Part 12 (Mulai Terungkap)
Di serambi masjid An Nur, seorang lelaki tua tengah duduk dengan gelisah. Ia menggeser duduknya ke kanan, lalu menggeser lagi ke kiri. Berbalik ke kanan, lalu berbalik duduk lagi ke kiri. Orang tua itu tampak benar-benar tidak nyaman. Sejak tadi, pikirannya terus melayang pada seorang pemuda yang belum lama dikenal. Marbot masjid itu sangat mengkhawatir Bara. Sama seperti semalam, pemuda itu belum tiba di rumah (masjid An Nur) pagi ini.
"Anak itu, selalu saja membuatku khawatir." Pak Amin menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Pemuda yang tak diketahui asal usulnya itu terasa begitu dekat dengannya hingga membuatnya cemas seperti seorang ayah yang sedang menantikan anaknya pulang ke rumah.
“Ya Allah, jagalah Bara. Lindungi dia di mana pun berada. Dan jangan biarkan ia kembali pada kehidupan lamanya, Wahai Rabbul Izzati, Ar Rahman Ar Rahim,” doa orang tua itu sebelum kembali beraktivitas membersihkan masjid.
***
Pandu tiba di rumah dengan raut wajah yang tampak sangat kusut. Ada banyak pertanyaan serta puzzle yang memenuhi pikirannya. Ia sandarkan tubuhnya yang terasa begitu lelah dari hari-hari sebelumnya di sofa, lalu memejamkan mata untuk merasakan lelah yang menguar dan sedikit menenangkan diri.
"Assalamualaikum, sudah pulang, Kak?" sapa Rania. Gadis itu baru saja keluar dari kamar dan hendak berangkat ke kampus. Tak lupa mencium punggung tangan sang kakak—sebuah kebiasaan di keluarga Rania, yang lebih muda akan mencium punggung tangan orang tua atau kakaknya ketika salah seorang dari mereka baru tiba atau akan keluar dari rumah.
"Waalaikumussalam. Iya. Sudah mau berangkat?"
"Iya, Kak. Sarapan sudah Rania siapkan di meja."
"Makasih. Kakak tidak bisa mengantarmu ke kampus pagi ini," ujar pandu dengan rasa bersalah. Ingin ia mengantar sang adik ke kampusnya, tetapi tubuhnya yang lelah tak seperti biasa, juga pikiran yang penat akibat pertemuannya dengan Bara di sel tahanan, membuatnya tak mampu lagi keluar rumah untuk sekadar mengantar sang adik pergi kuliah.
“Tidak apa-apa, Kak. Rania bisa naik angkutan umum,” jawab Rania. “Rania berangkat dulu, Kak. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam. Hati-hati di jalan,” pesan Pandu.
Rania mengangguk dan melangkahkan kakinya keluar rumah berlantai dua milik orang tuanya itu.
Pandu yang masih berbaring di sofa, kembali memejamkan matanya yang terasa sangat berat untuk dibuka. Tak menunggu waktu lama baginya untuk berada di alam bawah sadar, menikmati mimpinya yang kadang indah, kadang pula membuatnya beristigfar.
***
Rania penasaran dengan apa yang ada di dalam pikiran Pandu, sang kakak satu-satunya itu. Tak biasanya petugas kepolisian itu pulang dengan raut wajah yang tampak begitu lelah dan terlihat jelas ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh kakaknya.
‘Kakak sepertinya sedang ada masalah. Kenapa, ya? Apakah ia kena tegur atasannya? Atau mendapatkan tugas yang sulit baginya? Atau ... Kak Pandu memikirkan pernikahannya yang tak lama lagi?’ batin Rania terus bertanya-tanya selama berjalan dari rumahnya menuju persimpangan jalan, tempat biasa ia menunggu bus.
Pandu memang akan melangsungkan pernikahan tak lama lagi dengan seorang gadis yang diperkenalkan oleh ustaznya di pengajian. Rania mengira itu bisa menjadi salah satu alasan kakaknya tampak sangat lelah dan banyak pikiran.
‘Tapi ... bukankah persiapan nikahnya sudah mau rampung diurus oleh calon kakak ipar?’ Rania kembali bermonolog. Ia terus menduga-duga apa yang sedang dipikirkan sang kakak, tetapi tak bisa menemukan jawaban yang pasti jika tidak mendengarnya langsung dari mulut kakaknya itu.
"Semoga apa pun masalah yang Kak Pandu hadapi, Allah beri kemudahan untuk menyelesaikannya," gumam Rania seraya terus melangkahkan kakinya.
Salat berjalan di depan masjid An Nur, ia melihat Pak Amin sedang menyapu pekarangan masjid.
“Assalamualaikum, Pak Amin,” sapa gadis itu ramah.
Pak Amin menoleh dan tersenyum, lalu menjawab salamnya.
“Waalaikumussalam. Mau kuliah, Nak?”
“Iya, Pak. Sendirian, Pak?” Rania bertanya balik sambil sepasang matanya menyapu seluruh halaman masjid untuk menemukan sosok seseorang yang juga tinggal di masjid bersama Pak Amin.
“Iya. Kamu mencari Bara?” tanya Pak Amin seraya mendekati gerbang agar lebih dekat dengan Rania dan bisa mendengar dengan jelas apa yang gadis itu katakan dari balik cadar.
Pertanyaan Pak Amin yang terdengar ‘to the point' itu membuat Rania tersipu malu. Ia sadar sikapnya yang mencari keberadaan pemuda itu pasti terlihat jelas oleh Pak Amin.
“Ah, tidak, Pak,” jawab Rania malu-malu.
Pak Amin tersenyum mendengar jawaban dan sikap Rania yang terpancar dari sorot matanya. Sesaat kemudian, orang tua itu tampak murung dan sedih.
“Ada apa, Pak? Kenapa Pak Amin terlihat sedih?” Rasa penasaran Rania muncul melihat perubahan pada ekspresi wajah orang tua di hadapannya.
“Saya khawatir, Nak,” lirih Pak Amin, tetapi masih terdengar di telinga Rania.
“Kalau boleh tahu, Pak Amin sedang khawatir soal apa?”
“Bara.”
Rania mengernyitkan dahi mendengar jawaban singkat Pak Amin.
“Kak Bara? Memangnya kenapa dia, Pak?” Rasa penasaran Rania semakin tinggi saat Pak Amin menyebut nama pemuda itu.
“Sampai jam segini belum juga pulang. Saya khawatir terjadi sesuatu padanya.”
Rania pun berjalan melewati gerbang masjid dan menghampiri Pak Amin untuk mengetahui lebih jauh tentang sosok pemuda yang akhir-akhir ini terus ia sebut namanya dalam doa.
“Memangnya ... Kak Bara ke mana, Pak?”
“Dia bilang dia kerja malam. Kemarin juga begitu. Tapi pagi sudah sampai dan langsung tergeletak di lantai teras masjid.”
“Kerja apa, Pak?” Rania semakin penasaran hingga tidak menyadari ia bisa telat ke kampus akibat perbuatannya yang ingin tahu tentang sosok Bara, lelaki yang baru dikenalnya.
“Saya juga tidak tahu, Nak. Bara bilang suatu hari ia akan memberitahu tentang pekerjaannya. Maka dari itu saya khawatir. Bapak takut terjadi hal buruk padanya, atau bahkan ia melepaskan hidayah yang mulai ia jemput,” terang Pak Amin.
“Subhanallah. Semoga Allah selalu melindunginya, ya, Pak.”
“Aamiin.”
“Saya berangkat ke kampus dulu, Pak. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Rania bergegas meninggalkan Pak Amin. Di jalan menuju kampusnya, ia terus berpikir tentang Bara. Ada rasa khawatir yang hinggap di hatinya, yang sama seperti apa yang dirasakan oleh Pak Amin.
‘Ya Allah, jangan biarkan Kak Bara kembali pada kehidupan lamanya. Lindungilah dan tunjukkan jalan yang benar padanya, Wahai Rabb-ku.’
***
Waktu Zuhur telah tiba, tetapi Bara belum juga kembali ke masjid An Nur. Gurat resah di wajah tua Pak Amin semakin jelas terlihat. Rasa cemas dan khawatirnya terhadap pemuda yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu kian bertambah.
Hingga salat jamaah Zuhur usai, Bara masih belum juga menampakkan diri.
“Ke mana anak itu sebenarnya?” lirih Pak Amin dengan gelisah di serambi masjid. Sepasang mata tuanya yang mulai rabun terus memperhatikan jalanan di depan gerbang masjid. Ia berharap Bara segera muncul di sana dalam keadaan sehat.
"Pak Amin sedang ada masalah?" tanya Pandu menghampiri orang tua itu dan duduk di sampingnya.
“Eh, Pandu. Bapak tidak ada masalah. Hanya saja ... Bapak mencemaskan seseorang," aku Pak Amin.
"Siapa, Pak?" tanya Pandu pura-pura tidak tahu. Ia sudah bisa menebak orang yang dimaksud Pak Amin, karena sebelum kedatangan Bara di masjid, orang tua itu tidak pernah tampak cemas dan gelisah seperti itu.
"Pemuda itu."
"Bara?" Pandu masih berpura-pura seolah-olah tidak tahu apa-apa dan tidak terjadi apa-apa. Petugas kepolisian itu tidak ingin membuat Pak Amin semakin khawatir.
Pak Amin mengangguk.
"Dia sudah dewasa, Pak. Jangan khawatir," ucap Pandu berusaha menenangkan.
"Tapi hati Bapak merasakan sesuatu terjadi padanya, Nak. Seharusnya pagi ini dia sudah pulang. Tapi sampai sekarang anak itu belum juga kembali." Gurat khawatir semakin terlihat jelas dari wajah keriput Pak Amin.
"Memangnya dia ke mana, Pak?"
"Katanya bekerja, masuk malam."
"Di mana?" Pandu berusaha memancing informasi lebih dalam dari Pak Amin tentang pemuda itu.
"Tidak tahu. Dia belum mau cerita. Katanya, nanti ada saatnya dia akan cerita ke Bapak."
‘Pembohong! Denganku kau juga berkata yang sama.’ Pandu mengumpat pemuda itu dalam hati. Ia merapatkan gigi-giginya menahan amarah.
"Saya yakin dia baik-baik saja. Mungkin sedang mencari pekerjaan lain yang lebih baik." Pandu berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi pada Bara.
Ucapan Pandu sedikit membuat Pak Amin merasa lega. "Mungkin saja, Pandu. Jika memang begitu, Bapak lega mendengarnya."
‘Maaf, Pak, aku terpaksa berbohong,’ batin Pandu.
***
Ponsel Pandu berbunyi saat ia baru saja memejamkan mata untuk istirahat siang selepas Zuhur. Tugas malam membuatnya harus cukup tidur siang hari agar stamina tetap bugar saat bertugas. Ia berusaha mengabaikan notifikasi pesan itu. Namun, ponselnya berbunyi beberapa kali, membuat lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu terusik hingga tak dapat lagi memejamkan mata.
Ia memilih untuk memeriksa pesan yang masuk. Dahinya mengernyit, ia menyipitkan mata guna memastikan sosok yang ada dalam beberapa foto yang dikirim oleh rekan sesama anggota kepolisian.
Bara. Di dalam foto tersebut, pemuda itu berdiri di samping lelaki yang selama ini menjadi buronan aparat. Penjahat yang begitu lihai menyembunyikan diri. Setiap kali polisi hampir berhasil menangkapnya, ada saja hal yang membuat bandit itu berhasil lolos dan melarikan diri. Lelaki yang pernah dipidana tujuh tahun lalu akibat kasus pemerkosaan itu begitu licin seperti belut. Sangat sulit bagi aparat untuk membekuknya.
Salah satu dari dua orang di dalam foto membuat Pandu menggeleng tak percaya. Bukan pada buronan itu, tetapi pada sosok pemuda yang semalam meminta tolong untuk mengeluarkannya dari penjara.
Pandu pun segera mengirim balasan kepada rekannya untuk memastikan identitas pemuda di dalam foto itu.
[Siapa pemuda yang di samping Bandot?]
[Kami tidak mengetahui namanya. Tetapi, pemuda itu selalu di sampingnya di mana pun Bandot berada. Mungkin salah satu tangan kanannya.]
Sebuah balasan langsung masuk ke ponsel Pandu.
"Tangan kanan? Aku sudah curiga dari awal bahwa kau bukanlah orang baik-baik. Kali ini aku tak akan membiarkan kalian lolos!" gumam Pandu geram. Kilat kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya.
Sudah lama sekali ia berusaha untuk melumpuhkan manusia bengis yang telah melakukan banyak pemerkosaan serta pembegalan itu. Kali ini, Bara akan menjadi kunci baginya untuk mengetahui keberadaan Bandot.
[Oke. Tolong perhatikan gerak-gerik tahanan baru itu. Aku yakin dia adalah pemuda yang selalu mendampingi Bandot.]
[Siap!]
Rasa kantuk dan lelah yang Pandu rasakan sebelumnya mendadak hilang. Nafsu untuk segera menyeret manusia iblis bernama Bandot itu ke tempat eksekusi semakin besar. Orang seperti Bandot sangat pantas dihukum mati, pikir Pandu.
Kakak kandung Rania itu pun langsung menyambar jaket yang tergantung di belakang pintu. Ia segera mengemudikan mobilnya menuju markas.
***