beralih menatapnya, kedua matanya menatapku sengit. Membuat Ana kesal cukup menghiburku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD