Rania bekerja seperti biasa. Namun, kali ini semangatnya lebih besar dibandingkan sebelumnya. Nasihat-nasihat yang dituturkan sang ibu semalam, membuatnya lebih ikhlas menerima apa yang terjadi, termasuk dengan hatinya. Ia ikhlas, jika memang Bara bukanlah jodohnya. Ia juga lebih berpasrah kepada Allah akan hal itu.
Saat ini, Rania hanya perlu fokus untuk menjadi seorang muslimah yang lebih baik lagi di hadapan Allah, sesuai dengan apa yang dinasihatkan sang ibu semalam. Ia hanya perlu menjalankan semua yang Allah perintahkan dan menjauhi larangannya. Urusan jodoh, biarlah Allah yang menentukan. Siapa pun dia, lelaki itu adalah yang terbaik untuk Rania. Begitulah pikirannya kini.
Ia berjalan di lorong rumah sakit. Langkahnya berhenti saat di ujung lorong, ia melihat Dokter Irham juga sedang berjalan di arah yang berlawannya, ke arahnya. Ia merasa bersalah telah menolak lamaran lelaki itu hingga tak berani untuk berpapasan. Kakinya ingin sekali memutar langkah dan berlari dari sana. Namun, Dokter Irham yang berjalan hampir mendekat ke tempatnya, menegurnya dengan ramah.
“Assalamualaikum,” sapa Dokter Irham, yang membuat Rania tampak salah tingkah.
“Wa-alaikumussalam, Dokter,” jawab gadis itu dengan sedikit gugup.
Dokter Irham berhenti tepat di sampingnya. “Santai saja. Kamu saya anggap seperti adik sendiri, sebagaimana Pandu dengan kamu,” tutur Dokter Irham, yang bisa melihat rasa tidak nyaman dalam diri gadis itu. Dokter muda dan tampan itu tak ingin ada suasana canggung di antara mereka, apalagi di lingkungan kerja.
Rania tersenyum dan berucap terima kasih. Lalu, kembali melangkahkan kakinya menuju ruangannya.
Ia merasa lega dengan apa yang diucapkan oleh Dokter Irham. Ternyata, lelaki itu begitu dewasa menyikapi semua yang terjadi. Tidak seperti dirinya yang terlihat masih kekanak-kanakan.
“Semoga kamu mendapatkan jodoh yang terbaik, Dokter Irham,” gumam Rania.
Sementara, Dokter Irham yang sudah berada di ruangannya, tersenyum sendiri membayangkan sikap Rania yang mendadak berhenti berjalan saat melihatnya di ujung lorong. Gadis itu benar-benar menarik dan menggemaskan baginya. Namun, ia harus bisa menjaga hati dan ikhlas karena Rania sudah dua kali menolaknya.
“Mungkin kamu memang bukan yang terbaik untukku, atau aku bukan yang terbaik untukmu, Rania. Semoga Allah memberikan jodoh yang terbaik untukmu,” doa Dokter Irham sebelum melanjutkan kembali pekerjaannya.
***
Malam ini terasa cerah. Langit hitam dipenuhi dengan kelip bintang yang indah bertaburan. Bulan juga memantulkan cahaya dari matahari, yang menerangi penduduk di bumi, terutama di kawasan Ibukota Jakarta. Tak seperti malam sebelumnya yang terasa dingin menusuk tulang, apalagi jika berkendara dengan motor di malam yang mulai larut.
Bara mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hitam yang ia gulung bagian lengan kanan dan kirinya hingga panjang tiga perempat lengannya. Dipadukan dengan celana jeans hitam yang membuat tubuhnya tampak semakin jangkung.
Ia bersiap untuk menemui Rania malam ini di rumah sakit. Semangatnya menggebu-gebu untuk mengutarakan niatnya yang tertunda kepada gadis itu. Apa pun yang terjadi, ia sudah bertekad untuk tidak mundur. Pantang pulang sebelum berperang, begitu yang ada di pikirannya saat ini.
Tak lupa gel rambut ia pakaikan di rambutnya yang hitam dan tampak lebat. Rambut lurus Bara yang dipotong rapi menyerupai aktor-aktor tampan dari negeri ini. Wajahnya yang maskulin, akan membuat wanita-wanita yang melihatnya jatuh cinta. Namun, ia tak pernah memikirkan wanita mana pun selain satu nama, Rania.
Bara sudah siap dengan semua hal yang ia kenakan. Ia juga sudah menyiapkan mental yang kuat untuk menemui gadis itu. Ia tersenyum di depan cermin kecil di kamarnya.
“Bismillah. Semoga Allah mudahkan dan ridai langkahku,” doanya sebelum mengambil jaket dan keluar dari kamarnya.
Ia segera menekan gas motornya setelah mengenakan jaket kulit berwarna hitam favoritnya dan helm. Sambil berzikir memuji Allah di perjalanan, ia terus melajukan motornya, tanpa pernah tahu bahwa gadis itu tak lagi bertugas malam ini.
Setelah menempuh perjalanan tiga puluh menit menembus jalanan padat ibukota, ia tiba di rumah sakit. Bara segera memarkirkan motornya di tempat parkir khusus roda dua yang tersedia. Ia bergegas melangkah masuk ke tempat pendaftaran. Dadanya berdebar-debar ketika berdiri di depan gedung itu.
“Bismillah,” ucapnya sebelum melangkah masuk.
“Mau berobat, Mas? Sudah pernah ke sini sebelumnya?” tanya salah seorang perawat yang bertugas di bagian pendaftaran. Perawat yang berbeda dengan yang Bara temui semalam.
“Maaf, Mbak. Apakah Dokter Rania ada?”
“Dokter Rania?” tanya perawat itu heran.
“Iya.”
“Maaf, Mas. Dokter Rania tidak piket malam ini. Adanya dokter lain,” terang perawat.
Bara sedikit terkejut mendengarnya.
“Jadi, Dokter Rania piket jam berapa, Mbak?” tanya Bara lagi.
“Dokter Rania piket pagi, Mas. Pagi sampai sore.”
“Kalau besok?”
“Sebentar saya cek, ya, Mas.” Perawat tersebut membuka sebuah file yang berisi jadwal dokter di rumah sakit itu.
“Dokter Rania sejak hari ini sudah tidak piket malam lagi, Mas. Seterusnya akan piket pagi,” jelas perawat itu.
“Oh, begitu,” lirih Bara.
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Mas?” tanya perawat yang tampak tertarik dengan pemuda itu.
“Ah, tidak. Terima kasih, Mbak,” ucapnya ramah, lalu meninggalkan tempat pendaftaran pasien.
Bara keluar dari gedung rumah sakit dengan langkah pelan. Ternyata, gadis itu tak ada di rumah sakit malam ini. Haruskah ia mendatangi Rania langsung di rumahnya? Jika iya, apa yang harus dikatakan Bara di depan orang tua gadis itu.
Bara bimbang. Ia lantas duduk di sebuah kursi tunggu yang ada di teras rumah sakit.
‘Apa aku harus datang ke rumah orang tuanya malam ini juga? Dengan kondisi tiba-tiba? Langsung melamar tanpa meminta maaf dulu terhadap Rania? Tanpa meminta persetujuannya?
Batin Bara berkecamuk. Ia benar-benar bingung saat ini. Jika menunda-nunda lagi, ia khawatir langkahnya akan terlambat dari lelaki lain. Bukankah hal baik harus disegerakan? Pikirnya.
Akhirnya, Bara memutuskan untuk pergi saja ke rumah orang tua Rania. Apa pun yang akan terjadi, apa pun yang akan dikatakan oleh orang tua gadis itu, ia harus siap menghadapinya. Dan ia merasa sudah siap dengan segala konsekuensi. Bara harus meneruskan niatnya malam ini juga. Ia sudah bertekad untuk tidak pulang sebelum berperang.
Bara pun beranjak dari kursi tunggu dan berjalan menuju motornya di tempat parkir. Namun, saat ia berjalan di halaman rumah sakit yang luas, sebuah taksi mobil hitam masuk dan berhenti di depan gedung rumah sakit. Seorang gadis keluar dari mobil itu.
Bara yang melihat sejenak, lantas kembali menoleh untuk memastikan siapa wanita yang baru saja keluar dari mobil yang ternyata taksi online itu.
Seorang gadis bercadar yang sangat ia kenal, berjalan masuk ke rumah sakit dan membuka pintu kaca yang lebar itu.
“Rania?”