Ada sesuatu yang menggangguku, perkataan kakek tadi malam dan informasi yang baru saja ku dapatkan dari Phil. Kedua tanganku bertaut, jari-jemariku mengetat menekan kulit punggung tanganku. Pandanganku beralih pada Ana yang sudah siap, ia terlihat cocok dengan gaun itu. ia tak terlihat pandai merias diri tapi aku menyukai ia tak berlebihan dengan riasannya. Ia tampak kikuk berdiri di sana dengan perasaan gugup. Aku berdiri ketika ia berjalan menghampiriku, pandangannya mengedar ke segala arah saat kami pergi menuju taman di belakang rumah. Terlalu berlebihan untuk menyambut kedatangan Ana, nenek yang bersikeras untuk merencanakan semua ini, ia sangat bersemangat dengan kehadiran Ana.
Beberapa kali aku melihat Ana tampak kebingungan, ia duduk menatap setiap sajian makanan dengan eskpresi yang membingungkan. Ia tampak bingung dan takjub, Ana membuatku berpikir setiap kali melihatnya. Mereka berdua terlihat seolah tak peduli, kakek dan nenek memerhatikan kami diam-diam, nenek tengah menatapku saat memergokiku tengah menatap Ana, aku hampir saja memutar kedua bola mataku, menahan diri dengan mengalihkan pandanganku ke arah lain.
“Ana makanan apa yang kau sukai, juga apa hobbymu?.”
Bukan hanya nenek yang penasaran, aku juga ingin tahu apa yang Ana sukai dan apa hobbynya. Kami tak pernah membicarakan hal-hal seperti itu, ketika kami berdua duduk bersama Ana hanya membahas mengenai mafia dan ketakutannya akan kematian. Aku tak suka membicarakan hal-hal pribadi yang biasa ku rahasiakan dan aku tak suka mengumbar cerita pribadi mengenai diriku, kepada siapapun.
“Aku tidak memilih-milih makanan, aku suka apapun, aku suka jalan-jalan, ke tempat hal baru.”Ana terdengar sangat antusias ketika menceritakan tentang dirinya.
“Apa pekerjaan ayahmu Ana?.”Ana tertegun, ia terdiam untuk beberapa saat seolah pertanyaan itu menganggunya. Hal ini membuatku ingin mencari tahu mengenai hal itu, ekspresinya berubah sangat kontras, tercetak di wajahnya. Bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. Matanya melirikku sekilas sebelum kembali menatap nenek dan tersenyum lebih lebar.
“ayahku dulunya adalah seorang agent properti, sebelum meninggal.”
“Maafkan aku.”gumam nenek lirih tedengar menyesal. Ia seolah ingin membuktikan sesuatu. Nenek terlihat tidak terkejut begitupula dengan kakek. Aku memergokinya tengah menatap Ana, seolah ia tahu akan hal itu, ketika tatapan kami bertemu kakek berdehem dan mengalihkan pandangannya dengan meminum anggur yang tersaji di hadapannya.
“tidak masalah.”ucap Ana.
“lalu.. bagaimana dengan ibumu?.”nenek kembali melanjutkan pertanyaannya, mencoba untuk menggali siapa Ana lebih jauh, tentu dia sudah tahu kemungkinan besar lebih tahu melebihiku, jika aku bertanya nenek tidak akan menjawabnya, aku akan cari tahu lebih jauh.
“membuka sebuah Toko makanan, di California.”
“oh, California sebelah mana?.”nenek sangat antusias bertanya tentang hal ini, ia menaruh minatnya pada Ana dan berharap penuh pada hubungan sandiwara ini, hal ini membuatku merasa sedikit terbebani. Kemungkinan kakek tahu dan dia sudah menaruh curiga penuh pada hubungan ini, itulah sebabnya ia meminta orang lain untuk membuntuti Ana dan mengawasi kami di New York. Sementara nenek, mungkin dia tahu tapi dia berharap ini bukan kebohongan, dan dia menyukai Ana. Terlihat jelas betapa antusiasnya nenek.
“San Diego.”
“tinggal sendirian? Di San Diego.”
“tentu saja tidak, ada nenek dan adik perempuanku.”tatapan kami bertemu, aku tertangkap basah tengah memerhatikannya, hal ini membuatku gugup. Aku meraih gelas anggurku dan meminumnya hingga habis, Ana melakukan hal yang sama, aku senang ia menikmati minumannya, ia menyeruputnya sedikit demi sedikit. Nenek mulai membahas sesuatu dan Ana mendengarkan, mencoba mencairkan suasana dan menjalin keakraban. Nenek mencoba untuk membuat Ana tidak canggung dengannya, Ana tersenyum, bibirnya berkedut menahan tawa.
“kapan kalian akan menikah?.”reflek kedua mataku membesar, aku menatap kakek dengan tatapan protes, Ana juga tengah menatap kakek lalu ia terbatuk-batuk. Aku tahu dia sangat terkejut begitupula denganku, tidak seharusnya kakek tidak bertanya tentang hal ini di saat seperti ini, di depan Ana. Aku harap dia tidak panik karena perkataan kakek barusan.
“uhuk.. uhukk..”ia terbatuk-batuk, Ana benar-benar panik. Ia menganggap hal ini serius, aku mengambilkan selembar tisu untukknya. Kedua pupil matanya membesar, ia sangat terkejut dan mulai gelisah. Seharusnya ia tak perlu menganggapnya serius.
"Kami tidak ingin buru-buru kakek. Ana juga masih mengejar karirnya."Ana melirik ke arahku, terlihat memprotes, aku tak bisa memakai diriku sebagai alasan, jika Ana kakek bisa saja mengerti ia memiliki kehidupan nya sendiri sebelum bertemu denganku. Jika hal ini dalam hubungan yang sebenarnya, aku berada dalam tahap menghargai apa yang ia kejar dalam hidupnya. Aku tak terlalu mengerti tentang sebuah hubungan. Aku menghindari hal semacam ini sejak dulu.
"Tristan masih fokus dengan usahanya."timpal Ana, ia tersinggung dengan ucapanku dan bertindak tak mau kalah, lirikan matanya menjelaskan mengenai perasaannya, wanita ini membuatku bingung, haruskah ia tersinggung hanya karena hal itu. ia menyentuh lenganku, berakting manis di hadapan kakek dan nenek, aku tak mau ikut dalam akting ini.
"Jangan paksa mereka, biarkan semuanya berjalan begitu saja."aku senang nenek berucap seperti itu, ia meluruhkan ketegangan yang kakek ciptakan di antara aku dan Ana yang paling menganggap hal ini sanagt serius.
"Ajaklah Ana berkeliling Tristan."
"Baiklah."Aku mendorong kursiku ketika bangkit berdiri.
Kedua tangan Ana bertaut dengan gelisah, ia berjalan bersama denganku di sisi sebelah kananku. Menggumi apa yang ia lihat, nenek suka rumah yang memiliki taman besar, sebagian besar nenek yang merancang konsep rumah ini dan dia melakukannya dengan baik. Kakek tak pernah ikut campur dan melarang apa yang nenek inginkan selama hal itu tak berbahaya. Nenek sangat menyukai bunga dan minatnya pada kebun sangat tinggi, dan ia menyukai anggur. Alasan kami tertarik untuk memiliki banyak kebun anggur adalah karena minat tinggi pada minuman itu.
"Jangan di anggap serius, kakekku hanya menguji hubungan ini.”kataku tak ingin membuatnya terus memikirkan tentang perkataan kakek, ia menggerakan sikutnya ke perutku, ekspresinya berubah jengkel, tubuhnya berputar menghadapku, wajahnya mendongak melemparkan tatapan tajam, lalu ia menunjukku dengan jari telunjuknya tepat di hadapan wajahku.
"Kejam sekali! Kau menjadikanku alasan."
"Kau juga melakukannya padaku!."aku menimpali. Seharusnya kita seri.
"Dia tidak akan membunuhmu jika kau berbohong, tapi aku dalam masalah besar."Aku tak mengerti kenapa ia berada dalam masalah besar hanya karena perkataan itu. Ana sangat konyol, pikirannya membingungkan karena kerap kali bersikap berlebihan.
"Dia tidak akan melakukannya! Kakekku tidak menyerang seorang wanita dan anak kecil. Dia masih punya hati nurani."kakek tidak akan pernah melakukan hal itu, itu adalah ikrar dan janji sejak dulu, turun termurun yang ku dengar dari bibir kakek, seolah menjadi janji yang tak boleh di langgar, hal itu melekat dalam hidupnya.
"Bagaimana kau tahu! Aku sudah mengagalkan rencana perjodohan cucunya kau pikir dia masih tidak akan menyakitiku. Jangan ingatkan aku tentang itu, aku baru saja makan sesuatu yang enak dan minuman anggurnya sangat lezat. Aku tidak mau memuntahkannya karena merasa panik dengan pikiran tentang kematian."Ana selalu berhasil membuatku tertawa dengan perkataan dan pikirannya yang berlebihan mengenai kematian. Tatapan sengitnya malah membuatku semakin lucu.
"Apakah kakekmu adalah seorang kartel?."aku tak suka membicarakan hal itu, mengingatnya membuatku kembali teringat akan masa lalu yang ingin ku kubur jauh-jauh dalam sejarah hidupku.
"Dulu. Sekarang tidak lagi."Aku senang kakek membuat keputusan akan hidupnya yang lebih baik, dia ingin aku ikut dalam usahanya itu dan aku menentang secara tegas tak ingin ikut terlibat. Melihat nenek yang tak pernah tenang berada dalam bayang-bayang ketakutan jika FBI menangkap kakek pada suatu hari nanti, kakek melepaskan nya, menjauhkannya dari ancaman-ancaman itu dan pergi ke jalan yang lebih baik. Aku mendukungnya, sangat untuk hal itu. dia memilih keputusan yang tepat.
"Anak buahnya masih sangat banyak."
"Mereka sangat setia. Ada alasan kenapa aku tidak menginginkan ini, aku tahu hal-hal itu dan tak berpikir untuk ikut masuk ke dalamnya. Selalu ada jalan untuk kembali tapi kakekku bersikeras mengikutiku untuk berbisnis dengan benar. Ada beberapa orang yang membelot karena ingin kekejaman, kesetiaan adalah asset Ana. Orang-orang itu, merasa nyaman di bawah kepemimpinan kakeku, ketika dia berhenti mereka tetap setia untuk bekerja dengannya. Tidak semua menjalani bisnis dengan benar, hukum tidak benar-benar mematikan tindakan yang salah. Kartel itu masih ada, jika kau hidup di sini kau akan menemukannya bertebaran dimana-mana."
"Kartel apa kakekmu dulu?."ia terdengar sangat penasaran dan antusias dengan pembicaraan ini.
"Aku akan bercerita tentangnya nanti, cobalah untuk memerhatikan, aku tahu tentang rasa penasaranmu itu. Buka mata mu baik-baik malam ini, kau akan melihatnya."
Pembicaraan ini membuatku mengingatnya, aku tidak berniat untuk bertemu dengannya. Melihatnya membuatku muak, seharusnya kakek saja yang berhadapan dengannya. Aku tak ingin melihatnya, ketika berhadapan dengannya aku selalu ingin menembak kepalanya. Aku sudah berlati cukup lama untuk memegang pistol dan mendaratkan peluru ke arahnya.
Pandanganku kembali terarah pada Ana, ia tengah mengedarkan pandangannya. Ada banyak hal yang membuatku penasaran. Responnya terhadap keluargaku. Ketika pandangan kami bertemu senyuman di bibirnya melebar.