Part 26 (Gamis untuk Rania)

2065 Words
Part 26 (Gamis untuk Rania) Bara bahagia bisa melihat Rania lagi, meski hanya beberapa saat saja. Gadis itu telah menyelesaikan studinya dan kini telah menjadi dokter di salah satu rumah sakit swasta besar di Ibukota Jakarta. Bara turut bangga dan senang melihat kesuksesan yang diraih wanita yang selalu hadir dalam doa-doa malamnya. Rindu yang selama ini terpendam dan sering membuatnya merasa bersalah, sedikit terobati dengan pertemuan singkat mereka itu. Meskipun, tak ada sepatah kata yang terucap dari bibir mereka masing-masing. Di samping rasa bahagia yang melanda hatinya, ada satu sisi hati yang semakin membuat Bara ingin benar-benar melupakan gadis itu. Jarak status sosial mereka yang begitu besar, membuatnya semakin merasa kecil dan tak pantas mengharapkan intan permata yang terjaga dari debu-debu seperti dirinya. Wajah Rania terus terbayang-bayang di benak Bara sejak pertemuan singkat itu. Meski wajah gadis itu selalu tertutup cadar, tetapi ia tampak semakin anggun dengan jubah putih khas seorang dokter. Bara tersenyum tanpa sadar. Ingin sekali ia bertemu lagi dengan Rania, mengucapkan kata maaf yang terus tertunda. Mendadak terbersit sesuatu di hatinya. Ia ingin memberikan sebuah hadiah, yang sejak gaji pertamanya sebagai kuli bangunan ia terima, pemuda itu tak jadi membeli sebuah gamis untuk gadis itu. Kini, niatnya untuk membelikan benda tersebut untuk Rania muncul kembali. Ia sudah bertekad akan memberikannya sekaligus mengucapkan kata maaf. *** Setelah bekerja selama empat minggu, hari ini Bara menerima gajinya yang keempat. Senyumnya mereka menerima uang di tangan. Uang itu akan ia gunakan untuk membeli set gamis sekaligus kerudung dan cadarnya untuk Rania. Gegas Bara menuju pasar dan memasuki toko yang menjual gamis-gamis muslimah. Toko yang dulu pernah ia tanyakan harga gamis berwarna biru muda kepada salah satu karyawan di sana. Saat masuk ke toko tersebut, kembali beberapa pengunjung yang terlihat berkelas memandangnya aneh. Bagaimana tidak? Bara hanya mengganti kaus kerjanya dengan sebuah kaus oblong pemberian Pak Amin yang sudah memudar warnanya. Juga celana panjang berbahan denim yang sudah robek-robek di kedua bagian lututnya. Namun, Bara tak menghiraukan tatapan orang-orang itu. Ia tak peduli bagaimana orang memandangnya. Baginya, pandangan manusia tak akan membuat seseorang hina, ataupun mulia di mata Allah. Ia edarkan pandangan untuk mencari gamis berwarna biru muda yang ia tanyakan waktu itu. Namun, dari sudut hingga depan pintu, ia tak menemukan pajangan gamis tersebut di etalase. “Ada yang bisa saya bantu, Mas?” Karyawan toko yang melayaninya waktu itu datang menghampiri Bara. “Eh, Mas. Gamis biru muda yang waktu itu di pajang di sana, apa masih ada?” tanya Bara sambil menunjuk sebuah patung tanpa kepala yang kini dipakaikan gamis berwarna hitam. “Yang tiga minggu lalu Mas tanyakan, ya?” Bara mengangguk senang. Ia tak mengira penjaga toko itu masih mengingatnya. “Maaf, Mas. Gamisnya sudah terjual minggu lalu,” ujar penjaga toko itu dengan ekspresi menyesal. Ia juga tidak bisa menahan pengunjung untuk membelinya, karena ia hanya seorang karyawan yang bertugas menjual. Ia tak bisa menyimpankan pakaian tersebut untuk Bara, yang mungkin saja tidak akan datang lagi ke sana. “Sudah terjual ...?” lirih Bara. Ada penyesalan di hatinya. Mengapa tidak dari minggu lalu saja ia belikan gamis itu? Jika ia datang lebih awal, mungkin ia bisa mendapatkan pakaian tersebut untuk Rania. “Iya, Mas. Maaf.” Bara tersenyum. Ia tak ingin melihat penjaga toko tersebut terus menerus merasa bersalah dan meminta maaf. “Tidak apa-apa, Mas. Apa ada yang lain yang warnanya sama, Mas?” tanyanya. “Yang warnanya sama ada, Mas. Mari ikut saya.” Penjaga toko mengajak Bara lebih masuk ke dalam toko, lalu mengeluarkan beberapa set gamis berwarna biru muda. “Ini, Mas. Silakan dilihat dulu,” ujar penjaga toko itu sambil membuka plastik pembungkus pakaian itu satu per satu. Bara melihat model dari tiga gamis dengan warna yang nyaris sama. Memang tak ada yang semanis gamis pertama pilihannya. Namun, ia memilih salah satu yang menurutnya paling cocok untuk Rania yang anggun dan lembut. “Yang ini saja, Mas. Satu set dengan kerudung dan cadarnya berapa?” Bara menunjuk gamis dengan dua layer di bagian bawahnya. “Yang ini satu set full 535.000, Mas.” Harga satu set gamis itu nyaris sama dengan gajinya dari bekerja selama seminggu. ‘Apakah ini tidak terlalu berlebihan?’ batin Bara. Sebab, ia takut hal itu termasuk sesuatu yang berlebihan di mata Allah, sedangkan ia masih tak memiliki apa pun dalam hidupnya. “Bagaimana, Mas?” tanya penjaga toko. “Jadi, Mas. Yang ini.” Bara akhirnya memutuskan untuk membeli gamis tersebut. Hanya sekali ini, pikirnya. Ia tak tahu kapan lagi bisa memberikan sesuatu untuk Rania. Bara juga ingin memberikan yang terbaik yang ia bisa untuk gadis yang teramat istimewa itu, yang jauh lebih berharga dari seluruh berlian termahal di dunia. Ia pun keluar dari toko pakaian wanita tersebut dengan raut wajah bahagia sambil menenteng sebuah kantong plastik bertuliskan nama toko tersebut. Akhirnya, ia bisa membelikan sesuatu untuk sang gadis dari penghasilannya, tanpa harus merampok ataupun bekerja di klub malam. “Semoga kamu menyukainya, Rania,” gumamnya sambil melangkah meninggalkan toko tersebut. Ia lantas kembali pulang ke masjid An Nur. Namun, sebelumnya ia akan membelikan sesuatu makanan untuk Pak Amin, yang selalu ia lakukan setiap kali menerima gajinya. Bara tiba di masjid An Nur saat Pak Amin sudah menyalakan murotal Alquran dengan pengeras suara sebagai penanda akan dikumandangkan azan tak lama lagi. Ia lantas bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu agar tidak tertinggal salat Magrib berjamaah. Selesai salat, Bara langsung mengajak Pak Amin makan malam. Perutnya sudah protes sejak tadi untuk segera diberi asupan makanan. Ia mengeluarkan sekotak martabak mesir dan dua bungkus nasi padang untuk dirinya dan orang tua itu. Setiap hari Sabtu, Bara memang berpesan kepada Pak Amin agar tidak memasak banyak karena ia akan membeli makan malam untuk mereka berdua. “Pak, bada Isya saya mau keluar sebentar, ujar Bara di sela-sela makan malam mereka. “Silakan. Mau ngumpul sama teman?” tanya Pak Amin. Bara tersenyum menggeleng. Senyum yang memberikan arti berbeda di mata orang tua di sampingnya itu. “Apa pun itu, asal kamu bahagia dan tetap menjaga diri,” nasihat orang tua itu. “Insyaa Allah, Pak,” balas Bara. Meski Pak Amin tahu Bara memiliki masa lalu yang buruk, tetapi orang tua itu tidak tahu persis apa yang dialami. Sebab, sampai sekarang Bara masih belum bercerita apa pun terkait kehidupan yang ia jalani sebelum bertemu Rania, Pandu, orang tua yang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri itu. Pak Amin juga tidak pernah menanyakan apa saja yang sudah dilakukan Bara di masa lalunya. Bagi orang tua itu, cukuplah seseorang bertobat dan menyesali semua perbuatannya. Tidak perlu mengorek luka lama dari orang tersebut jika yang bersangkutan belum atau bahkan tak ingin menceritakannya. *** Malam Minggu, malam yang biasanya digunakan kaum muda untuk berduaan dengan pasangannya yang belum halal. Meski tak sedikit juga pasangan halal atau keluarga menghabiskan malam panjang akhir pekan seperti ini untuk menikmati udara luar di beberapa tempat tujuan. Akan tetapi, berbeda dengan Bara. Ia sama sekali tidak pernah berpacaran dan berniat menghabiskan waktu malam minggunya bersama seorang gadis. Selama hidup dengan Bandot, malam Minggu seperti ini ia gunakan untuk menyendiri, ataupun mempelajari ilmu bela diri yang ia beli diam-diam dari pemimpin gangster itu. Ia sama sekali tak pernah tertarik untuk ikut bersama para pengikut Bandot lainnya yang menghabiskan malam Minggu bersama wanita-wanita yang bisa mereka nikmati tubuhnya. Tidak pula ikut mabuk-mabukan bersama yang lain. Dan malam ini, tak seperti biasanya. Bara mengenakan baju yang rapi dan paling bagus yang ia miliki dari pemberian Pak Amin. Ia sisir rambutnya ke belakang agar tampak lebih rapi. Tak lupa parfum yang ia beli beberapa hari lalu dari tukang penjaja parfum saat salat Jumat. Selain untuk salat, Bara tak pernah memakai parfum. Ini pertama kalinya ia memakainya di luar waktu salat. Bara bergegas keluar dari kamarnya sambil menenteng sebuah plastik berisi bingkisan yang sudah ia bungkus rapi dengan kertas kado sebelum salat Isya tadi. Senyumnya terus terkembang seraya melangkah keluar sambil melantunkan doa pada Sang Khaliq. “Waah, mau ke mana? Kamu rapi sekali malam ini,” tanya Pak Amin penasaran. Bara menoleh dan tersenyum. Ia malu untuk mengakui kepada Paka Amin, ke mana ia akan pergi malam ini. “Saya—“ “Ke rumah Rania?” tebak Pak Amin. Bara mengangguk samar. Ternyata orang tua itu sudah tahu niatnya. Ia tak bisa menyembunyikannya lagi. “Mau memberi sesuatu sekaligus minta maaf,” aku Bara. Pak Amin mengangguk meski ingin bertanya lagi mengapa pemuda itu harus meminta maaf kepada Rania. Namun, ia urungkan niatnya untuk terlalu jauh menuruti rasa ingin tahunya itu. “Saya pergi dulu, Pak. Assalamualaikum!” ucap Bara bergegas meninggalkan masjid. Ia tak ingin Pak Amin bertanya lebih jauh lagi. Sungguh, ia malu sendiri dengan keputusannya ini. Pak Amin hanya tersenyum sambil menggeleng pelan. “Ternyata hatimu masih belum bisa melupakan gadis itu, Bara,” gumam Pak Amin. Namun, tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah panik. “Astaghfirullah. Kenapa aku sampai lupa memberitahunya?” *** Bara sudah tiba tak jauh dari rumah bercat putih berlantai dua milik orang tua Rania. Beberapa langkah lagi ia akan tiba tepat di depan rumah gadis itu. Namun, langkahnya terhenti saat sebuah mobil putih datang dari arah berlawanan dan berhenti tepat di depan rumah orang tua Rania. Tak lama, seorang pria bertubuh tinggi dan berusia tak jauh berbeda dari Pandu keluar dari dalam mobil tersebut bersama seorang lelaki paruh baya. Keduanya mengenakan baju Koko yang tampak mahal dan sedap dipandang mata. “Siapa mereka?” gumam Bara. Melihat kedatangan tamu di rumah itu, niat Bara untuk menemui Rania perlahan memudar. Namun, ia tak ingin segala keberanian yang telah ia kumpulkan untuk malam ini lenyap begitu saja. Dengan langkah perlahan, ia mendekati rumah itu dan berharap bisa menemui Rania walau hanya hitungan detik saja untuk meminta maaf dan memberikan gamis tersebut. Tepat di depan mobil putih milik tamu itu, Bara berjalan mondar mandir. Ia masih belum berani mengetuk pintu dan menanyakan keberadaan Rania. Ia berpikir akan mengganggu pertemuan keluarga Rania dengan kedua tamu yang ia duga sahabat ayah gadis itu. Beberapa saat berlalu, Bara kembali mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mengetuk pintu rumah yang hanya tertutup setengah itu. Dari sana, ia bisa melihat Rania dan keluarganya sedang berbicara dengan kedua tamu tersebut. Bara segera memutar tubuhnya membelakangi pintu agar tidak melihat apa yang ada di dalam rumah itu. Ia pegang bingkisan di depan perutnya. Tak lama, suara pintu dibuka lebih lebar terdengar. “Kau?” ucap seseorang yang tampak kaget melihat Bara berdiri di depan rumahnya. Pandu sangat mengenali betul punggung pemuda itu. Bara membalikkan tubuh menghadap Pandu dan segera menyembunyikan bingkisannya di balik punggung agar Pandu tidak melihatnya. “Assalamualaikum, Kak,” sapanya ramah. “Waalaikumussalam. Ada apa?” Intonasi Pandu terdengar ketus. Dari wajahnya, jelas sekali ia merasa terganggu dengan kehadiran Bara. Ia melirik satu tangan Bara yang sedang dilipat ke belakang. Ia tahu betul Bara menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya “Maaf, apakah Rania ada?” tanya Bara, meski ia tahu Rania ada di dalam, sedang duduk bersama keluarga dan tamunya. “Ada apa mencarinya?” “Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.” “Sampaikan saja di sini. Nanti saya yang menyampaikan padanya.” Bara terdiam dan berpikir sejenak. Ia tidak mungkin menyampaikan permintaan maafnya lewat Pandu, apalagi memberikan bingkisan itu padanya. “Kalau tidak jadi, saya masuk dulu. Rania akan taaruf dengan seseorang,” ujar Pandu tak sabar. “Ta-aruf?” Bara tergagap. Ia mengerti arti taaruf dari Pak Amin. “Iya. Mengenal calon suaminya.” Mendadak seperti ada petir yang menyambar hati Bara. Hancur, terbakar. Itulah kondisi perasaannya kini. Ia nyaris tak bisa berkata-kata lagi hingga Pandu memintanya kembali agar proses taaruf Rania bisa berjalan lancar. Dengan langkah gontai sambil memegang bingkisan, Bara berjalan menuju masjid An Nur. Hatinya patah, meski ia sadar sejak awal, bahwa dirinya memang tidak pantas mengharapkan Rania, apalagi bersama dengan gadis itu. Di samping tempat sampah di depan rumah Rania, Bara berhenti dan menjatuhkan bingkisannya di sana. Lalu, kembali berjalan ke tempat di mana Pak Amin selalu menunggunya. “Aku seharusnya bahagia melihatmu akan segera menikah dengan lelaki yang pantas,” gumamnya. Di lain tempat, Rania yang sempat melihat keberadaan Bara di depan pintu rumahnya bersama Pandu, sangat penasaran akan tujuan pemuda itu mendatangi rumahnya. Ia tampak gelisah dan ingin sekali bertanya kepada kakaknya perihal kedatangan Bara. Namun, kehadiran Dokter Irham bersama ustaznya itu mengurungkan niat Rania. Ia lebih memilih diam dan menjalani proses taaruf ini meski hatinya merasa tidak tenang dan terus menerus memikirkan satu nama. Bara. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD