Terik matahari mulai terasa menyengat di tubuh siapa saja yang berdiri tanpa tempat berteduh. Lelah dan rasa panas yang terasa membakar kulit membuat Bara beristirahat sejenak di sebuah masjid sembari menunggu azan Zuhur berkumandang. Ia akan melanjutkan kembali perjalanannya mencari pekerjaan setelah menunaikan ibadah wajib kepada Sang Pencipta.
Beruntung, pagi tadi perutnya telah terisi dengan sarapan yang diberikan oleh Pak Amin. Bara masih memiliki persediaan tenaga untuk mencari pekerjaan, meski tak harus mengisi lambungnya lagi dengan makanan siang ini. Pemuda itu bertekad untuk mendapatkan pekerjaan hari itu juga. Ia tak ingin terus-menerus hidup tanpa tujuan dan ditopang oleh orang lain sebagai lelaki muda pengangguran.
Azan pun berkumandang dari pengeras suara tempat Bara beristirahat. Ia segera ke tempat wudu untuk menunaikan rukun wudu demi menyempurnakan salat. Meski baru sehari belajar dengan Pak Amin, tetapi ia sudah hafal gerakan wudu beserta urutan-urutannya. Ia pun mulai membasuh kedua tangannya, lalu berkumur dan menyelesaikan rukun wudu lainnya. Gerah yang sejak tadi melandanya, perlahan hilang diganti kesegaran saat ia membasuh wajah. Otot-otot dan urat syarafnya yang lelah, perlahan terasa ringan dan segar setelah ia membasuh kening hingga tengkuknya. Hingga terakhir, ia basuh kedua kaki sebelum keluar dari tempat wudu.
Bara masih belum hafal doa setelah selesai berwudu. Ia pun hanya mengucapkan hamdalah setelah berada di luar tempat bersuci tersebut.
Bara berdiri di samping seorang lelaki paruh baya di saf ketiga. Jumlah jamaah di masjid di tengah pasar itu cukup banyak. Para pedagang dan pembeli yang tak ingin ketinggalan salat berjamaah, tampak bersegera merapatkan saf-saf yang masih kosong setelah keluar dari tempat wudu.
Imam memulai salat setelah muazin selesai melantunkan iqamah. Salat Zuhur yang bersifat sirr (lirih) membuat Bara tak bisa mendengar bacaan imam. Sedangkan ia masih belum hafal Alfatihah, apalagi surat-surat lainnya dan bacaan dalam tiap rukun salat. Ia hanya melafazkan kata ‘Allah’ sepanjang salat berlangsung.
Setelah menunaikan salat Zuhur, Bara kembali berjalan kaki, menyusuri tiap sudut pasar dan mendatangi satu per satu toko yang ada di sana. Ia tak malu untuk menanyakan pekerjaan pada pelayan maupun pemilik toko. Juga tak memilah-milih pekerjaan yang ia dapat selagi menurutnya itu tidak mencuri atau merugikan orang lain.
Sayangnya, tak mudah bagi orang yang tidak memiliki pendidikan seperti Bara untuk mendapatkan pekerjaan. Apalagi, ia tidak mempunyai pengalaman apa pun selain mencopet dan menjadi rekan Bandot dalam melakukan aksi pembegalan. Ia lantas menyadari, masa lalu yang kelam, yang ia lalui sehari-hari bersama Bandot dan kawan-kawannya adalah sebuah kesalahan besar.
Bara terus berjalan dan memasuki toko-toko dan warung di sana. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Ada yang menolaknya dengan halus dengan mengatakan mereka sedang tidak membutuhkan karyawan baru. Namun, ada juga yang menolaknya dengan sangat tidak ramah. Bara tak ingin ambil pusing dengan sikap orang-orang itu. Semangatnya untuk mencari kerja pun tak surut meski banyak orang memandangnya sinis.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam perutnya. Rasa lapar pun menyeruak. Lambungnya mulai memberontak untuk segera diberi asupan. Ia lantas mengambil dompet di saku celana. Ia mendesah kecewa ketika membukanya. Tak ada uang sepeser pun di sana. Hanya ada kartu identitas, yang ia buat beberapa tahun lalu bersama Bandot.
Bara sendiri tak mengerti mengapa namanya ada di dalam kartu keluarga lelaki bengis pimpinan gangster itu. Ia hanya tahu bahwa Bandot pernah memiliki anak lelaki seusianya, tetapi sudah meninggal. Hingga Bara diminta menggantikan anaknya itu agar bisa memiliki identitas.
Selama menjadi 'peliharaan' Bandot, belum pernah sekali pun pria kejam itu memberinya uang lebih untuk kebutuhannya. Ia hanya boleh meminta apa yang dibutuhkan, dan Bandot akan memberikannya. Peraturan lelaki itu benar-benar membuat dirinya seperti b***k, membuatnya sama sekali tidak bisa ‘bergerak'. Bandot seperti mengikatnya dengan rantai berduri agar ia tidak kabur. Semakin Bara mencoba untuk lepas, semakin dalam duri itu menembus lehernya.
Kini, pemuda malang itu merasa sedikit lega bisa terlepas dari belenggu lelaki berhati iblis tersebut. Pimpinan gangster yang selama ini menjadi buronan polisi. Namun, ia harus tetap waspada. Sebab, pengikut Bandot ada di mana-mana, yang bisa menjadi mata dan telinga pria kejam itu untuk melaporkan keberadaannya. Bara sangat hafal watak lelaki itu. Bandot tak akan pernah melepaskannya begitu saja dengan mudah. Jika tak kembali hidup-hidup, maka Bandot pasti akan membunuhnya. Seperti yang sudah lelaki bengis itu lalukan pada dua pengikutnya yang mencoba lepas dari lingkaran setan lelaki itu.
Bara menutup kembali dompet berwarna cokelat yang tampak kusam dan tidak ada isinya. Dengan perut yang terus bersuara, Bara melangkah gontai dari satu tempat ke tempat lain. Ia berharap seseorang berbelas kasih untuk memperkerjakannya. Sayang, harapan itu masih belum terwujud hingga waktu Asar pun tiba.
Bara kembali berjalan ke masjid yang terletak di tengah-tengah pasar itu. Ia fokuskan pendengarannya pada lantunan azan yang terdengar dari pengeras suara yang cukup keras. Kalimat-kalimat panggilan Allah untuk menyeru hamba-Nya menunaikan kewajiban, membuat hati Bara menjadi lebih tenang, meski tak satu pun pekerjaan ia dapatkan hingga sore hari.
Ketika salat, Bara menangis dalam sujudnya. Ia mengemis kasih dari Sang Pencipta. Segala keluh dan kesah yang bergelayut di d**a, yang selama ini hanya ia simpan seorang, kini ia adukan pada Tuhannya. Ia pun memohon ampunan serta kemudahan dalam urusannya.
"Wahai Allah yang menciptakanku, berilah aku tempat untuk bekerja. Kasihanilah aku. Aku memohon ampun pada-Mu. Ya Allah, terimalah tobatku. Mudahkanlah urusanku." Lirih ia berdoa, dalam harap yang tak pernah hilang asa.
Dengan tertatih pemuda berusia 25 tahun itu menapaki jalanan berdebu. Langkahnya terhenti di depan sebuah warung makan Minang. Ia masuk menemui seseorang yang duduk di belakang meja untuk menerima uang dari pelanggan.
"Makan apa saja?" tanya seorang lelaki yang telah bersiap memegang kalkulator untuk menghitung total pesanan.
"Maaf, Pak. Saya tidak makan di sini. Saya ingin bertanya, apakah saya bisa bekerja di sini?"
Lelaki di hadapannya bergeming seraya menatap Bara dari atas ke bawah. Bara mengenakan kaus oblong berukuran sedikit lebih besar dari tubuhnya, dengan warna yang sudah pudar, dipadukan dengan celana bahan yang juga tampak lusuh. Pakaian Pak Amin yang ia pinjam. Sementara pakaiannya, masih tergantung di atas tali jemuran setelah ia mencucinya semalam. Andai kulitnya tidak putih dan bersih, serta wajah tampannya yang tampak terawat, orang akan mengira bahwa Bara adalah seorang gelandangan.
"Maaf, kami tidak menerima karyawan," ucap lelaki itu. Lalu melayani pelanggan lain yang ingin membayar.
Bara keluar dari warung yang cukup ramai tersebut dengan tertunduk lesu. Ia nyaris frustrasi karena selalu ditolak di mana pun ia meminta pekerjaan.
Pemuda malang itu melewati sebuah kantor pengiriman barang, dengan pintu kaca yang bisa membuatnya melihat dirinya sendiri dari pantulan cermin tersebut. Ia lantas memandang dirinya di cermin dari d**a hingga kaki dan merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya.
Bara nyaris melangkahkan kaki ke kantor itu untuk meminta pekerjaan sebagai kurir, sebelum akhirnya ia mengurungkan niat. Menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kendaraan yang dibutuhkan untuk mengantarkan paket.
Ia pun kembali menyusuri jalanan di pasar.
‘Ya Allah, kenapa sulit sekali mendapatkan pekerjaan? Aku harus segera bekerja agar tidak membebani Pak Amin,’ batinnya.
Pak Amin begitu baik padanya. Lelaki paruh baya itu berbagi makanan yang ada, bahkan sampai membelikan makanan di warung untuknya. Pagi tadi, orang tua itu juga memberinya uang untuk naik angkutan umum dan makan siang, tetapi Bara menolak. Ia tak ingin orang tua yang tak punya keluarga itu terbebani karenanya, meski Pak Amin berkata bahwa sudah seharusnya seorang Muslim menolong Muslim lainnya.
Bara merasa begitu nyaman hidup di masjid An Nur bersama Pak Amin. Hatinya tenteram setiap kali mendengar kumandang azan. Terlebih, Pak Amin selalu perhatian padanya layaknya anak sendiri. Ia merasa beruntung Sang Pencipta mempertemukannya dengan orang-orang baik seperti Pak Amin dan Pandu. Meski oknum aparat itu masih belum mempercayainya. Bara menganggap hal itu wajar, mengingat dirinya adalah orang asing yang tidak jelas asal usulnya.
Selain Pak Amin dan Pandu, Bara juga sangat bersyukur dipertemukan dengan seorang gadis yang begitu unik di matanya. Wanita pertama yang membuat degup jantungnya tak karuan kala pandangan mereka bertemu. Bayangan wajah yang selalu tertutup dengan sehelai kain itu membuatnya tersenyum.
Semangat dalam dirinya perlahan-lahan kembali saat sepasang mata indah itu muncul dalam benaknya.
"Rania ...." Tanpa sadar bibirnya menyebutkan sebuah nama. Nama yang mampu menciptakan senyum di bibir itu dan membuatnya kembali merasakan hidup.
***
Anak-anak mulai berlarian keluar masjid ketika matahari mulai senja. Mereka telah selesai belajar membaca Alquran serta doa dan hadis bersama sang guru. Tinggallah Rania seorang diri, yang terlihat menoleh ke sana ke sini, seperti sedang mencari keberadaan seseorang.
Ia kemudian menghampiri Pak Amin yang sedang membaca Alquran di teras masjid sembari menunggu waktu Magrib.
"Pak ...," panggil Rania pelan di dekat Pak Amin.
"Eh, iya, Rania. Ada apa?" Pak Amin menutup mushaf, lalu berdiri di hadapan Rania, yang tampak penasaran.
"Dia ... ke mana, Pak?" tanya Rania malu-malu.
"Bara maksudnya?"
Rania tersenyum dan mengangguk pelan.
Pak Amin mampu melihat ekspresi malu-malu dari sorot mata gadis itu. Orang tua itu pun mencoba menggodanya. "Kenapa, Nak?" Pak Amin tersenyum geli setelah bertanya.
"Emm, tidak apa-apa, Pak. Saya pulang dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Pak Amin tersenyum seraya menggeleng. Ia menyadari ada sebuah rasa yang menyambangi hati dua insan muda tersebut.
"Dia mencari pekerjaan, Rania!" kata Pak Amin setengah berteriak. Rania yang telah berada di gerbang masjid masih bisa mendengarnya. Langkahnya terhenti sejenak, kemudian kembali berjalan. Seulas senyum terkembang dari bibirnya mendengar perkataan Pak Amin.
‘Semoga dia segera mendapatkan pekerjaan,’ doa Rania dalam hati.
Bunga itu semakin bersemi. Lelaki biasa yang belum mengenal agama itu, ternyata benar-benar mampu menciptakan warna di taman hatinya.
***
Langit mulai berwarna jingga. Azan Magrib pun terdengar keras di jalanan yang mulai sepi karena toko-toko sudah banyak yang tutup. Bara bersegera memenuhi panggilan Rabb-nya. Ia bergegas ke masjid dan mengambil wudu. Rasa sejuk kembali menjalar ke seluruh nadi setiap kali ia membasuh bagian-bagian tubuhnya yang termasuk dalam rukun wudu. Penat dan lelahnya pun sedikit berkurang. Ia pun tersadar, bahwa hanya dengan mendekat kepada Allah segala pelik dalam kehidupan terasa ringan.
Ia mengikuti gerakan salat Magrib dan mengikuti bacaan Alfatihah dan surat pendek yang dibacakan imam. Meski belum menghafal setiap bacaan dalam gerakan salat, tetapi Bara berusaha untuk tetapi khusyuk menjalankannya. Pak Amin mengajarkannya secara bertahap.
Matahari telah terbenam. Kini, langit gelap telah dihiasi oleh rembulan dan bintang-bintang yang bertabur indah. Bara terus melangkah dan masuk ke setiap tempat usaha yang masih buka untuk menanyakan pekerjaan yang dapat diberikan padanya. Lapar yang terus mendera tak membuatnya menyerah. Air minum di masjid cukup untuk menghilangkan dahaga dan mengurangi rasa laparnya meski sesaat. Hingga langkah kaki membawanya ke depan sebuah tempat yang dihiasi dengan lampu warna warni yang sangat mencolok.
‘Haruskah aku masuk ke tempat ini?’ pikirnya.
Ia tahu tempat seperti apa yang ada di hadapannya. Sebuah kafe remang yang menjadi wadah para pencari kesenangan semu. Sebuah tempat yang tak semestinya ia datangi. Namun, jalan buntu membuatnya nekat melangkahkan kaki ke dalam.
Kelap-kelip lampu dalam ruangan yang remang menjadi pemandangan yang tak asing baginya. Bandot sering membawanya ke tempat seperti ini. Tempat yang melayani pengunjungnya untuk menikmati minuman yang mampu membuat diri kehilangan akal. Kemudian, mereka akan menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik bersama para wanita yang berpakaian terbuka.
Ia sudah terlanjur masuk ke dalam. Berat langkahnya untuk kembali keluar. Ia pun memutuskan untuk menanyakan pekerjaan di sana, meski lubuk hatinya yang terdalam menolak keputusan ini.
"Bisa saya bertemu dengan manajer kalian?" tanyanya pada seorang bar tender.
"Ada apa mencari saya?" Seorang pria bertubuh sedikit gemuk menepuk pundak Bara dari belakang.
"Saya ingin bekerja di sini."
Lelaki itu memperhatikan penampilan Bara dari ujung rambut hingga kaki. Lusuh, begitu pikirnya.
"Kamu?" Manajer kafe itu tertawa miris, seolah-olah sedang melecehkan lawan bicaranya.
Ia kembali memperhatikan wajah pemuda di hadapannya. Tampan, pikirnya lagi.
"Bolehlah. Silakan ganti baju."
Sepasang mata Bara tampak berbinar di bawah lampu warna-warni yang tampak seperti hidup mati bergantian. Usahanya mencari pekerjaan dari pagi hingga malam tidak sia-sia, meski harus bekerja di tempat yang ia yakini Islam akan melarangnya.
Ia dibawa ke sebuah ruangan untuk berganti pakaian. Manager itu memberikan satu set pakaian waiters untuk dikenakan Bara malam ini. Ia pun mulai bekerja. Melayani pelanggan untuk mencatat dan mengantarkan pesanan mereka ke mejanya.
‘Ya Allah, jika pekerjaanku ini salah, berilah pekerjaan lain yang benar di hadapan-Mu,’ doanya dalam hati saat pertama kali mengantarkan pesanan ke meja pelanggan.
***